Selain suka main PUBG, saya juga suka banget nonton film dan juga drama Korea pake Selatan. Kadang saya bisa menghabiskan waktu dua hari dua malem cuma buat marathon nonton drakor. Ga tau kenapa, nonton drakor berasa nambah ilmu pengetahuan, meskipun alasan utamanya bisa liat oppa-oppa ganteng.
Menurut saya, film dan drama Korea bisa menggambarkan suatu cerita dengan sangat detail dan menyenangkan, plus ga berasa abal-abal. Kalo nonton drakor tentang dunia dokter, ya kita bisa liat gimana detailnya manusia dioperasi dan disayat-sayat beserta istilah medisnya. Kalo nonton drakor tentang hukum, maka kita akan berpikir keras untuk mecahin kasus dengan segala teka-tekinya.
Nonton drakor bisa bikin ga sadar akan perputaran siang dan malam, jadi biar lebih produktif maka saya putuskan nonton kalo lagi ada waktu luang aja. Efeknya sih saya jadi ga up-date dengan film dan drakor terbaru. Uda lama ga nonton, eh kemaren ga sengaja liat para predator lagi pada mantengin film Korea “Juror 8” di kantor, jadi nimbrung deh.
Di tahun 2019 ada film Korea bergenre hukum yang berjudul Juror 8, pemerannya adalah oppa Park Hyung Shik. Film ini berkisah tentang partisipasi masyarakat sipil sebagai “Juri” pertama dalam sidang pidana di Korea Selatan pada tahun 2008.
Film ini menceritakan tentang seorang lelaki cacat dan miskin yang ditangkap karena membunuh ibunya yang sudah tua demi mendapat uang kesejahteraan sosial. Karena pelaku sudah mengaku bersalah, maka yang harus dilakukan oleh para “Juri” adalah memutuskan seberapa besar hukuman yang pantas untuk pembunuhnya. Para “Juri” adalah orang-orang biasa, yang ga punya basic tentang hukum, namun di sinilah ke 8 “Juri” tersebut harus menentukan vonis terhadap pelakunya. Pastinya mereka deg-deg-an, secara keputusan mereka, akan menentukan nasib orang lain.
Dalam sebuah scene-nya terdapat adegan wawancara Park Hyung Shik sebagai calon Juror No. 8. Dalam wawancaranya sang hakim menyampaikan adagium dalam hukum bahwa “lebih baik membebaskan 10 orang yang bersalah daripada menahan 1 orang yang tidak bersalah.” Adagium yang disampaikan oleh sang hakim sangat mengganggu pikiran Park Hyung Shik, sehingga bersama dengan “Juri” (juror) lainnya, Park Hyung Shik mencoba untuk mencari kebenaran yang terjadi, agar nantinya bisa memberikan putusan yang tepat dan tidak salah menghukum orang. Cem mana endingnya??? nah nonton sendiri ya, seru. Filmnya bagus banget.
BACA JUGA: TUGAS MULIA PROFESI ADVOKAT
Mungkin penonton di Indonesia agak roaming dengan sistem peradilan pidana di Korea Selatan. Nah jadi gini gaes, sejak tahun 2008 Sistem Peradilan Pidana di Korea Selatan menerapkan sistem peradilan partisipatif. Nah film Juror 8 ini menceritakan tentang uji coba sistem peradilan partisipatif pertama di Korea Selatan dengan menggunakan sistem “Juri”. Sistem peradilan partisipatif adalah sistem peradilan yang akan menampung partisipasi masyarakat.
Kalo dalam dunia nyata, sidang dengan sistem “Juri” dipake untuk memutuskan sanksi pidana dalam kasusnya Reynhard Sinaga. Tau kan siapa dia?? itu tu, pelaku kasus pemerkosaan terhadap banyak pria yang bikin heboh media massa. Reynhard Sinaga, warga negara Indonesia, dijatuhi hukuman seumur hidup di Inggris, setelah dinyatakan terbukti bersalah melakukan perkosaan dan serangan seksual terhadap 48 pria.
Gak semua negara di dunia pake “Juri” dalam sistem peradilan pidananya. Sistem peradilan pidana yang pake “Juri” juga ada dua macem, yaitu sistem “Juri” ala Amerika dan “Lay Judge System” ala Jerman.
Pada dasarnya tidak ada satupun negara di dunia ini yang benar-benar memiliki sistem hukum yang asli, semua hukum merupakan campuran dari berbagai aspek hukum dari tempat lain. Misalnya aja nih, Korea Selatan menganut civil law karena Korea Selatan merupakan bekas negara jajahan Jepang. Kemudian berkat interaksi yang kuat dengan Amerika Serikat sebagai negara pelindung Korea Selatan secara militer, maka lambat laun pun Korea Selatan mentransplantasikan sistem hukum Amerika Serikat yaitu dengan menerapkan sistem “Juri” dalam peradilan pidananya. Kenapa begitu ya? Ya karena hal tersebut dirasa paling cocok untuk Korea Selatan yang saat ini maju pesat secara ekonomi dan demokrasi.
Kalo di Amerika Serikat “Juri” dipilih secara acak dari kalangan rakyat umum untuk memutus terdakwa bersalah atau tidak tanpa campur tangan dari pendapat hakim (independent). Sistem semacam ini diterapkan oleh Amerika, Inggris, Australia dan lain-lain untuk membuat keputusan yang objektif. Minusnya nih, proses peradilannya membutuhkan waktu yang terlalu lama dan biaya yang sangat besar.
Kalo dalam sistem “Lay Judge System” nya Jerman, “Juri” dipilih secara acak bekerjasama dengan hakim untuk memutuskan bersalah atau tidaknya terdakwa, mereka juga bekerjasama dengan hakim untuk memutuskan berapa lama vonis yang akan diberikan. Sistem hukum ini digunakan di Jerman, Perancis, Itali dan lain-lain. Sistem ini memang dapat meningkatkan kepercayaan terhadap peradilan, tetapi minusnya ada potensi juri dapat terpengaruh oleh hakim profesional. Sehingga dikhawatirkan peran juri jadi gak optimal.
Nah karena kedua sistem tersebut dianggap ada plus dan minusnya, maka negara Korea Selatan berusaha mengadopsi dan memodifikasi kedua sistem tersebut dan membuat formula sendiri untuk sistem peradilan partisipatifnya.
BACA JUGA: DILARANG MAIN HAKIM SENDIRI
Sistem peradilan partisipatif Korea Selatan memiliki struktur yang unik karena memadukan sistem “Juri” di Amerika Serikat dan “Lay Judge System” di Jerman. Tujuannya nih agar rakyat umum yang selama ini terabaikan dari prosedur peradilan bisa berpartisipasi secara langsung, harapannya biar bisa menyempurnakan demokratisasi peradilan di Korea Selatan.
Dalam sistem peradilan partisipatif Korea Selatan, dewan “Juri” akan memutuskan terdakwa bersalah atau tidak secara independent, plus dimodifikasi dengan “Lay Judge System” karena dapat membahas dengan hakim tentang lamanya vonis hukuman. Keputusan dewan “Juri” tidak mengikat secara hukum, namun hanya memberikan rekomendasi saja. Hal ini tentu berbeda dengan sistem juri di negara lain. Nah kalo keputusan hakim dan dewan “Juri” berbeda, maka hakim harus menjelaskan perbedaan keputusan secara terbuka agar keputusan dewan “Juri” tidak sia-sia. Sasaran peradilan partisipatif adalah untuk kejahatan yang kira-kira akan divonis dengan hukuman berat seperti, pembunuhan, pencurian berat, pemerkosaan, dan lain-lain.
Beda banget kan dengan sistem peradilan pidana di negara kita. Sistem peradilan pidana di Indonesia gak mengenal keberadaan “Juri”, padahal katanya sih sistem “Juri” dianggap memiliki kelebihan, karena sistem ini lebih mengutamakan masyarakat sebagai unsur sosial yang berdaulat, serta membatasi kekuasaan pemerintahan yang dijalankan oleh Hakim dan Penuntut Umum.
Secara pribadi saya beropini bahwa sistem “Juri” emang gak cocok dipraktekkin di Indonesia. Tau sendirikan kalo ada berita yang menarik, apalagi tentang tindak kejahatan, maka beritanya akan beredar lebih cepat dari kecepatan cahaya dan informasinya terbuka secara terang benderang. Kalo Indonesia pake sistem “Juri”, maka “Juri”nya mungkin banget terpengaruh oleh opini publik. Dampaknya “Juri” akan sulit untuk bersikap objektif dalam memberikan keputusan. Iya, apa iya?? mari kita tanya pada rumput yang bergoyang.