Jutaan orang masih saja tidak menyadari bahwa udara segar yang mereka hirup tiap pagi, aspal mulus yang mereka lalui setiap hari adalah buah dari pohon pajak yang mereka pupuk tiap dapet rejeki. Yeah! Walau terkadang rasanya itu berat banget. Eh jadi keinget kalimat, “Nggak bayar pajak apa kata dunia”.
7 dari 10 orang temen tongkrongan saya bilang, kalo prosesi bayar membayar pajak itu adalah hal yang paling menyebalkan. Kata mereka, gimana nggak nyebelin? Kita tahu kalo negara butuh pembiayaan, eh kita pula yang disuruhnya bikin laporan. Abis bikin laporan, disuruh bayar. Kalo laporannya mencurigakan, kita diperiksa. Iya kan?
Temen tongkrongan saya bukannya nggak mau bayar pajak. Mereka faham banget gunanya pajak, cuma yang jadi masalah itu sistem penarikan pajak di negara kita yang extra ribet dan memberikan celah buat berlaku manipulatif. Ya wajar aja sih, self assesment system kan produk tahun 80an, yang bisa jadi udah nggak kompatibel lagi di jaman milenial kayak sekarang.
Penerapan self assessment system di dalam sistem perpajakan Indonesia udah mulai sejak UU No. 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan diketuk palu, alias disyahkan pada tanggal 31 Desember 1983. Dalam perkembangannya, UU No. 6 Tahun 1983 udah 4 (empat) kali mengalami perubahan, perubahan terakhir itu dengan UU No. 16 Tahun 2009.
Sebenernya nih gaes, self Assessment System itu punya filosofi yang keren abis. Sistem ini ngajarin kita buat berlaku jujur, sadar pajak, kita punya hasrat buat bayar pajak, dan disiplin alias tertib pajak. Karena filosofi itu, sistem ini ngasih kepercayaan penuh ke kita buat memperhitungkan sendiri jumlah pajak yang mesti dibayar, lalu menyetor pajak tersebut ke kas negara dan melaporkan penyetoran tersebut kepada otoritas perpajakan. Begitu kata Bapak Nurmantu, S. di bukunya yang berjudul Pengantar Perpajakan
Tapi inget gaes, laporan yang ditulis dalam surat pemberitahuan tahunan alias SPT itu kudu bener lho ya, kalo sampe keliru, atau emang sengaja memberikan keterangan yang keliru (bahasa halusnya ‘menipu’), siap-siap kena sanksi.
BACA JUGA: FAKTA TENTANG MATERAI
Tapi sayangnya, meskipun udah ada ancaman sanksi, tetep aja sistem administrasi perpajakan Indonesia belum maksimal menyadarkan wajib pajaknya. Jadi, wajar kalo ada istilah bocor… bocor… bocor…
Akhirnya, buat nutupin bocor… bocor… bocor… tadi itu, negara meresponnya dengan menerbitkan UU No. 11 / 2016 tentang pengampunan pajak atau bahasa gaulnya disebut dengan tax amnesty. Tax Amnesty adalah penghapusan pajak yang seharusnya dibayar dengan cara mengungkap harta dan membayar uang tebusan. Dalam undang-undang ini juga disebutkan, wajib pajak hanya perlu mengungkap harta dan membayar tebusan pajak sebagai pajak pengampunan atas harta yang selama ini tidak pernah dilaporkan.
Saya sih sadar kalo hampir separuh pembiayaan yang menopang pembangunan nasional itu berasal dari sektor pajak. Sebagian lagi dari pos – pos lain, seperti PNBP, pinjaman luar negeri, BUMN, obligasi, dan lain-lain. Beda sama Jepang atau Amerika yang menggantungkan sumber penerimaan negara dari penerbitan obligasi pemerintah. Kalo kita mau kayak Amerika dan sekutunya, masyarakat Indonesia kudu sejahtera dulu.
Lha gimana kita mau sejahtera, pajaknya aja banyak yang dikemplang gitu kok. Negara udah kasih kesempatan eh malah disalahgunakan. Hahaha
Emang sih, Indonesia itu gudangnya orang cerdas. Saking cerdasnya, ada aja cara buat mengelabui petugas pajak. Dalam salah satu artikelnya, Detik.com tertanggal 19 desember 2018 mengabarkan, kalo ada seorang warga yang menunggak pajak mobil mewah, dan mobil itu adalah Ferari. Hebatnya, rumah yang ditempati si wajib pajak ini bukan berada di kawasan elit nan mewah, tapi di ujung gang sempit yang mewah (mepet sawah).
Kan jadi aneh, dia punya mobil mewah, tapi parkiran nggak punya. Terus, gimana ceritanya dia bisa punya mobil ferrari yang harganya hampir setara dengan satu unit rumah mewah. Usut punya usut, ternyata si wajib pajak ini pernah dipinjem KTP-nya, dan dia nggak tahu KTP-nya dipinjem buat apaan.
“La kok kendel nemen arek iku, bujuki pajak negoro, kate keneng sanksi pajak arek iku….kene, tak kaweruhi sanksi ne pajak iku opo ae”.
Kalo sampe orang yang punya ferrari tadi ke “Gap” sama petugas pajak. Hem, siap-siap sanksi pajak menanti. Dalam UU No. 28/2007 tentang Ketentuan Umum Perpajakan (UU KUP), disebutkan bahwa ada 2 (dua) jenis sanksi perpajakan, yakni sanksi administrasi dan sanksi pidana.
BACA JUGA: ADA PA DENGAN HGU
- Sanksi administrasi yang dikenakan bagi wajib pajak yang melanggar bisa berupa denda, bunga atau bisa juga kenaikan pajak. Poin terakhir ini yang paling ditakuti dari sanksi administrasi. dan;
- Sanksi Pidana, adalah sanksi untuk wajib pajak yang melakukan pelanggaran berat, dimana pelanggaran tersebut merupakan pelanggaran yang dapat menimbulkan kerugian pada negara sebagaimana tertuang dalam uraian Pasal 38 s/d 41C Ayat 4 UU KUP. Pelanggaran sebagaimana dimaksud dapat berupa denda pidana, pidana kurungan dan pidana penjara.
Jadi buat pemilik ferrari yang sebenarnya bisa saja dia dikenakan Pasal 39 Ayat 1 huruf f UU KUP yang mengatur “Memperlihatkan pembukuan, pencatatan, atau dokumen lain yang palsu atau dipalsukan seolah-olah benar, atau tidak menggambarkan keadaan yang sebenarnya”. Pelanggar pasal tersebut bisa dikenakan pidana penjara paling singkat 6 bulan dan paling lama 6 tahun, serta dikenakan denda paling sedikit 2 kali jumlah pajak terutang dan paling banyak 4 kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang bayar.
Jadi begitulah kawanku, meskipun berdasarkan amanat Pasal 23 A UUD 1945 mengamanatkan kalo pajak itu bersifat memaksa untuk keperluan negara, namun dalam penerapannya diperlukan kesadaran yang tinggi. Kalo pajak itu kita fahami dengan landasan pancasila, mbok yakin pajak itu akan terasa sangat ringan kok. Karena sesungguhnya pajak itu bukan untuk ‘penjajah’ tapi untuk kita, dari kita dan akan kembali lagi kepada kita.