Jagad medsos minggu ini lagi rame ngebahas seruan dari Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan ke pendiri Bloomberg Philanthropies, Michael R Bloomberg. Aku baca dari Kompas.com, Wakil Gubernur DKI Jakarta Ahmad Riza Patria membenarkan bahwa Anies Baswedan memang pernah mengirim surat kerja sama kampanye anti-rokok kepada Michael R Bloomberg.
Entah surat itu difollow up, apa nggak sama Mas Bloom, nyatanya Pak Anies tetap gencar melakukan kampanye anti rokok. Salah satunya dengan mengeluarkan Seruan Gubernur Nomor 8 Tahun 2021 Tentang Pembinaan Kawasan Dilarang Merokok.
Sebagai orang hukum, aku tuh sebenernya baru kali ini membaca istilah seruan gubernur (maklum kuper). Yang aku tau, biasanya sih, seorang gubernur lebih sering mengeluarkan surat edaran, daripada seruan. Jadi penasaran dong, sebenernya seruan ini apaan sih? Cuzzz, mari kita bikin anabelnya (analisis gembel).
Kita gak bakal nemuin kedudukan seruan gubernur dalam hierarki peraturan perundang-undangan yang ada di Indonesia. UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, gak mengenal produk hukum berupa seruan.
BACA JUGA: ROKOK MENYEBABKAN PENDAPATAN BAGI NEGARA
Meskipun pake istilah yang gak biasa, menurutku sebenernya surat seruan gubernur ala Pak Anies ini merupakan sebuah diskresi. Apa itu diskresi? Nganu….
Pasal 1 angka 9 UU No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintah menjelaskan bahwa diskresi adalah keputusan dan/atau tindakan yang ditetapkan dan/atau dilakukan oleh pejabat pemerintahan untuk mengatasi persoalan konkret yang dihadapi dalam penyelenggaraan pemerintahan dalam hal peraturan perundang-undangan yang memberikan pilihan, tidak mengatur, tidak lengkap atau tidak jelas, dan/atau adanya stagnasi pemerintahan.
Pusingkan lu bacanya, hahahaha.
Gini deh, secara bebas aku definisikan deskresi itu semacam suatu hak yang diberikan kepada pejabat publik untuk bertindak atas inisiatifnya sendiri. Jadi, pejabat publik itu punya kewenangan bebas yang melekat pada jabatannya. Tapi, tetep ya pelaksanaannya haruslah sesuai hukum dan dapat dipertanggungjawabkan.
Contoh diskresi itu misalnya, polisi lalu lintas, melakukan pengawalan pada aksi konvoi motor gede (moge). Jadi, kalo kamu cuma naik motor Mio, ya gak usah sambat ngeliat iring-iringan moge menerabas lampu merah yang dikawal oleh pak polisi. Yaa, itulah diskresi.
Diskresi itu dasar hukumnya ada di UU No. 30 Tahun 2014 Tentang Administrasi Pemerintahan. Diskresi hanya boleh dibuat oleh pejabat yang berwenang. Kalo kita membaca ketentuan Pasal 22 Ayat (2) UU Administrasi Negara, dijelaskan bahwa diskresi itu bertujuan untuk:
- melancarkan penyelenggaraan pemerintahan;
- mengisi kekosongan hukum;
- memberikan kepastian hukum; dan
- mengatasi stagnasi pemerintahan dalam keadaan tertentu guna kemanfaatan dan kepentingan umum.
Nah, kan luas banget ya tujuannya. Mengingat diskresi itu rawan untuk disalahgunakan, maka ada beberapa syarat untuk membuat sebuah diskresi.
Ketentuan Pasal 24 UU Administrasi Negara bilang, bahwa syarat diskresi adalah:
- dibuat sesuai dengan tujuan diskresi;
- tidak bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
- sesuai dengan Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik (AUPB);
- berdasarkan alasan-alasan yang objektif;
- tidak menimbulkan konflik kepentingan; dan
- dilakukan dengan iktikad baik.
Semua syarat tersebut harus dipenuhi ya, karena sifatnya komulatif.
Menurutku syarat diskresi tidak boleh bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan itu penting banget. Biar diskresi yang dibuat harmonis dan gak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang sudah ada.
Cilakanya, ketentuan tentang syarat bahwa sebuah diskresi tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan ini, dihapus pula oleh No. 11 Tahun 202 Tentang Cipta Kerja.
BACA JUGA: PEROKOK BIJAK, PASTI TAHU TEMPAT
Ketentuan Pasal 175 UU Cipta Kerja tega banget menghapus syarat diskresi“Tidak bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.” Dengan dihapusnya syarat tersebut, sebenarnya hal ini bakal makin melebarkan potensi penyalahgunaan diskresi oleh pejabat publik.
Bayangin aja, betapa mudahnya seorang pejabat publik menggunakan kewenangannya untuk membuat diskresi. Padahal belum tentu diskresi dibuat untuk kepentingan umat, bisa aja kan pejabat tersebut membuat diskresi hanya untuk keuntungan pribadi ataupun kelompoknya.
Lagi, lagi, sulitkan untuk membuktikan bahwa suatu diskresi yang dikeluarkan oleh pejabat publik itu emang bener dibuat untuk kepentingan publik. Siapa yang bisa jamin gak ada niat terselubung di balik sebuah diskresi. Ibarat pepatah jadul yang bilang, “Dalamnya laut bisa diukur, dalamnya hati pejabat publik, siapa yang tau.”
Misalnya aja kayak Seruan Gubernur Tentang Pembinaan Kawasan Dilarang Merokok yang lagi hits ini. Emang yakin gak ada niat dan motif terselubung? Kalo tulus, kenapa pake modus ke Mas Bloom. Hayooo.
Nah, menurut kamu, kira-kira ada motif apa ya di balik terbitnya Seruan Gubernur Tentang Pembinaan Kawasan Dilarang Merokok ini? Xixixixi.