Ketika tulisan saya yang membahas mengenai peringatan Hari Pencegahan Bunuh Diri Sedunia dirilis oleh situs web dari Somalia ini, salah seorang teman saya yang di masa depan kemungkinan besar menjadi dosen di almamater saya membuat Instagram Story mengenai keberadaan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2014 tentang Kesehatan Jiwa.
Saya yang melihat Instagram Story temantersebut hanya bisa menggumam karena baru mengetahui peraturan yang diundangkan persis ketika saya menjadi maba. Dalam pikiran saya, runtuhlah sudah asas fiksi hukum yang congkak dan selalu dibangga-banggakan oleh orang yang paham hukum itu, lha wong saya sendiri baru mengetahui eksistensi UU Kesehatan Jiwa setelah undang-undang tersebut berusia enam tahun.
Baiklah, mari lupakan perkara fiksi hukum tersebut. Apabila melihat dari konsiderans UU Kesehatan Jiwa, jelas disebutkan bahwa negara menyadari pengaturan penyelenggaraan upaya kesehatan jiwa sebelum diundangkannya UU Kesehatan Jiwa belum diatur secara komprehensif, sehingga perlu diatur dalam Undang-Undang tersendiri.
Dengan kata lain, negara menyatakan bahwa selama ini belum ada peraturan yang mengatur mengenai penyelenggaraan kesehatan jiwa. Sebuah pernyataan yang tentu saja aneh karena pada dasarnya negara memiliki UU Nomor 3 Tahun 1966 tentang Kesehatan Djiwa. Jadi, di mana letak ‘belum diatur’ tersebut? Masak ya sekelas negara sampai tidak mengetahui produk peraturan yang diundangkannya sendiri?
Cuma ya gak apa, sih. Anggap saja negara lupa kalau pernah mengundangkan UU Kesehatan Djiwa di tahun 1966 tersebut, wong saat itu lagi ribut-ribut pasca G30S dan kekuasaan perlahan beralih dari Bung Karno ke Pak Harto. Mungkin negara waktu itu lupa mencatat pengundangan tersebut, hehehe.
BACA JUGA: UNBOXING PERPRES JAMINAN KESEHATAN “BARU”
Masalahnya adalah kebiasaan negara yang suka melupakan sesuatu ternyata tidak hanya terjadi sekali itu saja. UU Kesehatan Jiwa sudah mengatur bahwa peraturan pelaksana terkait UU Kesehatan Jiwa harus ditetapkan paling lama 1 (satu) tahun sejak UU Kesehatan Jiwa diundangkan.
Peraturan pelaksana terkait UU Kesehatan Jiwa yang harus segera diundangkan itu sih, gak sedikit sebenarnya. Contohnya Pasal 73 Ayat (3) yang mengatur kalau pedoman pemeriksaan kesehatan jiwa untuk kepentingan hukum diatur melalui Peraturan Menteri. Kepentingan hukum sendiri bisa terkait pidana maupun perdata.
Contoh lainnya adalah upaya rehabilitatif yang meliputi rehabilitasi psikiatrik dan/atau psikososial dan rehabilitasi sosial yang dilakukan di panti sosial milik pemerintah pusat, pemerintah daerah atau swasta. Ketentuan penyelenggaraan kedua rehabilitasi tersebut diatur di Peraturan Pemerintah.
Masalahnya adalah sejak diundangkan tahun 2014 lalu, sampai hari ini gak ada tuh yang namanya Peraturan Pemerintah maupun Peraturan Menteri yang menjadi turunan dari UU Kesehatan Jiwa. Artinya, UU Kesehatan Jiwa ini sama sekali belum memiliki peraturan pelaksana. Lalu, gimana dong enaknya?
Yah, pada akhirnya juga kita gak bisa melakukan apapun, sih. Toh, biasanya peraturan perundang-undangan terkait suatu undang-undang yang baru disahkan tetap berlaku selama tidak bertentangan dengan undang-undang yang baru disahkan tersebut. Tujuannya ya, biar gak ada kekosongan hukum.
Salah satu contohnya adalah UU Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya. Undang-undangnya disahkan tahun 2010, amanat undang-undang memerintahkan pembentukan peraturan pelaksana paling lambat 1 (satu) tahun setelah pengundangan UU Cagar Budaya, tetapi sampai hari ini, sepuluh tahun setelah pengesahan UU Cagar Budaya, peraturan pelaksananya masih pakai PP Nomor 10 Tahun 1993.
Cuma kalau UU Cagar Budaya masih mendinglah, masih punya peraturan pelaksana yang lama meski selisih usianya jauh banget. Lha kalau UU Kesehatan Jiwa? Boro-boro, cuy. Saya sudah ngecek lewat situsnya Sekretariat Kabinet dan situsnya Kementerian Kesehatan, tapi gak ada tuh yang namanya peraturan pelaksana terkait UU Kesehatan Jiwa, baik yang eksis sebelum maupun sesudah UU Kesehatan Jiwa diundangkan. Dengan kata lain, UU Kesehatan Jiwa sama sekali tidak memiliki peraturan pelaksana sampai detik ini.
BACA JUGA: PASIEN TERLANTAR, TANGGUNGJAWAB SIAPA
Kalau kayak begitu, apa dong dasar hukumnya pihak kepolisian memeriksa kejiwaan seseorang yang diduga melakukan tindak pidana, seperti pelaku penusukan terhadap Syekh Ali Jaber? Ingat, UU Kesehatan Jiwa memang memungkinkan untuk seseorang diperiksa kesehatan jiwanya demi kepentingan hukum. Cuma ya, pelaksanaannya masih harus diatur dengan Peraturan Menteri tersendiri, sih.
Pada akhirnya, meski awalnya memberikan harapan pada Orang-Orang Dengan Gangguan Jiwa (ODGJ), UU Kesehatan Jiwa masih tidak jelas implementasinya, karena sampai detik ini tidak ada peraturan pelaksana yang sudah disusun oleh pembuat kebijakan. Terlebih tidak ada sanksi apapun terhadap pemerintah apabila pemerintah tidak membuat peraturan pelaksana sampai batas waktu yang telah ditentukan terlewati.
Saya tidak tahu apakah ini bisa disebut sebagai salah satu bentuk absennya negara atau tidak, tetapi dengan tidak segera membuat peraturan pelaksana dari UU Kesehatan Jiwa, bukankah ini termasuk salah satu bentuk pengabaian negara terhadap para penderita gangguan jiwa?
Cuma ya begitulah. UU Kesehatan Jiwa waktu itu diundangkan di detik-detik terakhir pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), dan perhatian semua orang sedang tertuju ke gedung Mahkamah Konstitusi karena gugatan hasil pemilu yang diajukan oleh Prabowo Subianto, makanya UU Kesehatan Jiwa seolah terabaikan dan para penderita ODGJ seolah masih menjadi warga kelas dua yang keperluannya dianggap tidak perlu diakomodir.
Semoga saya salah.