Kemarin seorang rekan Penyidik di Unit PPA menghubungi saya. Blio sambat seputar proses penyidikan untuk kasus penelantaran. Kasus penelantaran memang salah satu kasus yang paling ribet proses pembuktiannya.
Saya heran banget, kenapa sih, banyak suami ataupun seorang ayah yang gak punya rasa tanggung jawab dan tega menelantarkan anak dan istrinya. Serius loh, saya sering melihat seorang suami yang gak mau kerja dan membiayai rumah tangganya. Banyak juga suami yang berpenghasilan, tapi pelitnya kebangetan dan sama sekali gak mau membiayai anak-istrinya.
Lebih ironis lagi, saya juga sering melihat setelah bercerai dengan istrinya, seorang ayah kadang sama sekali gak mempedulikan anak-anaknya. Abis cerai langsung aja, dadah bye bye. Huh jahat, padahal kan gak ada yang namanya mantan anak.
Sebenarnya UU No. 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU PKDRT) sudah mengatur sanksi bagi setiap orang yang melakukan penelantaran. Setiap orang dilarang menelantarkan orang dalam lingkup rumah tangganya, padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau karena perjanjian ia wajib memberikan kehidupan, perawatan, atau pemeliharaan kepada orang tersebut. Contoh konkret penelantaran yang dimaksud adalah penelantaran oleh orang tua terhadap anaknya.
Selanjutnya setiap orang juga gak boleh menelantarkan orang-orang yang masuk dalam ruang lingkup keluarganya yang punya ketergantungan secara ekonomi. Misalnya nih, seorang suami gak boleh menelantarkan istrinya.
Tindakan penelantaran dapat dilaporkan kepada pihak yang berwajib (Kepolisian R.I), karena secara tegas Pasal 49 UU PKDRT mengatur bahwa pelaku penelantaran dapat dijerat dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp15.000.000,00. Gimana, seremkan?
BACA JUGA: UNBOXING “PASAL 3” PP MANAJEMEN PNS
Tindak pidana penelantaran ini merupakan delik aduan. Itu artinya perbuatan tersebut baru akan ditindak oleh pihak yang berwajib apabila ada aduan (laporan). Jadi, kalo nggak ada aduan (laporan), maka pihak yang berwajib gak bisa melakukan upaya perlindungan maupun pengamanan.
Membaca sekilas ketentuan Pasal 9 dan Pasal 49 UU PKDRT, rasa-rasanya UU ini sangat berpihak kepada korban. Cuma nih, ternyata oh ternyata, implementasi untuk perlindungan terhadap korban penelantaran, terutama terkait penelantaran ekonomi itu susah pake banget.
Saya pernah beberapa kali mendampingi korban penelantaran. Sepanjang pengalaman saya, proses hukumnya ribet, proses pembuktiannya sulit, hukumannya gak seberapa, sebenernya gak cocok kalo untuk ngasih efek jera. Bener sih, ancaman hukumannya maksimal 3 (tiga) tahun, tapi nyatanya sanksi yang dijatuhkan untuk pelaku penelantaran paling juga cuma 3 (tiga) bulan, kadang malah cuma hukuman percobaan.
Saya bisa bilang keadilan dan perlindungan hukum untuk korban penelantaran masih jauh dari harapan. Ngomongin soal penelantaran ini gak jales banget parameternya, karena di penjelasan Pasal 9 dan Pasal 49 UU PKDRT cuma ditulis ‘cukup jelas’.
Untuk menafsirkan penelantaran secara umum, mungkin bisa lebih mudah. Contohnya aja anak gak diurus, anak gak disekolahkan, atau anak ditinggal begitu saja. Cuma masalahnya bagaimana menafsirkan tentang penelantaran secara ekonomi? Apanya coba yang cukup jelas?
Apa sih penelantaran ekonomi itu? Sama sekali nggak mau menafkahi/membiayai atau gimana. Terus gimana coba kalo ada seorang suami/ayah yang sebenarnya punya kemampuan finansial baik tapi, ia memberikan nafkah dengan asas suka-suka, kadang ngasih, kadang nggak.
Berapa lama seorang ayah/suami yang tidak menafkahi anak/istrinya bisa dibilang melakukan penelantaran? 1 (satu) bulan, 3 (tiga) bulan, 1 (satu) tahun atau berapa lama? Kalo cuma ditulis cukup jelas, lalu mau mengacu kemana aturannya?
BACA JUGA: UNBOXING PERATURAN HUKUM PRA-KERJA
Penelantaran ekonomi itu susyah untuk dibuktikan. Coba aja, mana ada sih, istri atau anak yang ngasih kuitansi atas nafkah yang diberikan oleh suami atau ayahnya? Kalo udah begitu, suami atau ayah yang dilaporkan itu bisa aja ngeles dengan bilang kalo selama ini dia selalu memberikan nafkah kepada istri atau anaknya secara Bantuan Langsung Tunai.
Karena gak jelasnya UU PKDRT mengatur tentang penelantaran, maka wajar aja kalo proses penegakkan hukum untuk pelaku penelantaran mengalami banyak hambatan. Definisi yang gak jelas, parameter yang gak jelas, kadang bikin aparat penegak hukum tidak punya kesamaan persepsi yang sama terkait perumusan tentang penelantaran.
Ketika pelaku penelantaran sudah mendapatkan sanksi pidana, lalu apakah masalah selesai sampai di sana? Setelah itu apakah si pelaku akan melakukan tanggung jawabnya untuk memberikan nafkah, memberikan perawatan dan penghidupan untuk korbannya (anak/istri)?
Pengalaman saya pribadi, saya pernah menemui seorang suami yang dilaporkan istrinya karena sama sekali gak pernah menafkahi anak-istri. Pernah juga saya menemui seorang suami yang dilaporkan istrinya karena memberikan nafkah yang sangat minim (padahal suaminya memang bekerja serabutan). Bahkan saya juga pernah menemui seorang suami berusia 65 tahun yang sudah sakit-sakitan dilaporkan oleh istrinya karena dianggap tidak bisa memberikan nafkah lagi. Huhuhuhu, itu baru tiga macem alasan kenapa seseorang dilaporkan melakukan penelantaran ekonomi, sebenarnya masih banyak alasan laporan penelantaran lainnya.
Kasus-kasus penelantaran yang agak nyeleneh gini kadang bikin aparat penegak hukum bingung untuk memprosesnya. Di satu sisi UU PKDRT mengatur sanksi pidana bagi pelakunya, tapi di sisi lain karena parameter yang gak jelas, pasal ini jadi sulit untuk terapkan.
Mungkin tulisan saya kali ini agak mbulet. Ahhaahah, iya nih, karena memang agak sulit menjabarkannya. Ruang lingkup PKDRT ini memang rada riweh, karena mengatur tentang ranah privat yang dibuat menjadi publik. Intinya sih, untuk memberikan perlindungan maksimal terhadap korban penelantaran, maka perlu ada perbaikan terhadap peraturan perundang-undangannya. Ya kan? ~~~~