Sejak kemarin (21 Agustus 2024) viral poster “Peringatan Darurat” di media sosial. Setahu aku, fenomena seruan “Peringatan Darurat” merupakan bentuk perlawanan rakyat terhadap rapat Baleg DPR yang membahas tentang perubahan UU Pilkada.
Ada dua pasal kontroversi yang bikin rakyat gemes.
Yaitu, ketentuan terkait ambang batas (threshold) pencalonan kepala daerah dan wakil kepala daerah dan batas usia minimal calon gubernur dan wakil gubernur, yang mana kedua ketentuan tersebut baru saja diputus Mahkamah Konstitusi.
Isu terkait ambang batas (threshold) kan sudah dibahas sama Pak Nanda, jadi biar lengkap aku mau bahas isu terkait ketentuan batas usia minimal calon gubernur dan wakil gubernur. Btw, apakah kalian sudah membaca Putusan MK Nomor 70/PUU-XXII/2024? Kalo belum sini sini, biar nggak roaming, aku bakal ringkesin.
Kronologinya bagaimana?
Ada dua orang mahasiswa yang meminta kepastian hukum terkait norma untuk menentukan angka usia dari seorang warga negara yang bisa mencalonkan diri sebagai kepala daerah, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 Ayat (2) huruf e UU Pilkada.
UU Pilkada mengatur bahwa syarat untuk menjadi kepala daerah itu salah satunya “Berusia paling rendah 30 (tiga puluh) tahun untuk Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur serta 25 (dua puluh lima) tahun untuk Calon Bupati dan Calon Wakil Bupati serta Calon Walikota dan Calon Wakil Walikota.”
Di sisi lain Mahkamah Agung melalui Putusan Mahkamah Agung Nomor 23 P/HUM/2024 memberikan tafsir mekanisme perhitungan usia untuk bisa mencalonkan diri sebagai kepala daerah sebagaimana dimaksud Pasal 4 Ayat (1) huruf d PKPU 9/2020 adalah “Sejak pelantikan pasangan calon terpilih.”
Terus mereka bilang, biar nggak bingung dan ada kepastian hukum, sekalian dong, Mahkamah Konstitusi menetapkan saja bahwa ketentuan Pasal 7 Ayat (2) huruf e UU Pilkada dimaknai “Berusia paling rendah 30 (tiga puluh) tahun untuk Calon Gubernur dan Wakil Gubernur dan 25 (dua puluh lima) tahun untuk Calon Bupati dan Wakil Bupati atau Calon Walikota dan Wakil Walikota terhitung sejak penetapan Pasangan Calon.”
Jadi ngitung usianya bukan pas pendaftaran ya, tapi pas penetapan calon. Kedua mahasiswa itu ngarep putusan Mahkamah Konstitusi, selaras dengan Putusan Mahkamah Agung.
Jangan suudzon, marilah husnudzon
Netizen tuh, pada suudzon. Mikir kalo permohonan ini tuh, diajukan untuk memuluskan Mas Sang Pisang jadi calon kepala daerah/wakilnya. Tahu kan, kalo usia Mas Sang Pisang itu baru genep 30 tahun nanti di bulan Desember 2024. Padahal pendaftaran buat jadi calon kepala daerah tuh, deadlinenya akhir bulan Agustus.
Untungnya nih, Mahkamah Konstitusi menolak permohonan kedua mahasiswa ini untuk seluruhnya, sehingga ketentuan Pasal 7 Ayat (2) huruf e UU tetap berlaku. Bener aja kan, setelah ditolak Mahkamah Konstitusi, ehh DPR mau ngerubah UU Pilkada sesuai dengan Putusan Mahkamah Agung. Hmm, kok kaya plan A gagal, trus mau coba plan B gitu ya.
Kalo kita baca UU Mahkamah Konstitusi, dalam penjelasan Pasal 10 Ayat (1) disebutkan bahwa, “Putusan Mahkamah Konstitusi itu final dan binding (mengikat).” Artinya, Putusan Mahkamah Konstitusi itu langsung berkekuatan hukum tetap sejak diucapkan dan nggak ada upaya hukum yang dapat ditempuh. Terus, gimana nih, kalo DPR mau merevisi UU terkait usia minimal calon kepala daerah. Apakah itu melanggar hukum?
BACA JUGA: MENAKAR KEPEMIMPINAN YUDISIAL BARU DALAM MENGEMBALIKAN MARTABAT DAN WIBAWA MAHKAMAH KONSTITUSI
Ya, nggak juga sih, itu legal dan sesuai hukum. Kenapa aku bilang begitu, ya karena dalam amar putusannya Mahkamah Konstitusi kan cuma bilang menolak permohonan pemohon untuk seluruhnya, Mahkamah Konstitusi nggak ada mengubah frasa terkait ketentuan Pasal 7 Ayat (2) huruf e UU Pilkada.
Soal DPR mau mengubah batasan usia minimal calon kepala daerah di dalam UU Pilkada itu sah-sah saja. Kan DPR punya kewenangan legislasi alias punya kewenangan untuk membentuk undang-undang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 Ayat (1) UUD 1945. Inget loh, Gustav Radbruch bilang ada tiga tujuan hukum, yaitu: kepastian hukum, keadilan dan kemanfaatan.
Perubahan UU Pilkada yang mengatur tentang mekanisme penghitungan batas usia minimal calon kepala daerah sesuai dengan Putusan Mahkamah Agung akan memberikan kepastian hukum buat Mas Sang Pisang maju menjadi calon kepala daerah/wakilnya. Kedua, perubahan UU Pilkada ini juga akan memberikan keadilan, biar satu keluarga semua dapat jabatan. Terus yang ketiga, perubahan UU Pilkada juga tentunya bisa memberikan manfaat bagi keberlanjutan masa depan keluarga.
Tapi itu belum tentu juga sih, ya, sapa tahu kita diprank. Gimana kalo ternyata besok dia nggak nyalon jadi apa-apa. Ya, berarti kita cuma nambah dosa.
Tapi gimana kalo ternyata suudzonnya kita terbukti? Ya udah sih, kita pake langkah demokrasi untuk menyelesaikan permasalahan ini. Aku, kamu, kita yang punya hak suara, nggak usah pilih mereka.
Kalo masih milih sih, artinya kita emang suka dan bersedia dipimpin oleh mereka. Sekian.