Di penghujung akhir tahun 2022, ada sejarah baru bagi bangsa Indonesia. Yaps, Indonesia akhirnya punya KUHP karya anak bangsa. Seperti yang kita tahu selama Indonesia merdeka, KUHP yang digunakan adalah KUHP peninggalan kolonial. Bisa dibilang, KUHP yang saat ini disahkan merupakan masterpiece menggantikan produk hukum Belanda. Sudah sepatutnya kita bangga. Ya, kan?
Tapi ternyata, masih ada pro kontra terhadap beberapa pasal di dalam KUHP. Ada pasal-pasal yang dianggap mencederai demokrasi lah, dianggap tidak mementingkan rakyat lah. Ya, kalau kata Mbak Najwa Shihab sih, “Semua Bisa Kena.”
Hmm, bahkan ada beberapa pihak yang menganggap KUHP ini terlalu buru-buru, tidak masuk akal. Ah, pokoknya banyak deh, anggapan-anggapan negatif lainnya. Hei! Ayok lah guys, kritis boleh tapi harus cerdas. Ya, memang sih, itu hak kita untuk menilai bagaimana kebijakan yang dibuat pemerintah. Tapi jangan sampai kita terhasut pihak-pihak yang sengaja membuat gaduh situasi.
Guys, asal kalian tahu, KUHP yang sekarang ini sudah melalui perjalanan yang cukup panjang. CMIIW, awal mula ide pembuatan KUHP ini sudah dari tahun 1963. Dan akhirnya selesai di tahun 2022. Pertanyaannya, apakah waktu 39 tahun merupakan waktu yang singkat untuk membuat suatu peraturan? IMO sih, itu bukan waktu yang singkat dan nggak layak disebut buru-buru.
BACA JUGA: DEAR AKTIVIS, AKTIVIS BUKAN CUMA DEMO
Dan yang perlu kita semua tahu, kata Pak Yasonna Laoly di podcastnya Om Ded, memang KUHP ini merupakan inisiasi pemerintah, tapi pembuat draf KUHP bukan murni DPR atau pemerintah. Di balik layar KUHP yang sekarang diperdebatkan, melibatkan profesor-profesor yang memang ahli di bidang hukum khususnya hukum pidana, seperti Prof. Moeljatno, Prof. Muladi, Prof. Nyoman Serikat Putra Jaya, Prof. Edward Omar Sharif Hiariej dan masih banyak lagi. Jadi untuk kualitas dari KUHP menurutku tidak perlu diragukan lagi.
Tapi, apakah kita tidak boleh tidak setuju dengan pasal-pasal yang ada di KUHP? Ya, jelas boleh dong. Kalau ada yang dirugikan atau nggak setuju dengan pasal yang ada di KUHP, langkah yang ditempuh ya, Judicial Review ke Mahkamah Keluarga Konstitusi.
Di awal sudah disebutkan ada beberapa pasal yang kontroversi di tengah masyarakat bahkan sampai mencaci maki pemerintah. Dan menurutku, hal tersebut karena ada misperception, karena masyarakat dalam mendapatkan informasi hanya sepotong-sepotong. Ya, tahu sendiri lah informasi-informasi yang dishare di medsos. Bahkan media-media yang seharusnya memberikan informasi utuh, ternyata juga cuma sepotong. Yang bisa memberikan info utuh ya, cuma klikhukum.id. Utuh untuk menjerumuskan maksudnya. Hahaha.
Salah satu pasal yang cukup ramai diperbincangkan yaitu Pasal 256 KUHP yang menyebutkan, “Setiap orang tanpa pemberitahuan terlebih dahulu kepada yang berwenang mengadakan pawai, unjuk rasa, atau demonstrasi di jalan umum atau tempat umum yang mengakibatkan terganggunya kepentingan umum, menimbulkan keonaran, atau huru hara dalam masyarakat, dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) bulan atau pidana denda paling banyak kategori II (Rp10 juta)”
Nggak sedikit yang beranggapan kalau dengan adanya pasal itu kebebasan berpendapatnya direnggut dan nggak boleh lagi melakukan demo. Eits, kata siapa? Masih boleh kok, lah wong itu hak masyarakat yang dijamin UUD 1945. Ya memang, kita sebagai masyarakat itu bebas dan merdeka untuk menyampaikan pendapat di muka umum. Tapi ya, nggak sebebas-bebasnya juga kali guys. Tetap ada aturan yang harus ditaati.
Lagi pula sebelum ada Pasal 256 KUHP, sudah ada Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat Di muka Umum. Pasal 1 angka 1 menjelaskan bahwa yang dimaksud kemerdekaan menyampaikan pendapat adalah hak setiap warga negara untuk menyampaikan pikiran dengan lisan, tulisan dan sebagainya secara bebas dan bertanggung jawab sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Tuh kan, ada aturannya.
Dalam menyampaikan pendapat di muka umum, ada kewajiban dan tanggung jawabnya juga loh. Pasal 6 menyebutkan bahwa warga negara yang menyampaikan pendapat di muka umum berkewajiban dan bertanggung jawab untuk menghormati hak-hak dan kebebasan orang lain, menghormati aturan-aturan moral yang diakui umum, menaati hukum dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku, menjaga dan menghormati keamanan dan ketertiban umum dan menjaga keutuhan persatuan dan kesatuan bangsa.
Pasal 10 Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998 juga menyebutkan kalau penyampaian pendapat di muka umum wajib diberitahukan secara tertulis kepada Polri.
Nah, sudah jelas kan, kalau jauh sebelum ada KUHP dalam menyampaikan pendapat di muka umum (misalnya, demonstrasi) ada kewajiban yang harus dipenuhi agar tidak terjadi keonaran.
Satu lagi, kalian boleh setuju dan boleh nggak setuju. Namanya juga Anabel (analisis gembel). Jadi KUHP ini agak longgar nggak sih, guys. Coba kita lihat Pasal 256 KUHP, sebenarnya jika ingin melakukan demo (misalnya) tanpa ada pemberitahuan terlebih dahulu, itu boleh-boleh saja asal tidak mengganggu kepentingan umum, menimbulkan keonaran atau huru hara dalam masyarakat. Nah, kalau di Pasal 10 Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998, mau demonstrasi yang rusuh atau nggak rusuh, itu harus memberi tahu secara tertulis ke Polri. Karena ada kata wajib. Ya, nggak sih?