Sosial media itu sudah kayak court of public opinion yang lebih serem daripada pengadilan beneran. Pelakunya bisa dapet sanksi sosial versi online. Kalau dulu kita takut sama vonis hakim, sekarang yang lebih ditakuti adalah vonis dari netizen yang jumlahnya bisa ribuan, bahkan jutaan.
Sebenernya, semua sudah tahu UU ITE itu serem. Tapi, netizen dengan segala kekuatannya bisa bikin kita lebih merinding. Beda sama proses hukum yang kudu nunggu penyelidikan, penyidikan, sampai sidang berbulan-bulan. Sekarang netizen bisa menghukum dalam hitungan jam.
Salah satu contoh nyata adalah fenomena viral di X atau TikTok, di mana seseorang bisa dibully habis-habisan hanya karena salah ngomong atau ngepost sesuatu yang dianggap nggak pantas. Kita bisa kena cancel lebih cepat daripada sempat mikirin “Gue bisa kena UU ITE apa nggak, ya?”
Lebih serem lagi, di court of public opinion ini nggak ada pengacara yang bisa ngebantu. Nggak ada kesempatan banding maupun kasasi apalagi peninjauan kembali. Sekali kita dijudge, selamanya netizen akan mengingatnya.
BACA JUGA: NASIB KORBAN CANCEL CULTURE DALAM HUKUM
Cancel Culture Lebih Cepet dari Penegakan Hukum
Proses hukum ibarat perjalanan naik transportasi umum, yang lama bahkan muter-muter dan sering penuh.
Beda banget sama cancel culture di sosmed, yang cepet banget kayak naik mobil lagi ngebut di jalan tol.
Salah ngomong dikit aja, langsung viral dalam hitungan menit. Awalnya nggak ada yang tahu siapa kita. Eh, tiba-tiba semua orang jadi bahas kita dan biasanya pembahasannya nggak ada yang positif.
Efek ini lebih cepat dari sekedar kena tuntutan hukum yang butuh proses, panjang dan ribet.
Harusnya ketika semua serba cepat di sosmed, netizen bisa jadi lebih waspada. Mau ngomong sesuatu yang agak kontroversial tuh, harusnya mikir dulu. Sapa tahu ada yang tersinggung dan akhirnya bikin viral dengan cara yang nggak diinginkan.
BACA JUGA: PEKERJAAN SIA-SIA MEMBUAT PEDOMAN INTERPRETASI UU ITE
Netizen Juga Hakim (Khusus Untuk Pengadilan Sosmed)
Di masa lalu mungkin kita lebih takut sama polisi atau hakim yang bisa kasih hukuman, karena melanggar hukum.
Tapi sekarang, netizen adalah ‘hakim’ baru yang lebih unpredictable, nggak ada aturan mainnya dan bisa lebih kejam daripada sidang pengadilan manapun. Coba bayangkan, di sosmed siapa saja bisa jadi hakim yang ngejudge kita. Padahal mereka mungkin nggak tahu cerita lengkapnya seperti apa.
Akhirnya, orang-orang jadi lebih menjaga image di sosial media daripada di dunia nyata, karena hukuman dari netizen ini lebih brutal dan langsung berasa.
Parahnya lagi, hukuman netizen nggak kenal kata maaf atau penjelasan. Sekali salah, selama-lamanya bakal diingat sebagai orang yang salah.
Kita mau klarifikasi? Mungkin saja beberapa orang akan mengerti, tapi nyatanya kebanyakan cuma bakal menghujat.
Jadi nggak heran kalau sekarang banyak orang yang lebih takut dihukum netizen daripada sama pengadilan. Karena hukuman netizen bisa menghancurkan reputasi dalam sekejap.
BACA JUGA: INDONESIA PALING TIDAK SOPAN SE-ASIA TENGGARA, UU ITE KE MANA?
Efek Domino Cancel Culture yang Lebih Ngeri
Cancel culture itu ibarat tsunami. Sekali datang, bakal susah banget buat ngelawan arusnya. Beda sama hukuman UU ITE yang mungkin memberikan denda atau sanksi pidana. Cancel culture bisa lebih dulu menghancurkan hidup kita secara keseluruhan loh.
Sekali dicancel, bisa berpengaruh ke semua aspek hidup. Mulai dari karir, hubungan pribadi, keluarga, bahkan kesehatan mental. Jadi nggak heran kalau orang lebih takut dicancel daripada kena jerat UU ITE.
Bayangin saja ketika terkena cancel culture, karena salah ngomong di sosmed. Karir yang tadinya lancar, tiba-tiba aja stuck, karena nggak ada yang mau hire kita lagi.
Hubungan pribadi juga terkena akibatnya, karena teman-teman jadi takut deket sama kita. Bahkan kesehatan mental pun bisa drop, efek tekanan dari ribuan komentar negatif yang terus menyerang. Imbas domino yang lebih ngeri daripada cuma sekedar hukuman dari UU ITE.
Makanya, cancel culture itu lebih ditakutin daripada hukum formal. Hukum mungkin bisa ngasih hukuman yang jelas dan terukur, tapi cancel culture bisa ngancurin kita tanpa ada batas waktu yang pasti.
Sekali terkena cancel, kita bisa terus dihantui kesalahan seumur hidup, tanpa ada kesempatan buat benerin kesalahan di mata netizen.