Sebagai pecinta drakor, siapa sih yang gak ikut bergetar liat akting Kim Soo Hyun di drama terbarunya yang berjudul “One Ordinary Day.” Drama ini merupakan remake dari serial BBC, Criminal Justice. Tentu saja banyak yang nunggu drama ini, karena udah lama Oppa Soo Hyun gak nongol di layar kaca.
Di One Ordinary Day, Kim Soo Hyun berperan sebagai Kim Hyun Soo (kebetulan banget, nama tokohnya cuma dibalik). Seorang mahasiswa cupu yang ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus pembunuhan.
Drakor ini juga didukung oleh Cha Seung Won yang berperan sebagai Shin Joong Han, seorang pengacara kelas tiga yang nyaris gak lulus ujian pengacara. Ia menjadi satu-satunya orang yang mencoba membantu Kim Hyun Soo, tanpa pernah menanyakan kebenarannya.
Setelah nonton drakor ini, kayanya bukan cuma aku yang memuji akting Kim Soo Hyun, netizen dan pecinta drakor juga pada kompak memuji akting Oppa Soo Hyun. Banyak yang bilang, wajar banget jadi aktor dengan bayaran termahal, aktingnya luar biasa.
Gimana gak luar biasa, dia yang shock karena dituduh membunuh, aku yang deg-deg-an jadi ikutan cemas. Dia yang disiksa. Ehh, aku yang sedih dan sakit hati. Bener-bener feelnya dapet banget deh. Jadi ngebayangi seandainya aku di posisi itu. Duh, serem banget.
BACA JUGA: NEVERTHELESS, REALITA FRIEND WITH BENEFIT
Aku sendiri belum nonton drama Criminal Justice, jadi samsek belum bisa membayangkan ending dan nasibnya Hyun Soo. Apakah nantinya ternyata dia bebas, karena cuma salah tangkap. Atau jangan-jangan Hyun Soo benar-benar melakukan pembunuhan tapi dia lupa, karena kondisinya lagi mabuk?
Ahh, semua bisa aja terjadi. Biasa kan, drakor kadang plot twisnya ampun-ampun, jadi susah ditebak.
Btw, mari kita sedikit berandai-andai. Misalnya ternyata si Hyun Soo bukan pelaku pembunuhnya, lalu gimana ya nasibnya?
Cerita-cerita serupa dengan kasus Hyun Soo gini, mungkin banget loh terjadi di dunia nyata. Gak cuma di Korea, kasus salah tangkap pernah beberapa kali terjadi di Indonesia. Bahkan beberapa minggu terakhir, up lagi kasus salah tangkap enam orang pengamen Cipulir yang dituduh melakukan pembunuhan. Dari keempat korban salah tangkap tersebut, empat di antaranya saat ditangkap masih berusia ‘anak.’
Di acara Mata Najwa, Arga Putra Samosir, Fikri Pribadi, Fatahillah, menceritakan kronologi kenapa mereka bertiga dan beberapa orang teman lainnya dituduh melakukan pembunuhan.
Gak cuma dituduh, mereka juga dipaksa mengaku oleh polisi. Mereka semua disiksa. Ada yang dipukul, disetrum dan diinjak-injak. Ya, namanya juga anak kecil, karena takut akhirnya mereka mengikuti perintah polisi dan mengakui telah melakukan penganiayaan, hingga si korban meninggal dunia.
Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada 1 Oktober 2013 menjatuhkan pidana penjara masing-masing, kepada Fikri empat tahun penjara, Fatahillah tiga tahun enam bulan penjara, sedangkan Ucok tiga tahun penjara.
Pada 28 Oktober 2013, Fikri cs mencoba mengajukan banding. Namun Pengadilan Tinggi Jakarta malah menguatkan putusan PN Jakarta Selatan, selanjutnya permohonan kasasi Fikri cs juga ditolak Mahkamah Agung dengan alasan sudah lewat batas tenggat waktu yang ditentukan.
Fikri cs memohon agar Mahkamah Agung melakukan peninjauan kembali dengan adanya novum bahwa mereka bukanlah pembunuh yang sebenarnya, dengan mengajukan bukti-bukti. Di antaranya adalah beberapa video dan screenshot pengakuan dari saksi pelaku yang sebenarnya, yaitu Iyan Pribadi. Akhirnya per Januari 2016 Fikri Cs dibebaskan karena terbukti tidak bersalah.
Lalu, gimana nasib mereka setelah itu?
Ya, tentu saja amburadul. Masa depan jadi berantakan. Akibat dipenjara mereka harus berhenti sekolah dan tentu saja mengalami banyak kerugian. Salah satunya punya trauma secara psikis.
Ketika ada korban salah tangkap, gimana tanggung jawab negara? Bukankah negara melalui aparat penegak hukum, polisi, jaksa dan hakim yang membuat mereka menjadi korban.
BACA JUGA: ADU MESIN MOTOR DI ASPAL, SILAHKAN KALAU MAU TERJERAT PIDANA
Harusnya sih, mereka dapat ganti rugi dong. Kalo menurut Pasal 95 Ayat (1) KUHAP “Tersangka, terdakwa atau terpidana berhak menuntut ganti kerugian karena ditangkap, ditahan, dituntut dan diadili atau dikenakan tindakan lain, tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan.”
Selanjutnya dalam jangka waktu paling lama tiga bulan terhitung sejak tanggal petikan atau salinan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap diterima, korban dapat mengajukan tuntutan ganti kerugian. Begitulah ketentuan jangka waktu yang diatur dalam Pasal 7 (1) PP 92 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.
Lalu, apakah permohonan ganti kerugian semacam itu akan selalu berhasil dan dikabulkan?
Ya, tentu saja tidak. Tuh, buktinya permohonan ganti kerugian yang diajukan ketiga pengamen Cipulir yang jadi korban salah tangkap ditolak sama pengadilan, dengan alasan sudah kadaluarsa.
Tapi itu kan di Indonesia. Mungkin beda ya, dengan di Korea. Ah, entahlah. Kalo si Hyun Soo ini ternyata gak terbukti melakukan pembunuhan, kira-kira bakal dapet ganti rugi gak ya?
Opini pribadi aja sih, ganti rugi tetap gak bakal menghapus semua trauma yang dialami korban-korban salah tangkap. Kepastian hukum itu penting, tapi rasa-rasanya keadilan lebih penting. Bukankah lebih baik membebaskan seribu orang yang bersalah, daripada menghukum satu orang yang tidak bersalah? Ya kan?