“Mengapa aku harus rela melintasi negara demi membunuh temanku yang tidak ada kaitannya dengan hidupku dan melakukannya di siang bolong” – Jessica Kumala Wongso
Sebuah catatan yang penuh teka-teki. Entah itu kode kalau ternyata ada motif di balik pembunuhan ataukah kode kekecewaan karena dituduh menjadi dalang pembunuhan.
Kasus ‘kopi sianida’ yang menyeret Jessica Kumala Wongso atas pembunuhan Mirna Salihin, tujuh tahun silam, belakangan ini menjadi obrolan renyah netizen gara-gara film dokumenter yang berjudul Ice Cold, yang tayang di Netflix.
Menurutku ini menarik gengs, teramat sangat menarik. Why?
Karena kita seperti diajak berwisata ke masa lalu gitu dan kembali mengingatkan vibes tahun 2016, dimana pada saat kasus kopi sianida ini terjadi, 24/7 semua media menayangkan perkembangan dari kasus tersebut. Tak terkecuali aku yang bela-belain mantengin tv dari pagi sampai malam hanya untuk mengikuti proses sidangnya si Jessica. Ada yang sama kah?
Oh iya, di sini bukan berarti aku menyudutkan pihak atau instansi yang terlibat di dalam kasus ini ya, gengs.
Setelah melihat film ice cold, jadi teringat dulu banyak yang menganggap kalau keterangan Jessica sebagai terdakwa di persidangan itu blunder dan banyak bohongnya. Bahkan hakim dan jaksa pun juga seolah-olah mencecar Jessica untuk mengakui bahwa dialah orang yang memasukkan sianida ke dalam kopi Mirna Salihin.
Aduh, gimana nggak tertekan itu si Jessica, belum apa-apa sudah dituduh melakukan perbuatan yang nggak dilakukannya. Bahkan menurut pengakuannya, sebelum kasus tersebut masuk ke pengadilan, polisi terus menekan Jessica supaya mengakui tindakan tersebut berdasarkan rekaman cctv sebagai senjatanya.
Sedangkan Pasal 52 KUHAP menyebutkan dalam pemeriksaan pada tingkat penyidikan dan pengadilan, Jessica sebagai tersangka atau terdakwa berhak memberikan keterangan secara bebas kepada penyidik atau hakim. Bebas yang dimaksud adalah bebas dari rasa takut, tidak boleh ada paksaan dan tekanan terhadap tersangka atau terdakwa.
Lah, kalau memang bukan dia masak iya, disuruh ngaku. Hadeh!
Padahal sudah jelas, di Pasal 189 Ayat (1) KUHAP menyebutkan keterangan terdakwa bahwa apa yang terdakwa nyatakan di sidang tentang perbuatan yang dilakukannya atau yang diketahui atau alami sendiri.
Lagi pula Jessica sebagai pihak yang diadili mempunyai hak menyangkal atau mengajukan keberatan terhadap seorang hakim yang mengadili. Hak tersebut adalah hak ingkar, yang tercantum di Pasal 17 Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.
IMO, boleh dong, kalau Jessica banyak membantah atau menyangkal karena merasa keberatan. Lagi pula alasan yang disampaikan Jessica untuk menyangkal, menurutku make sense kok.
Justru yang nggak make sense adalah ketika ada kasus kematian yang nggak wajar tapi nggak diotopsi, hanya dilakukan pengambilan sampel di lambung. Tapi kok, bisa tahu kalau kematian itu disebabkan karena sianida? Hayolo.
Walaupun ditemukan sianida di tubuh Mirna, itupun tiga hari setelah tewas dan cuma 0,2 mg. Padahal disebutkan oleh ahli bahwa dosis mematikan sianida antara 50-176 mg. Menurut keterangan saksi, dosis ditemukan pada tubuh Mirna setelah 70 menit meninggal itu 0 mg. Kalau kata Pak Otto Hasibuan, dakwaan jaksa dan bukti-bukti yang ada itu tidak relevan.
Nggak cuma itu saja, setelah nonton film Ice Cold, ada satu hal yang sangat membagongkan dan membuat bertanya-tanya. Apakah sikap penegak hukum benar seperti itu? Pada saat saksi ahli yang diajukan pihak terdakwa, Beng Beng Ong (ahli patologi forensik) dari Australia, terlihat diperlakukan tidak adil di dalam sistem persidangan Indonesia. Sampai sang ahli pun dideportasi dan dicekal tidak diperbolehkan masuk ke Indonesia selama enam bulan.
BACA JUGA: BEBASNYA JUAL BELI RACUN DAN ATURAN PENGAWASANNYA
Ternyata jaksa memang sengaja melakukan hal itu. Dalam film tersebut jaksa berkata, “ Sebenarnya Beng Beng Ong akan menyampaikan bahwa apa yang dilakukan ahli di Indonesia itu keliru. Kami langsung melakukan riset, apa benar yang disampaikan ahli itu. Kemudian bagaimana cara melawannya? Apakah ahli itu sah hadir di persidangan, sampai akhirnya kami melakukan plot twist dan kami laporkan ahli itu karena pelanggaran imigrasi.”
The moment of truth adalah ketika jaksa bilang jika di persidangan jaksa melakukan strategi untuk memancing musuh supaya emosi, karena ketika seseorang emosi maka tidak akan berpikir logis.
WDYT?
Gila nggak sih, emang boleh jaksa se plot twist itu? Apakah dari pov kebenaran dan keadilan itu patut dilakukan?
Setelah melihat film dokumenter Ice cold, rasa-rasanya kok, terkesan bukan mencari penyebab kematiannya ya. Kalaupun memang benar Mirna Salihin dibunuh, tapi dalam kasus ini kesannya malah bukan mencari siapa pembunuhnya, tapi lebih ke siapa yang harus dihukum atas kematian seseorang. Selain itu juga menampakkan bahwa suatu instansi penegak hukum terlihat berhasil dan bekerja dengan benar. Jadi seakan-akan persidangan adalah untuk mencari pembenaran bukan kebenaran.
Sebenarnya masih banyak lagi pelajaran yang bisa diambil dari film tersebut. Nggak hanya dari pov hukumnya saja. Kalau kata gen z, film ini isinya daging semua. Menurutku sih, 9/10 untuk ICE COLD.