MERENUNGKAN HARI TOLERANSI INTERNASIONAL

Setiap tanggal 16 November, dunia memperingati Hari Toleransi Internasional. Dimulai dengan penandatanganan Declaration of Principles on Tolerance pada 16 November 1995, pada dasarnya Hari Toleransi Internasional dilatarbelakangi dengan banyaknya kasus diskriminasi, kekerasan, hingga ketidakadilan di dunia ini.

Salah dua dari contoh kekerasan tersebut adalah peristiwa peperangan antara suku Tutsi dan suku Hutu di Rwanda, serta peristiwa peperangan yang terjadi di wilayah bekas negara Yugoslavia. Maka dibuatlah deklarasi tersebut, sebagai penghormatan terhadap bentuk ekspresi serta beragam budaya yang ada.

“Toleransi adalah rasa hormat, penerimaan, dan penghargaan terhadap keanekaragaman budaya dunia yang beragam, bentuk ekspresi dan cara kita menjadi manusia,” demikian pernyataan dari deklarasi tersebut mengenai definisi toleransi.

Selain itu, dalam menjalankan praktek toleransi, deklarasi tersebut juga menyatakan bahwa seseorang bebas untuk mengikuti keyakinannya sendiri dan menerima bahwa orang lain mengikuti keyakinan orang tersebut. Itu artinya kalau kamu yakin dia jodohmu, tapi ternyata doi yakin jodohnya bukan kamu, ya jangan dipaksain. Kamu harus menoleransi perbedaan keyakinan tersebut. Ya gak, Pak Pimred?

Deklarasi a quo juga menyatakan bahwa toleransi di tingkat negara membutuhkan peraturan perundang-undangan dan penegakan hukum yang adil dan tidak memihak, serta peluang ekonomi dan sosial yang sama untuk setiap orang tanpa terkecuali. Bahkan deklarasi juga mewanti-wanti bahwa setiap bentuk pengucilan maupun marginalisasi dapat mengakibatkan rasa permusuhan dan perasaan fanatisme yang berlebihan.

TOLERANSI DI INDONESIA

Selama ini, publik selalu beranggapan bahwa toleransi hanyalah sebatas perkara agama. Padahal, berdasar pernyataan deklarasi, toleransi tidaklah melulu soal agama. Kebebasan berekspresi, berkumpul, dan menyampaikan pendapat pada dasarnya juga merupakan salah satu wujud toleransi itu sendiri.

Jaminan atas kebebasan berekspresi, berkumpul dan menyampaikan pendapat pun sudah diatur dalam peraturan perundang-undangan, yakni pada Pasal 28 UUD 1945 juncto Pasal 24 Ayat (1) juncto Pasal 25 UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Dengan adanya jaminan tersebut, seharusnya terjadi toleransi dalam menjalankan kebebasan-kebebasan tersebut.

Hanya saja, meski di atas kertas sudah terdapat beberapa peraturan yang menjamin kebebasan-kebebasan tersebut, toh tetap saja beberapa kali terjadi peristiwa yang justru menunjukkan intoleransi dalam menjalankan kebebasan-kebebasan tersebut. Sangat jauh dari harapan akan terjadinya toleransi.

Berdasar catatan atas Hari Toleransi Internasional tahun 2018 yang dibuat oleh Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), meskipun Presiden sudah berkali-kali menyatakan bahwa, “Tidak ada tempat untuk intoleransi di Indonesia,” toh kenyataannya hal tersebut hanyalah ketegasan normatif belaka. Implementasinya? Saya bisa bilang, cukup mengharukan.

Apa alasannya? Mari kita mengenang, salah satunya kasus yang menimpa Basuki Tjahaja Purnama atawa Ahok, dimana kasus tersebut bertanggung jawab atas Aksi Massa 212, aksi massa dengan jumlah peserta yang cukup masif. Yah, meski bagi kawan saya, angka-angka di belakang aksi massa 212 dan aksi-aksi sejenis lainnya lebih sering dijadikan sebagai bahan taruhan judi togel, sih.

Oke, lanjut. Peristiwa itu bermula dari pidato Ahok yang saat itu menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta pada 30 September 2016. Pidato yang disampaikan oleh Ahok di hadapan warga Kepulauan Seribu itu sukses mengirimnya ke penjara dengan tuduhan melanggar Pasal 156a Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).

“Baiklah, peristiwa itu sudah lama berlalu. Lalu, di mana letak intoleransinya? Bukankah Ahok melukai perasaan sebagian umat Islam, ya?”

Sabar, mas. Ini lagi mau saya jelasin. Tenang dulu, duduk dulu, gak baik marah-marah terus.

Negara pada dasarnya sudah mengakomodir kebebasan berekspresi, berkumpul dan mengeluarkan pendapat dalam peraturan perundang-undangan yang ada. Hanya saja, kebebasan-kebebasan tersebut sering kali tidak terakomodir karena adanya peraturan-peraturan lain yang sifatnya justru menganulir kebebasan tersebut, salah satunya Pasal 156a KUHP.

“Lha kok bisa? Bukannya itu justru melindungi orang-orang dari tindakan main hakim sendiri, ya?”

Nah, kalau kita kembalikan lagi makna toleransi berdasar pernyataan pada Declaration of Principles on Tolerance, toleransi itu kan artinya rasa hormat, penerimaan, dan penghargaan terhadap keanekaragaman budaya dunia yang beragam, bentuk ekspresi dan cara kita menjadi manusia. Lha, gimana kita bisa menghormati bentuk ekspresi ketika hal tersebut justru mengirim seseorang yang mengeluarkan ekspresi tersebut ke penjara?

Begitu juga dengan kasus Ahok yang dikenai Pasal 156a KUHP, yang sebenarnya merupakan pasal tambahan dari UU Nomor 1/PNPS/1965 tentang Penodaan Agama itu? Apakah begini cara kita menoleransi pendapat seseorang? Dengan mengirimnya ke penjara, begitu? Kalau iya, maka wajar saja orang-orang makin takut untuk berpendapat, karena khawatir dengan ketentuan pidana dalam UU Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) yang sangat karet itu.

“Lho ya gak gitu, mas. Kan dalam menjalankan hak-hak asasinya, terdapat pembatasan yang diatur oleh undang-undang. Jadi ya menjalankan hak-hak asasi itu gak sepenuhnya mutlak.”

Pada poin itu, saya setuju. Akan tetapi, selama peraturan-peraturan yang memuat ketentuan yang sangat bias dan sifatnya subjektif macam ketentuan dalam Pasal 156a KUHP dan ketentuan-ketentuan dalam UU ITE, maka pada dasarnya kebebasan berekspresi dan berpendapat akan sulit diterapkan karena orang-orang akan memilih diam ketimbang bicara tetapi berisiko dikirim ke penjara.

Dengan sulitnya menerapkan kebebasan berekspresi dan berpendapat, lalu bagaimana cara kita belajar menoleransi pendapat yang berbeda ketika pilihan untuk mengirim lawan ke penjara lebih menyenangkan? Saya bertanya-tanya.

Mahendra Wirasakti
Mahendra Wirasakti
Pendiri Marhenisme

MEDSOS

ARTIKEL TERKAIT

Leave a reply

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

DARI KATEGORI

Klikhukum.id