Tersebutlah seorang pemuda desa tak kerja, kemudian bersentuhan dengan rock musik khususnya “Punk Rock” sekitar tahun 1997-an sebut saja Yono. Ekstrem dan sesuatu yang anti kemapanan berhasil memikat perhatian Yono yang tengah mencari jati diri padahal itu ada di Semarang (Stadion Jatidiri).
Walau dengan keterbatasan referensi dan informasi, dengan penuh percaya diri Yono mendeklarasikan diri sebagai seorang Punk Rocker. Itu adalah istilah untuk seseorang yang menyukai jenis musik dan ideologi PUNK, tapi oleh Yono diartikan lain dengan akronim PUNK (Pemuda Urakan Namun Kreatif).
Rupanya pilihannya untuk menjadi seorang Punk Rocker juga mengandung konsekuensi fashion yang tidak sesederhana yang Yono kira. Maklum, karena keterbatasan referensi dan informasi kala itu yang tertanam dalam pikiran Yono, seorang Punk Rocker harus pakai sepatu Docmart atau Converse Canvas & Jacket Kulit seperti The Ramones dll.
Rupanya Yono ini tergabung dalam kelompok ABAKURA (ada bakat kurang ragat), tapi tetap dong harus keren & aktif untuk memenuhi syahwat fashionnya tersebut. Akhirnya secercah harapan datang dengan adanya Pasar Malam Sekaten Kraton Jogja kala itu.
Pasar Malam Sekaten juga menyediakan stand-stand pakaian yang biasa disebut ‘awul-awul.’ Disebut begitu karena proses kita mencari pakaian bekas di tempat itu dengan cara mengawul (memilah-milah dengan sedikit keberuntungan dan 90% ketelatenan biar bisa mendapatkan pakaian sampai pernak-pernik lain idaman dengan harga yang sangat murah).
Aktivitas itu ternyata sampai sekarang masih eksis. Di kalangan anak muda kegiatan tersebut diganti dengan istilah yang lebih keren yaitu ‘thrifting.’ Mengutip vocabulary.com ‘thrift’ adalah perilaku hati-hati terhadap banyak uang yang akan dikeluarkan, dengan kata lain “Ngirit tanda tak mampu.”
Remaja mana sih, yang mau kelihatan ‘tipis’ di dalam tata pergaulan di era informatika seperti lagu dari Efek Rumah Kaca yang jatuh cinta melulu karena kita Melayu suka yang sendu-sendu … Hop!!! Malah nyanyik, kembali ke Laptop. Yaaa, rupanya aktivitas thrifting ini mampu menjawab kebutuhan trend remaja yang kemampuan biasa saja tapi ingin tetap bergaya dengan fashion branded yang diidam-idamkan.
Seiring waktu, Yono sekarang telah menjelma menjadi sesosok Jurist karena mendapat panggilan jiwa untuk menjadi seorang ‘penegak hukum’ yaitu advokat. Yono sukses menjadi advokat setelah menempuh pendidikan tinggi yang berliku-liku, nyaris Drop Out bukan karena bodoh, tapi karena orang tua kaya raya sanggup membiayai kuliah di perguruan tinggi swasta di Jogja Istimewa. Wangun ra? Hehehe.
Setelah Yono menjadi Jurist, kini Yono memahami, ternyata ada beberapa aturan khusus yang mengatur tentang thrifting.
Dalam ketentuan Pasal 8 Ayat (2) UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UUPK) disebutkan bahwa pelaku usaha dilarang memperdagangkan barang yang rusak, cacat atau bekas dan tercemar tanpa memberikan informasi secara lengkap dan benar atas barang dimaksud.
Selain itu larangan impor pakaian bekas juga diatur dalam Pasal 2 Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 51/M-DAG/PER/7/2015 tentang Larangan Impor Pakaian Bekas. Pasal tersebut mengatur bahwa pakaian bekas dilarang untuk diimpor ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Nah kan ribet, di republik ini cuma mau nggaya aja susah. Kok, seperti judul buku terbitan Inssit Pers karangan Eko Prasetyo yang berjudul “Orang Miskin Dilarang Sekolah,” tinggal ganti aja “Orang Miskin Dilarang Nggaya.” Hahaha.
Selaku Jurist progressif dan revolusioner, tentu Yono merasa terpanggil untuk memberi problem solving bagi masyarakat yang ‘kemampuan terbatas’ tapi ‘pengen nggaya.’
Coba kita kulik apa alasan pemerintah mengeluarkan kebijakan tersebut. Alasan utamanya terkait aspek kesehatan, keselamatan, keamanan dan lingkungan (K3L). Jadi, mikroorganisme pathogen yang terdapat dalam pakaian bekas dapat menimbulkan berbagai penyakit, karena pakaian langsung bersentuhan dengan tubuh dan dipakai oleh konsumen dalam rentang waktu yang cukup lama.
Nah, itu alasan utamanya. Kalo dicermati sebenarnya niat pemerintah cukup baik, apalagi ada alasan lain berupa kedaulatan ekonomi.
Tapi, apakah alasan kesehatan dan kedaulatan ekonomi tadi harus menghambat hasrat warga negara untuk eksis dan nggaya?
Jawabannya adalah jika merujuk ketentuan Pasal 8 Ayat (2) UU Perlindungan Konsumen yang udah disebutkan di atas, maka sederhananya “Tolong dong, pelaku usaha kalo memperjualbelikan barang (khususnya pakaian) bekas, kasih tau ke konsumen kalau rusak maupun cacat. Kalo perlu disortir, gak usah dijual yang rusak atau cacat. Oh ya, kalo emang ada yang tercemar, plisss sebelum dijual ditreatment apa gitu,supaya aman dipakai.” Akur kan?
Selanjutnya jika kita membaca amanat Pasal 47 UU Perdagangan yang menyebutkan, dalam hal tertentu, menteri dapat menetapkan barang yang diimpor dalam keadaan tidak baru asal disampaikan pada menteri di bidang keuangan dan diatur lebih lanjut dalam peraturan menteri.
Nah, kalo kita cek Pasal 2 Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 51/M-DAG/PER/7/2015 disebutkan bahwa dalam hal tertentu, menteri dapat menetapkan barang yang diimpor dalam keadaan tidak baru berdasarkan peraturan perundang-undangan, kewenangan menteri dan atau usulan atau pertimbangan teknis dari instansi pemerintah lainnya.
Udah jelaskan, sebenarnya ada celah untuk kebijakan ini. Jadi tergantung niatnya apa dalam membuat kebijakan larangan pakaian bekas impor ini. Kalo motifnya politik, yuks, mari kita berdoa agar semua pengambil kebijakan di bulan syawal ini dibukakan pintu hatinya untuk membuat kebijakan yang memungkinkan warga negara yang terbatas kemampuannya agar bisa eksis dan nggaya walau dengan barang bekas saja. Aamiin. Solusi lain buat warga negara yang terbatas kemampuannya ini untuk bisa eksis dan nggaya adalah “Cintailah ploduk-ploduk Indonesia,” selain Bipang, banyak juga produk pakaian keren.
Daru Punk Lawyer
Advokat Keras Kepala, Penyuka Sepak Bola.
.