“Kamu gak Jumatan?” tanya ibu saya ketika hari Jumat kemarin saya menyalakan komputer pada jam 12 siang. Saya pun bertanya balik. “Lho, emangnya ada Jumatan? Kan masjid masih pada ditutup.”
“Enggak ya, sekarang udah new normal, kok. Masak kamu gak tau?” kata ibu saya.
Saya terdiam. Ya, akhir-akhir ini, kata ‘new normal’ sering sekali mondar-mandir di media. Hal itu disebabkan karena pemerintah mewacanakan hal tersebut sebagai skenario agar masyarakat beradaptasi dengan wabah COVID-19 yang saat ini menjadi pandemi di seluruh dunia. Wacana ini sendiri menimbulkan pro dan kontra dan jadi perbincangan banyak orang.
Bagi pihak yang pro, pertimbangannya adalah karena perekonomian masyarakat sudah mulai berada di titik nadir, sedangkan bagi pihak yang kontra, pertimbangannya adalah karena apabila kehidupan normal gaya baru ini diterapkan maka berpotensi meningkatkan jumlah penderita COVID-19 setiap harinya.
Itu saja. Itu saja. Padahal sejak wacana ini digulirkan oleh pemerintah, wacana ini sudah membuat saya bertanya-tanya, apakah pemerintah sudah siap dengan konsepnya? Karena sejujurnya, sejak wacana ini muncul ke publik, rasa-rasanya pemerintah belum mensosialisasikan konsepnya sama sekali kepada masyarakat, sehingga yang terjadi hanyalah perdebatan antara pro dan kontra mengenai wacana tersebut.
BACA JUGA: GAK JADI PERANG LAWAN CORONA
Selain itu, apa yang baru dari kehidupan ‘new normal’ yang diwacanakan tersebut? Apakah mencuci tangan, menggunakan masker ketika bepergian, dan menjaga jarak dengan orang lain termasuk konsep hidup yang baru? Bukankah itu sudah lama dilakukan oleh banyak orang?
Itu masalah pertama. Masalah kedua adalah apabila kita mengacu pada teori Roscoe Pound yang menyatakan bahwa, “Law as a tool of social engineering” alias hukum sebagai alat untuk rekayasa sosial, apakah kebijakan ‘new normal’ tersebut akan diperkuat dengan peraturan perundang-undangan yang dapat memaksa masyarakat menaati kebijakan tersebut? Atau hanya akan dibiarkan berjalan dengan sendirinya tanpa adanya peraturan perundang-undangan yang dapat memaksa masyarakat untuk menaati konsep ‘new normal’ tersebut?
Begini maksud saya: ketika pemerintah pusat menetapkan keadaan darurat kesehatan berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 11 Tahun 2020 yang diikuti dengan penerbitan PP Nomor 21 Tahun 2020 yang mengatur mengenai Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), beberapa daerah kemudian menerapkan kebijakan PSBB dan menganjurkan warganya untuk tetap tinggal di rumah.
Permasalahannya adalah, kenyataannya masih banyak orang yang menyepelekan hal tersebut. Banyak yang tetap beraktivitas di luar rumah. Sebagai contoh adalah penerapan PSBB di ibukota. Peneliti dari Universitas Indonesia, Pandu Riono menyatakan bahwa berdasarkan hasil penelitiannya, orang-orang yang tinggal di Jakarta pada awalnya mengikuti anjuran untuk tetap tinggal di rumah.
BACA JUGA: MENYAMBUT NEW NORMAL DI SEKOLAH
Akan tetapi, ketika memasuki Bulan Ramadhan, orang-orang mulai kembali beraktivitas di luar rumah. Hal ini menunjukkan bahwa penerapan PSBB yang ‘hanya’ diikuti dengan anjuran tersebut tidak dilakukan oleh masyarakat. Sialnya, apabila merujuk Pasal 93 UU No. 6 Tahun 2018 Tentang Kekarantinaan Kesehatan, seharusnya orang-orang yang tidak mematuhi PSBB tersebut dapat dipidana dengan pidana berupa pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp100.000.000,- (seratus juta rupiah). Itu artinya pemerintah justru ragu untuk menegakkan peraturan perundang-undangan yang telah dibuatnya sendiri.
Berkaca pada pengalaman penerapan PSBB tersebut, tentu saja kita tidak menginginkan hal tersebut terulang dalam ‘new normal’ yang pada akhirnya justru mengakibatkan melonjaknya penderita COVID-19. Hanya saja, kembali ke pertanyaan awal: apakah perlu adanya peraturan yang mengatur mengenai ‘new normal’ tersebut atau ‘hanya’ mengharapkan kesadaran dari masyarakat?
Permasalahan ketiga adalah apabila diperhatikan, wacana konsep ‘new normal’ ini pada dasarnya adalah untuk mengembalikan perekonomian yang sempat terpuruk dan berada di titik nadir karena hantaman COVID-19. Hanya saja, apakah kegiatan perekonomian, khususon yang mengundang massa dalam jumlah yang besar seperti konser, pasar dadakan, pariwisata, dan lain sebagainya, dapat benar-benar kembali seperti sebelum adanya wabah COVID-19 ini?
Kita sudah mengetahui fakta bahwa COVID-19 ini dapat menular melalui kontak fisik, sehingga terdapat istilah physical distancing agar orang-orang tidak bersentuhan dan menjaga jarak dengan orang lain yang ditemuinya di luar rumah. Lalu bagaimana dengan kegiatan perekonomian yang mengundang massa dalam jumlah besar tersebut?
BACA JUGA: NEW NORMAL, SUDAH TERSEDIAKAH FASILITASNYA?
Pada akhirnya, wacana konsep ‘new normal’ yang dilontarkan oleh pemerintah tersebut justru lebih banyak membuat bertanya-tanya ketimbang mengkritisi hal tersebut, karena pemerintah sendiri sampai saat ini belum mensosialisasikan lebih jauh mengenai konsep tersebut kepada masyarakat.
Memang benar sudah ada tanda-tanda pemerintah serius menerapkan kebijakan tersebut, contohnya adalah kebijakan Kementerian Perhubungan yang dituangkan dalam Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 41 Tahun 2020 yang menghapus aturan jumlah maksimal penumpang berdasar kapasitas kendaraan.
Selain itu, Kementerian Perhubungan juga mulai melonggarkan transportasi yang sebelumnya benar-benar dilarang, seperti pelonggaran penerbangan yang sudah berjalan dan juga kereta api yang mulai berlaku pada 12 Juni 2020.
Akan tetapi, tanpa konsep yang benar-benar jelas dari pemerintah, ‘new normal’ tersebut hanya menjadi perbincangan dan perdebatan di tengah masyarakat, karena pelonggaran-pelonggaran seperti yang dilakukan oleh Kementerian Perhubungan tersebut justru membuat orang bertanya-tanya, apakah itu merupakan bagian dari konsep ‘new normal’ atau justru merupakan kebimbangan pemerintah yang sejak awal bingung dalam memilih antara fokus kepada kesehatan masyarakat atau fokus pada menyelamatkan perekonomian?