Tagar #kawalputusanmk dan simbol peringatan darurat yang viral kemaren, ternyata berdampak juga kepada saya. Masih pusing dan lelah mendampingi klien di Polda Metro kasus UU ITE, Bu Dirut KlikHukum tiba-tiba japri saya dan bilang, “Pak, wajib nulis. Ini negara dalam keadaan darurat!!!”
Japrinya pake pentung tiga lagi. Ini artinya, saya yang dalam keadaan darurat kalau nggak nulis.
Praktis, dalam perjalanan pulang ke hotel dari Polda Metro Jaya, saya langsung cari-cari info dong. Ada apa lagi sih, dengan negara ini. Nggak capek ya, para pendekar politik dan hukum negara bermanuver terus-menerus. Kalian ini sebenarnya, pada mikirin rakyat nggak sih? Ah, sudahlah. Hanya Tuhan dan kalian saja yang tahu, manuver kalian semata-mata untuk kekuasaan atau kesejahteraan rakyat.
Akhirnya saya paham kenapa Bu Dirut tiba-tiba meminta saya menulis soal yang lagi viral tersebut. Hmmm, ternyata ada putusan MK yang disambut baik oleh masyarakat, tetapi sepertinya sebagian para wakil rakyat (orang-orang partai politik yang bercokol sebagai anggota dewan) kegerahan, kepanasan, kepusingan, demam tinggi, stres berat dan sejenisnya lah.
Bagi parpol besar yang mempunyai kursi banyak dan perolehan suara besar, tentu keadaan yang tercipta dari Norma Pasal 40 dan Pasal 43 UU Pilkada, akan membuat happy partai-partai tersebut. Kok, bisa happy? Jelas, dalam konteks perebutan kekuasaan kepala daerah, maka calon kepala daerah tentu hanya bisa diusung oleh parpol besar. Bagaimana dengan parpol kecil? Bukan berarti tidak bisa gabung. Cuma layaknya minoritas, partai kecil yang bergabung dengan partai besar dalam pencalonan kepala daerah, kemungkinan hanya akan dianggap sebagai anak bawang yang tidak punya bargaining politik.
BACA JUGA: MAHKAMAH KONSTITUSI: SEJARAH, WEWENANG, DAN TANTANGAN DARI BENTENG TERAKHIR DEMOKRASI
Nah, semua berubah setelah putusan MK Nomor 60/PUU-XXII/2024.
Dengan adanya putusan tersebut maka praktis dampaknya adalah partai-partai kecil akan saling bergabung untuk mengusung calon kepala daerah. Layaknya dalam suatu pergaulan, mereka yang terkucilkan, akan bergabung dengan yang terkucilkan juga. Pasca putusan MK ini, yang menarik untuk dilihat adalah pertarungan calon kepala daerah yang diusung oleh partai-partai besar melawan calon kepala daerah yang diusung oleh partai partai kecil. Goliath vs David.
Dampak yang saya sampaikan tersebut, tampaknya telah terbaca oleh partai-partai besar. Karena itulah, mungkin, Baleg DPR tidak akan mengikuti Putusan MK tersebut dalam Perubahan UU Pilkada. Eh, tapi setelah saya tanya Mbah Google, tidak ada Baleg DPR yang akan menganulir putusan MK tersebut. Beberapa anggota Baleg menyampaikan, akan memperdalam dan membahas Putusan MK tersebut dalam rapat Baleg pembahasan perubahan UU Pilkada.
Secara hukum, bagi saya ini menarik untuk dicermati. Viralnya tagar #kawalputusanmk dan simbol peringatan darurat yang dilakukan para netizen, menurut saya bukan lagi bentuk dari pengawasan rakyat kepada para wakil rakyat. Tetapi sudah merupakan ketidakpercayaan rakyat kepada para wakil rakyat.
Hal inilah yang menurut saya darurat. Ketika rakyat sudah tidak percaya dengan lembaga perwakilannya, maka ibarat bom waktu, tunggulah saatnya. Rakyat akan membentuk partai jalanan.
Bagaimana kemudian terkait dengan putusan MK tersebut?
Apakah DPR perlu melakukan perubahan terhadap UU Pilkada?
Apakah DPR bisa menganulir Putusan MK tersebut?
Beberapa pertanyaan tersebut, ternyata pagi ini ditanyakan beberapa kawan saya melalui WA.
Dalam hati saya, ”Welah, kalian masih aktif juga mengikuti dinamika politik hukum negara, ya. Luar biasa memang.”
Baiklah, dalam tulisan ini saya akan menjelaskan secara singkat, walaupun sebenarnya jawaban terhadap hal tersebut nggak simple.
Begini ya, secara teoritis, kenapa diperlukan adanya suatu pengujian undang-undang, karena menurut Lodewijk Gultom terdapat dua alasan dasar untuk melakukan pengujian terhadap peraturan perundang-undangan.
Pertama, untuk melindungi konstitusi dari pelanggaran badan legislatif dan/atau eksekutif.
Kedua, dalam rangka melindungi hak-hak dasar manusia atau warga negara.
Mahfud MD dalam disertasinya tahun 1993 menyatakan, “Alasan perlunya judicial review, karena hukum adalah produk politik.”
Karena itu, harus ada mekanisme pengujian agar isi maupun prosedur pembuatannya benar secara hukum dan bukan hanya menjadi alat justifikasi atas kehendak pemegang kekuasaan politik. Hal ini penting, karena hukum (dalam arti UU) merupakan kristalisasi atau formalisasi atau legislasi dari kehendak-kehendak politik yang saling bersaing, baik karena hegemoni maupun kompromi.
Dari teori tersebut saja sudah jelas dan terang benderang. Maka, jawaban atas apakah DPR perlu merubah UU Pilkada dan dapat menganulir putusan MK, adalah dapat dilihat bahwa dibatalkannya Pasal 40 Ayat (1) UU Pilkada oleh MK mengartikan bahwa, DPR melalui UU Pilkada telah melakukan pelanggaran terhadap konstitusi. Kalau kemudian DPR melakukan penolakan terhadap Putusan MK, maka benar kata almarhum Gusdur, anggota DPR seperti anak Taman Kanak-kanak (TK).
Jadi menurut saya pribadi, DPR nggak usahlah merubah UU Pilkada. Pilkada bisa kok, dilaksanakan menggunakan Putusan MK. Lah wong, Pemilu saja pernah dilaksanakan dengan Putusan MK tanpa harus merubah UU Pemilu.