Tahapan-tahapan pemilu 2024 sudah mulai terlaksana. Semoga saja situasi bisa dikondisikan. Apalagi pada saat pemungutan dan penghitungan suara, semoga berjalan sesuai harapan.
Seperti yang kita tahu bahwa pemungutan dan penghitungan suara merupakan inti dari gelaran pemilu. Jerih payah peserta pemilu selama kampanye, mulai dari blusukan, obral omongan manis, sampai sedekah uang dan sembako akan ditentukan pada hari pemungutan dan penghitungan suara.
Mari sedikit bernostalgia dengan pemilu 2019, yang menjadi sejarah kelam pesta demokrasi Indonesia. Pada siaran pers tanggal 16 Mei 2019, KPU menyatakan bahwa 486 anggota Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) meninggal dan sebanyak 4.849 orang sakit. Jumlah tersebut tergolong tidak sedikit dan seharusnya tidak terjadi dalam pesta demokrasi kita.
Peristiwa ini diperparah dengan sentimen orang-orang tidak bertanggung jawab yang gagal menggunakan akal sehatnya, dengan mengatakan kematian massal petugas KPPS dikarenakan racun. Ada juga yang menyebarkan informasi bahwa kematian petugas KPPS adanya senyawa kimia pemusnah massal.
Padahal jelas-jelas penyebab kematian karena buruknya sistem rekruitmen petugas KPPS dan buruknya mitigasi risiko dari penyelenggara pemilu. Kok ya, masih saja ada yang bilang diracun. Padahal nggak ada buktinya loh, hadeh! Mengkritisi boleh, tapi mbok make sense.
Aku menyimpulkan seperti itu bukan asbun doang ya, tapi berdasarkan hasil penelitian yang memiliki kesamaan bahwa kelelahan bukan menjadi penyebab kematian, tapi akibat beban kerja KPPS yang berat sehingga memicu gangguan akut atau eksaserbasi dari penyakit kronik yang diidap sebagian besar korban meninggal. Jadi kematian bukan karena kesengajaan ya, tapi kemungkinan karena kelelahan yang memicu penyakit bawaan.
Kayak gini nih, kalau kebiasaan surat sehat hanya dipakai untuk formalitas. Bahkan Komnas HAM menemukan surat hasil pemeriksaan rumah sakit atau puskesmas bisa diganti dengan surat pernyataan dari pendaftar. Eh, bukan berarti aku menyalahkan anggota KPPS yang meninggal. Justru kalau mengingat kejadian itu jadi sedih dan turut berbela sungkawa kepada keluarga yang ditinggalkan. Bahkan aku mempertanyakan, bagaimana sistem kerja dan mitigasi risiko dari penyelenggara.
Belajar dari peristiwa Pemilu 2019 tersebut, KPU berencana menggunakan metode dua panel dalam penghitungan suara Pemilu 2024.
Metode ini secara ringkas akan membagi penghitungan suara menjadi panel A yang mencakup pemilu presiden dan wakil presiden, pemilu anggota DPD dan panel B mencakup pemilu anggota DPR, DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota. Jadi beban setiap KPPS akan berkurang, karena ada dua tim yang akan menghitung suara.
Kira-kira bagaimana ya, tanggapan DPR?
Ketua Komisi II DPR RI Ahmad Doli Kurnia dalam salah satu wawancara mengatakan metode penghitungan dua panel cukup rumit, “Tadi sudah dijelaskan, menurut saya menjelaskannya saja sudah sangat complicated ya, ada format 1,2,3 segala macam” ujar beliau.
Benar-benar di luar prediksi BMKG tanggapannya. Sangat membagongkan!
Seharusnya DPR sebagai wakil rakyat harus belajar banyak dari rakyatnya yang sudah terbiasa menghadapi rumitnya birokrasi di pemerintah. Biar pas denger penjelasan kayak gitu, nggak bingung.
Padahal sebelumnya KPU telah melakukan simulasi menggunakan metode dua panel. Hasilnya bisa dibilang efektif menurunkan beban dan resiko kerja dari penghitungan suara serta lebih cepat selesai. Jadi apa yang diomongin KPU di depan anggota DPR bukan omong kosong ya.
Alhasil setelah melakukan rapat konsultasi di DPR, KPU batal menggunakan metode dua panel dan tetap menggunakan metode satu panel seperti pemilu 2019.
Terus mekanisme dan metode penghitungan suara yang akan digunakan pada pemilu 2024 gimana dong?
Sampai artikel ini dibuat, aku belum menemukan peraturan pengganti untuk pemungutan dan penghitungan suara pemilu 2024. Mekanisme penghitungan suara terdapat dalam Bab IV Peraturan KPU Nomor 3 Tahun 2019 tentang Pemungutan dan Penghitungan Suara Dalam Pemilihan Umum.
BACA JUGA: PRO KONTRA SISTEM PEMILU PROPORSIONALX TERBUKA VS TERTUTUP
Dijelaskan bahwa penghitungan suara diawali dengan ketua KPPS mengumumkan pemungutan suara telah selesai dan rapat penghitungan suara dimulai. Kemudian secara singkat mekanisme penghitungan suara dilakukan ketua KPPS dibantu anggota KPPS dengan cara sebagai berikut.
- Membuka kunci dan tutup kotak suara dan disaksikan semua pihak yang hadir.
- Mengeluarkan surat suara dari kotak suara dan diletakkan di meja ketua KPPS.
- Menghitung jumlah surat suara dan memberitahukan jumlah tersebut kepada yang hadir serta mencatat jumlahnya.
- Mencocokkan jumlah surat suara yang terdapat dalam kotak suara dengan jumlah pemilih yang hadir dalam formulir.
- Mencatat hasil penghitungan jumlah surat suara masing-masing pemilu yang diumumkan.
Proses penghitungan suara dilakukan secara berurutan dimulai dari penghitungan suara presiden dan wakil presiden, anggota DPR, anggota DPD, anggota DPRD Provinsi dan anggota DPRD kabupaten/kota.
Secara sekilas cukup simpel kan, tugas KPPS dalam menghitung suara? Kalau pemikiran kita seperti itu, tidak ada bedanya dengan pernyataan anggota DPR yang bingung duluan setelah mendengar penjelasan KPU.
Terlepas dari metode dan mekanisme yang akan digunakan, IMO penyelenggara pemilu harus tetap memperbaiki regulasi teknis, melakukan langkah-langkah mitigasi dan tentunya dibarengi dengan fasilitas memadai serta anggaran yang masuk akal.