GOLPUT MERUPAKAN SIKAP YANG DIJAMIN OLEH KONSTITUSI! MEMILIH ADALAH HAK, BUKAN KEWAJIBAN

Saya yakin pada setiap momentum pemilu, istilah golput atau golongan putih, yaitu sikap untuk tidak memilih akan ramai dibahas. Bahkan mereka yang golput juga sering dikucilkan dan dianggap kriminil sehingga layak dipidanakan. 

Jika melihat sejarah Pemilu di Indonesia, sebagaimana dikutip melalui tirto.id, istilah golput pertama kali muncul pada tahun 1971. Gerakan golput digaungkan pemuda dan mahasiswa yang memprotes penyelenggaraan Pemilu 1971.  

Menurut Priyatmoko, golput lahir sebagai keengganan masyarakat dalam menggunakan hak pilihnya ketika pemilu. Baik pemilihan legislatif, presiden dan wakil presiden, maupun kepala daerah. Hal itu disebabkan rasa kecewanya pada sistem politik dan pemilu yang tidak banyak memberikan perubahan apapun bagi kehidupan masyarakat. 

Masyarakat merasa peran elite politik dalam menjalankan sistem pemerintahan tidak sesuai dan tidak memberikan perubahan sebagaimana mestinya. Lantas gerakan golput inilah lahir dan muncul di tengah masyarakat. 

Bagi kader simpatisan bahkan tim sukses partai, keadaan yang seperti itu sangatlah mengganggu. Karena berpotensi menurunkan suara partai yang mereka dukung. 

Sehingga tidak salah kalau mereka “Si Paling Tim Sukses Partai” suka menganaktirikan bahkan mengecap kriminil bagi yang mengambil sikap golput. Tapi apakah fakta hukumnya demikian, bahwa golput adalah tindakan melawan hukum? Mari kita bahas bersama pren. 

Golput Adalah Sikap yang Dijamin Konstitusi 

Jika kamu pernah membaca tulisan Mas Pradnanda Berbudi berjudul “JANGAN BAPER DENGAN GOLPUT,” maka secara legalitas hukum sudah dijelaskan bahwa golput adalah sikap yang tidak melawan hukum dan dijamin konstitusi. 

Sebagaimana Hak konstitusional (constitutional right) yang dijamin serta dilindungi UUD 1945 dan diberikan kepada warga negaranya. Salah satunya adalah hak memilih dalam pemilihan umum. 

Hal ini sebagaimana dijelaskan Pasal 28 E Ayat (3) UUD 1945 menyatakan dengan tegas bahwa “Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat.” Ketentuan inilah yang menjadi dasar konstitusional atas jaminan dan perlindungan hak untuk memilih dalam Pemilu. 

Selain itu Pasal 43 Ayat (1) dan (2) Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia menyatakan sebagai berikut. 

  1. Setiap warga negara berhak untuk dipilih dan memilih dalam pemilihan umum berdasarkan persamaan hak melalui pemungutan suara yang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
  1. Setiap warga negara berhak turut serta dalam pemerintahan dengan langsung atau dengan perantaraan wakil yang dipilihnya dengan bebas, menurut cara yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan.

Dari dua ketentuan hukum di atas sudah sangat jelas, memilih dalam pemilu adalah hak warga negara yang harus dilindungi dan dijamin. Kata kunci dari memilih dalam pemilu ini adalah ‘hak.’ 

Mengingat memilih adalah hak yang melekat pada manusia (person), maka hak itu bisa digunakan untuk memilih atau tidak memilih. Negara harus mampu memberikan jaminan dan perlindungan terhadap seseorang yang akan menggunakan haknya atau tidak. 

Perlu diingat juga, bahwa hak itu berbeda dengan kewajiban. Jika pemilu adalah kewajiban, maka bisakah bagi yang tidak melaksanakan kewajiban terkena ancaman hukuman, seperti kewajiban membayar pajak. Nah, berhubung memilih adalah hak, jadi apabila tidak menjalankannya juga tidak masalah kan. 

BACA JUGA: GIMANA SIH, CARA ANAK RANTAU BISA IKUT PEMILU TANPA HARUS PULKAM?

Menyuap Orang untuk Golput Bisa Dipidana 

Walaupun golput merupakan hak dan dijamin konstitusi, tapi ada ketentuan pidana yang bisa menjeratnya. Yaitu, bilamana ada yang menyuap orang lain untuk golput alias tidak menggunakan hak pilihnya. 

Ketika ada peristiwa menyuap untuk golput, barulah menurut ketentuan Pasal 284 Undang-undang Pemilu yang berbunyi, “Dalam hal terbukti pelaksana dan tim Kampanye Pemilu menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya sebagai imbalan kepada peserta Kampanye Pemilu secara langsung atau tidak langsung untuk: 

  1. tidak menggunakan hak pilihnya;
  2. menggunakan hak pilihnya dengan memilih peserta pemilu dengan cara tertentu sehingga surat suaranya tidak sah;
  3. memilih pasangan calon tertentu;
  4. memilih partai politik peserta pemilu tertentu; dan/atau
  5. memilih calon anggota DPD tertentu.

Dapat dijatuhi sanksi pidana pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda maksimal Rp36 juta sebagaimana ketentuan pidana tersebut diatur dalam Pasal 515 Undang-undang Pemilu. 

Tapi masa iya sih, ada yang seperti itu. Biasanya yang sering terjadi kan, serangan fajar. Yaitu menyuruh orang lain untuk memilih partai dan paslon tertentu dengan imbalan uang. 

So, itulah pren, pandangan saya tentang golput. Bahwa sikap golput menurut konstitusi, merupakan hak politik warga negara sepenuhnya dan bukan pelanggaran hukum. 

Mohsen Klasik
Mohsen Klasik
El Presidente

MEDSOS

ARTIKEL TERKAIT

Leave a reply

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

DARI KATEGORI

Klikhukum.id