Setiap ada pertemuan selalu diiringi dengan perpisahan, begitu pepatah bilang. Yang datang akan selalu pergi pada waktunya, begitupun yang patah akan selalu tumbuh berganti, selama hayat masih dikandung badan.
Hidup dan mati bagai dua sisi mata uang yang akan selalu berdampingan, seperti Tuhan menjanjikan di balik semua kesulitan selalu ada jalan bagi hamba-Nya yang beriman. Nyatanya beriman ato tidak dunia tetap penuh sesak, karena bagaimanapun lingkaran karma dan roda samsara terus berputar seolah gak akan pernah kehabisan bahan bakar di tengah jalan.
Tiap-tiap persoon bertanggung jawab kepada hajat hidupnya masing-masing, gitu juga entitas rechtpersoon dalam ranah keperdataan yang terbebas dari tanggung jawab pribadi pemiliknya, kecuali terbukti ngelakuin piercing the corporated veil kalo kata Pak Dosen Hukum Perusahaan jaman kuliah puluhan tahun lampau.
Datang dan pergi, patah tumbuh berganti. Kepergianmu dalam rangka menjalankan amanat konstitusi yang bilang bahwa tiap-tiap manusia Indonesia berhak atas kehidupan yang layak, merdeka dari segala ancaman dan paksaan. Lalu apakah aku berhak menghalangimu untuk memperoleh kehidupan yang lebih baik di luar sana kawan?
Masihkah ada kata ‘kita’ dan ‘kami’ suatu saat nanti? Ataukah hanya ada aku dan kamu kawan.
Tapi sungguh demi laptop busukku dan segala bunyi ketukan tuts keyboardnya bukan maksudku untuk menghalangi kepergianmu kawan. Aku akan selalu bernyanyi untuk keagungan dan kejayaanmu, walaupun tanpa nada yang indah.
Ya, kamu yang sedang berjuang menunaikan segala impian dan cita-citamu. Semua manusia memiliki hak dan kewajiban yang sama, equality before the law kata begawan hukum semesta. Pun halnya kamu punya hak dan kewajiban yang sama demi mencapai tujuanmu. Akupun sama wajibnya mengijinkanmu pergi bertebaran di muka bumi ini demi mengais rejeki. Ah, apalah aku ini yang masih suka bingung merangkai kata dalam rangka menuntaskan kewajiban mingguan.
Datang dan pergi, patah tumbuh berganti. Satu persatu pergi berusaha memaknai hidupnya sendiri-sendiri, bertebaran di muka bumi berharap karunia Sang Illahi. Apakah yang tertinggal berarti tidak bermakna? Yang menetap bukanlah para pencari karunia Sang Pencipta? Entahlah kawan, aku dan kamu sama-sama bocah yang sedang berusaha menafsirkan apa arti hidup ini.
Satu persatu pergi, ada yang mencari jati diri, ada yang mengejar rizki, ada juga yang menuntaskan haus akan ilmu. Mungkin kita semua berawal dari titik yang berbeda, singgah bersama dalam sebuah gubug. Singgah untuk sejenak menggoreskan tinta sejarah dan kemudian kembali berpacu di lintasannya masing-masing. Apakah pernah terbersit dalam benak kalian kawan, apalah arti semua ini?
Mari kawan kita bersama-sama mengejar kemerdekaan ekonomi seperti yang dijanjikan oleh para pendiri bangsa ini, padahal yang sesungguhnya hanya dikangkangi segelintir makhluk Ilahi. Seharusnya negara menjamin kehidupan setiap warga negaranya, nyatanya kita masih harus berjibaku menantang realita. Aku ke timur dan kau ke barat, sekaligus membuktikan bahwa benar bumi itu bulat maka seharusnya kita akan berjumpa lagi di sebuah titik entah di mana.
Pergilah kawan, kuatkan tekadmu dan kepalkan tanganmu demi kalahkan sombongnya dunia yang sudah tanpa etika. Jangan pernah kau khawatirkan kami, kan kami jaga tunas-tunas baru yang akan berkembang, setidaknya sampai si tunas tumbuh menjadi batang yang kokoh dan kemudian siap untuk merantau menantang gravitasi demi cahaya matahari yang lebih terang. Maka dari itu akan tetap kami murnikan gubug ini dari tangan-tangan jahil yang berusaha menggoyahkannya, sadhumuk bathuk sanyari bumi, ditohi kanti pati.
Pergilah kawan, nyanyian sumbangku kan selalu mengiringimu. Kuatlah melawan segala kemunafikan dan kebobrokan dunia penegakkan hukum kita, beramar ma’ruf nahi munkar di jalan yang telah kau pilih sendiri itu. Hanya satu pesanku kawan, janganlah kau sibuk mengejar kefanaan hingga lupa sesuatu yang hakiki. Karena tidaklah engkau diciptakan kecuali berpasang-pasangan dari jenismu sendiri kawan, jenis yang sesungguhnya unik dan sulit dicari. Karena sebaik-baiknya hukum adalah hukum karya Sang Khalik kawan.
Setidaknya kita pernah berjuang bersama-sama, dicatat oleh sejarah yang ada di gadget mahalmu kelak. Kita pernah berjuang bersama-sama membangun dan membenahi rumah nenek, berdiri tegak di antara keterbatasan berbekal puing-puing idealisme. Rumah nenek, sebuah gubug tempat bernaung dan berlindung yang aman dan jauh dari segala kejamnya caci maki dunia nyata, rumah nenek yang walaupun peyot di sana-sini tapi akan selalu menerima bagaimanapun kondisimu kelak esok hari kawan.
Pulanglah kapanpun kau merasa lelah dengan carut-marutnya dunia, jengah dengan segala politik dan produk politiknya, mampirlah sejenak dan mari duduk sekejap di meja panjang ini maka kita akan bercerita lagi tentang sejarah nabi dan rasul terdahulu, seperti kebiasaan kita sebelumnya. Persetan dengan realita dunia, selama masih ada segelas anggur merah dan sebatang rokok kretek maka semua akan baik-baik saja.
Datang dan pergi, patah tumbuh berganti. So long kamerad, see you when I see you.
AUTHOR NOTE:
Serpihan sejarah yang tersapu angin sepoy-sepoy.