Generasi sekarang sungguh sangat kreatif, apapun medianya dapat dijadikan alat pertempuran untuk menyuaran demokrasi, sebagai bukti #gejayanmemanggil kembali tranding khususnya di Twitter pada Sabtu 09 Maret 2020. Moment ini membuktikan Jogja tidak kehilangan suara lantang para kaum intelektualnya.
Setelah aksi Gejayan Memanggil Jilid I pada Senin 23 September 2019 menuai banyak pujian dari semua kalangan masyarakat, mengingat aksi ini cukup eksentrik dan dipadu dengan damai dan kreatif, ditambah banyaknya adek-adek mahasiswa yang fashionabel dengan style indienya yang ikut menghadiri sidang parlemen jalan tersebut.
Sebagai mantan seorang mahasiswa yang dulu juga aktif di salah satu organ ekstra kampus tepatnya di Kampus FH UII, moment #gejayanmemanggil bagi saya pribadi merupakan gerakan murni mahasiswa yang ditunggangi oleh suara kepentingan rakyat. Mengapa demikian? Karena dalam aksi tersebut semua entitas organ-organ ekstra maupun intra kampus melebur menjadi satu dalam wadah Aliansi Rakyat Bergerak.
Bagi saya hal ini harus diapresiasi dan menjadi pukulan telak bagi pemerintah, karena sudah menjadi suatu keniscayaan demokrasi akan menghadirkan ruang-ruang kritik yang membangun dalam setiap keputusan-keputusan yang diambil oleh pemerintah.
Isu utama yang dibangun dalam Aliansi Rakyat Bergerak tentang isu penolakan terhadap RUU Omnibus Law, sebagaimana dikutip Kumparan.com melalui Humas ARB, Kontratirano. Dalam keterangan tertulisnya ARB menjelaskan mendukung berlangsungnya konsolidasi di berbagai wilayah menolak RUU Omnibus Law. Setidaknya ada 4 RUU yang dikritisi yakni, Cipta Kerja, Perpajakan, Ibu Kota Negara, dan Farmasi.
“Provinsi D.I. Yogyakarta dikenal sebagai salah satu kota dengan pluralitas tinggi, maka wajar pula jika seluruh elemen masyarakat mengambil peran dalam upaya menanamkan kesadaran massa terhadap proses dan isi setidaknya empat Rancangan Undang Undang, yakni Cipta Kerja, Perpajakan, Ibu Kota Negara, dan Farmasi,” jelas Kontratirano.
Aliansi Rakyat Bergerak bukan tanpa sebab mengkritisi tentang RUU Omnibus Law tersebut, perlunya mengkritisi karena sedari awal RUU Omnibus Law telah menyalahi aturan. Langkah pemerintah dan DPR menutupi pembahasan Omnibus Law dianggap telah menyalahi UU No.12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.
BACA JUGA: MANUVER RUU OMNIBUS LAW, CILAKA BAGI PERDA
“Perumusan Omnibus Law yang tidak melibatkan peran masyarakat dan lembaga atau organ terkait lainnya membuktikan pemerintah dan DPR melanggar asas good governance, keterbukaan, kepastian hukum, serta keterlibatan publik,” katanya. Sebagaimana dikutip melalui Kumparan.com
Sehingga sudut pandang saya terbangun, sejatinya dalam merumuskan suatu aturan perundang-undangan langgamnya sudah sangat jelas, yaitu berpatokan kepada UU No. 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.
Sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 16 UU No. 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan yang menyatakan bahwa,
“Perencanaan penyusunan Undang-Undang dilakukan dalam Prolegnas”. Dan Pasal 17 “Prolegnas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 merupakan skala prioritas program pembentukan Undang-Undang dalam rangka mewujudkan sistem hukum nasional.”
Kontratirano sebagai humas Aliansi Rakyat Bergerak kepada Kumparan.com, menyatakan bahwa pembentukan RUU Omnibus Law tidak melibatkan peran masyarakat dan lembaga, atau organ terkait lainnya. Hal tersebut membuktikan, bahwa pemerintah telah menghilangkan peran masyarakat untuk memberikan berbagai pertimbangan.
Sebagaimana diatur dalam Pasal 21 Ayat (3) UU No. 21 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan disebutkan bahwa,
“Penyusunan Prolegnas di lingkungan DPR sebagaimana dimaksud pada Ayat (2) dilakukan dengan mempertimbangkan usulan dari fraksi, komisi, anggota DPR, DPD, dan/atau masyarakat.”
Ketika mengkaji fase kalimat di atas memang ada kata dan/atau, yang artinya DPR bisa melibatkan masyarakat atau tidak melibatkan masyarakat dalam pembentukan suatu RUU.
Namun logika berdemokrasinya masa iya, ketika aturan mau dibuat, masyarakat yang terimbas langsung dari aturan tersebut gak dilibatkan, lakyo sama saja ‘dagelan’ toh.
Sehingga ketika dengan powernya DPR membentuk RUU apapun, tanpa melibatkan suara rakyat tentu asas good governance menjadi slogan saja, dan falsafah demokrasi yang menghasilkan sistem pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat, hanya sebuah ilusi semata. Mimpi bung.
Coba kita baca pengertian good governance, menurut Kasman Abdullah bahwa sesungguhnya good governance bukanlah suatu formula yang baru, melainkan suatu asas atau prinsip yang telah berusia ratusan tahun, yang seharusnya menjadi sendi-sendi pemerintah dalam negara demokrasi modern yaitu bagaimana penyelenggaraan pemerintah tersebut mengedepankan prinsip partisipasi, transparansi, dan akuntabilitas, serta membuka ruang bagi keterlibatan warga masyarakat. (Ditulis dalam jurnal Meritokrasi, Judul “Penyelenggaraan Pemerintah Dalam Konsep Good Governance” FH Universitas Hasanudin, 2002).
BACA JUGA: KANG YONO DI GEJAYAN
Hadirnya RUU Omnibus Law pada tataran fakta di lapangan sudah menuai banyak protes oleh kalangan masyarakat terdampak, misalnya saja RUU Cilaka yang sudah banyak mendapatkan penolakan dari berbagai perkumpulan dan serikat pekerja, mengingat hak mereka banyak yang dilanggar dalam aturan tersebut.
Penolakan juga muncul dari para pemerhati lingkungan, menimbang RUU Omnibus Law juga menjadi jalan masuk kehancuran lingkungan hidup, karena proses pembangun investasi akan banyak menyalahi AMDAL.
Rapat akbar parlemen jalanan yang akan disidangkan dalam Aliansi Rakyat Bergerak Senin 9 Maret 2020, bertempat di Jalan Gejayan, Sleman Yogyakarta merupakan wujud sehatnya masyarakat dalam berdemokrasi. Kritik yang membangun memang perlu dilantangkan demi kemajuan bangsa dan negara !!!
Selanjutnya sekapor sirih pesan saya, tetapkan melawan dengan jalur yang bijak. Selalu hargai sesama masyarakat yang juga beraktivitas di Jalan Gejayan, karena sudah sewajarnya Gejayan milik semua orang dan banyak melahirkan orang-orang besar.