“Change alone is eternal, perpetual, immortal.” – Arthur Schopenhauer, German Philosopher
It seems like tiktok faced another problem and it’s quite bad tbh.
Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan sudah menandatangani revisi aturan Permendag No 50 Tahun 2020 tentang Ketentuan Perizinan Usaha, Periklanan, Pembinaan dan Pengawasan Pelaku Usaha dalam Perdagangan Melalui Sistem Elektronik.
TikTok memang tidak bisa lepas dari pengawasan pemerintah. Bahkan ketika aplikasi milik ByteDance telah berkembang di Amerika Serikat juga mendapatkan ancaman pelarangan. Begitu juga dengan pemerintah Indonesia yang telah memutuskan peraturan baru, yaitu melarang berbelanja online di media sosial.
That would tackle TikTok’s fast-growing service in Indonesia, TikTok Shop. Menurut TheInformation, terdapat data yang belum dilaporkan yang mengungkapkan bahwa TikTok Shop menangani transaksi senilai lebih dari 90 triliun di Indonesia pada tahun 2023.
BACA JUGA: HAK-HAK KITA SEBAGAI KONSUMEN OLSHOP YANG WAJIB DILINDUNGI
Jumlah ini sangatlah besar, dimana lebih dari sepertiga total transaksi di Asia Tenggara merupakan penyumbang terbesar dalam bisnis global TikTok Shop.
So, I can conclude that, Indonesia merupakan ‘penyumbang’ TikTok Shop yang sangat besar dan market Indonesia sangat diuntungkan apabila layanan ini akan terus ada. Tho, this is not without its own problem.
Menteri Koperasi dan UKM Teten Masduki mengatakan kalau sosial media dengan e-commerce dipisah sesuai dengan arahan Presiden Joko Widodo.
Aku juga pernah membaca argumen kalau ban TikTok Shop masih dibilang wajar. Karena negara seperti US dan India juga merupakan ban TikTok shop. IMO ban is just too much, sebab masih banyak UMKM yang rely on TikTok untuk membuat promote bisnis mereka.
It’s not a ban, it’s regulations.
Kalau kata Pak Zulkifli Hasan, social commerce harus menjadi sendiri. Izin usaha ya, sendiri. Sedangkan social commerce seperti media TV atau iklan, itu diperbolehkan. Tapi social commerce nggak boleh menjadi toko dan dalam satu platform nggak boleh ngeborong semuanya. Sebenarnya tidak dilarang sih, tapi lebih tepatnya diatur. On which I strongly agree.
Ada beberapa perbedaan antara social commerce dan e-commerce yang memang, if you delve into it further, it’s fundamentally different.
- Platform, social commerce menggunakan platform media sosial atau situs jejaring sosial yang mengintegrasikan fitur belanja langsung ke saluran media sosial. E-commerce dilakukan di toko online khusus, situs web atau pasar online. Ini melibatkan situs web atau platform E-Commerce mandiri seperti Amazon, eBay, Shopify dan lainnya.
- Data Utilisation, social commerce bisa memanfaatkan data sosial untuk memberikan rekomendasi produk serta iklan yang disesuaikan untuk personal. Platform E-Commerce mengumpulkan data pengguna supaya meningkatkan pengalaman berbelanja dan pemasaran.
- Social Integration, social commerce sangat bergantung pada interaksi sosial, seperti like, share, comment dan review dalam mempengaruhi keputusan membeli barang atau tidak. Hal ini mendorong pengguna agar terlibat dengan produk dan membagikannya ke circle mereka. E-Commerce mungkin memiliki tombol share di media sosial, hanya saja fokus utamanya adalah pada list produk, deskripsi dan proses pembayaran, bukan interaksi sosial.
- Purchase Checkout Process, social commerce menawarkan opsi CO yang sederhana. Sekali klik atau dalam aplikasi untuk mengurangi step dalam proses pembelian. Dalam beberapa kasus, pengguna dapat menyelesaikan seluruh proses pembelian dalam platform media sosial, termasuk pembayaran, tanpa meninggalkan aplikasi. E-Commerce biasanya memiliki proses pembayaran standar dengan beberapa langkah, termasuk keranjang, alamat pengiriman, detail pembayaran dan konfirmasi pesanan.
BACA JUGA: 3 TANTANGAN INDUSTRI START-UP DALAM KACAMATA HUKUM
- Trust and Reviews, kepercayaan sering kali dibangun melalui bukti sosial, dimana pengguna mengandalkan review serta rekomendasi dari jaringan sosial mereka untuk membuat keputusan pembelian. E-Commerce menyediakan review dan penilaian produk, namun proses membangun kepercayaan lebih tradisional dan bergantung pada review serta penilaian pengguna dalam platform.
In summary, social commerce menekankan integrasi belanja dalam platform media sosial. Sementara E-Commerce melibatkan toko online dan situs web khusus.
Social commerce sangat bergantung pada interaksi dan rekomendasi sosial, sedangkan E-Commerce memberikan pengalaman berbelanja yang terstruktur dan mandiri. Keduanya memiliki keunggulan dan memenuhi perilaku dan preferensi konsumen yang berbeda.
Well, whatever is gonna happen will happen. Tunggu saja deh, bakal seperti apa ke depannya. At the very least, kalian sudah tahu kan sekarang, bedanya social commerce dan E-Commerce. CU.
“Karena inovasi, apapun itu jenisnya, pasti ada friksi” – Raymond Chin, CEO Seven Preneur