Beberapa hari ini dunia heboh dengan kasus pemerkosaan. Hampir semua media nulis berita tentang pemerkosaan. Jadi gaes, pemerkosaan itu adalah perbuatan untuk melampiaskan nafsu seksual kepada orang lain secara paksa dan tindakan tersebut merupakan perbuatan melanggar hukum.
Banyaknya kasus pemerkosaan sungguh menyayat hati. Korban- korban pemerkosaan pun beragam, bahkan anak-anak bisa menjadi korbannya. Pemerkosaan menjadi salah satu kekerasaan seksual yang menjadi momok menakutkan bagi kaum hawa, meskipun ga menutup kemungkinan terjadi juga pada kaum adam. Ga percaya, tuhh lihat kasusnya Reynhard Sinaga.
Dikutip dari jurnal yang aku baca, korban pemerkosaan secara psikologis akan berpotensi mengalami trauma yang sangat parah baik itu saat perkosaan terjadi, maupun sesudahnya. Mereka-mereka akan menjadi murung, lebih menutup diri, bahkan mereka cenderung takut untuk dekat atau berinteraksi dengan orang lain yang baru dikenalnya
BACA JUGA: MISI PENYELAMATAN PENGANTIN PESANAN
Ooh ya, dalam kasus permerkosaan yang korbannya adalah kaum hawa, mereka justru mendapat beban tambahan karena adanya stigma dari masyarakat yang menganggap bahwa kaum hawa yang menjadi korban pemerkosaan itu adalah kaum hawa yang hina, hingga akhirnya mereka tidak kuat untuk menanggung malu dan kenyataan pahit yang dialaminya.
Belum lagi kalo korban tersebut sampai hamil. Trauma, marah, jijik, takut, dan rasa malu membuat korban-korban itu akan nekad untuk melakukan hal-hal di luar akal sehatnya seperti melakukan aborsi.
Pada hakekatnya aborsi itu tidak diperbolehkan. Jangankan untuk orang yang melakukan aborsi, ikut membantunya saja merupakan perbuatan terlarang. Meskipun terlarang, namun ada pengecualiannya ya gaes. Pada tahun 2014 pemerintah menetapkan PP Nomor 61 Tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi yang salah satu pointnya memuat tentang kemungkinan dilakukannya aborsi. Eiiiittttssss tapi perlu kita simak dengan jelas aborsi seperti apa yang diperbolehkan oleh peraturan tersebut ya.
Awalnya PP Kesehatan Reproduksi ini lahir sebagai pelaksana dari Pasal 75 Ayat (1) UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, yang pada hakekatnya melarang tindakan aborsi terkecuali jika ada indikasi kedaruratan medis dan adanya kehamilan yang diakibatkan oleh perkosaan yang dapat menimbulkan banyaknya kemudharatan salah satunya trauma psikologis bagi korban. Ingat ya gaes hanya bagi korban PERKOSAAN bukan terhadap korban yang suka sama suka atau sama-sama mau melakukan skidipapap sebelum nikah. Hixhixhixhix
BACA JUGA: KIMI HIME BIKIN RAME
Perlu dicatat nih gaes, aborsi yang diperbolehkan hanya dapat dilakukan dengan berbagai syarat yang tertuang dalam pasal 76 Undang-Undang Kesehatan, yaitu:
- Sebelum kehamilan berumur 6 (enam) minggu, terhitung sejak hari pertama haid terakhir,
- Oleh tenaga kesehatan yang memiliki keterampilan dan kewenangan dengan dibuktikan adanya sertifikat yang ditetapkan oleh menteri
- Dengan persetujuan ibu hamil yang bersangkutan
- Dengan izin suami, terkecuali bagi korban perkosaan
- Penyedia layanan kesehatan yang memenuhi syarat yang ditetapkan oleh menteri.
Pada PP Kesehatan Reproduksi dijelaskan prosedur pemeriksaan terhadap korban perkosaan sebelum dilakukan aborsi oleh tenaga kesehatan yang diketuai oleh dokter yang memiliki kewenangan untuk melakukannnya. Untuk kondisi korban perkosaan, pembuktian sebagai korban perkosaan harus dengan adanya keterangan usia kehamilan dari penyidik, keterangan dari psikolog yang menguatkan adanya dugaan perkosaan, kemudian dilakukan konseling pra tindakan (jika dilakukan aborsi maka berlanjut dengan konseling pasca tindakan)
Tindakan aborsi erat kaitan dengan Hak Asasi Manusia (HAM) loh gaes. Pasal 9 Ayat (1) UU No .39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia mengatur bahwa setiap orang berhak untuk hidup, dan mempertahankan hidup serta meningkatkan taraf kehidupannya. Secara filosofis aturan ini yang membolehkan adanya aborsi bertujuan untuk melindungi kaum hawa yang menjadi korban pemerkosaan dari gangguan trauma sosial karena harus menanggung malu yang luar biasa dan menanggung resiko kehamilan seorang diri tanpa adanya tanggung jawab dari pelaku pemerkosaan.
Tindakan aborsi yang dibenarkan dari sudut pandang HAM hanyalah sebatas untuk melindungi keberlanjutan hidup janin dan ibu yang mengandungnya.
BACA JUGA: EKSPLOITASI ANAK JAMAN NOW
Selanjutnya nih, jika kita lihat dari aturan hukum islam yang mengatur tentang aborsi di Indonesia saat ini. Ada sebuah Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang memperbolehkan korban perkosaan melakukan aborsi, sebagaimana yang telah tertuang dalam Fatwa MUI Nomor 5 Tahun 2005 tentang aborsi. Lahirnya Fatwa ini tidak begitu saja lahir, akan tetapi melalui kajian dan pertimbangan yang sangat ketat.
Dalam Fatwa ini, aborsi hanya boleh dilakukan dalam keadaan darurat dan memenuhi syarat-syarat yang telah ditentukan. Salah satu syaratnya, yaitu usia janin pada saat dilakukan aborsi belum mencapai 40 hari atau sebelum ditiupkan ruh kepada janin tersebut. Hal ini harus dikuatkan dengan keterangan dari tenaga kesehatan atau pihak yang memiliki kewenangan tersebut.
Dari penjelasan yang singkat di atas terlihat adanya pergeseran terhadap aborsi dari isu pro life (bener-bener tidak diperbolehkan) menjadi pro choice dengan memenuhi syarat-syarat yang sangat ketat dan memiliki dasar hukumnya. Dengan adanya aturan seperti ini nih, maka pasien hamil akibat perkosaan atau dalam keadaan darurat medis dapat melakukan pemilihan apakah kehamilan tersebut dilanjutkan ataupun dihentikan ya gaes.
Saya berharap tidak pernah ada lagi korban perkosaan di muka bumi ini, tapi eh tapi, sekarang dunia semakin horor. Bukan hanya perempuan yang bisa menjadi korban perkosaan, bahkan laki-laki pun berpotensi menjadi korban perkosaan. Sungguh mengerikan ya gaes.