Saat ini kita sering sekali mendengar kata cyberbullying. Sebenarnya apa sih, itu? Kok, disebut-sebut terus.
Menurut Willard (2005) cyberbullying merupakan tindakan kejam yang dilakukan secara sengaja dan ditunjukkan orang lain dengan cara mengirimkan atau menyebarkan hal atau bahan berbahaya yang dapat dilihat dengan bentuk agresi sosial dalam penggunaan internet ataupun teknologi digital lainnya.
Selain itu Kowalski dan kawan-kawan (2014) menambahkan konteks elektronik cyberbullying yang dimaksud seperti, email, blogs, pesan instan atau pesan teks yang ditujukan kepada seseorang yang tidak dapat dengan mudah membela dirinya.
Hmm, apakah cyberbullying merupakan perundungan secara digital?
Yups, tepat! Bahasa mudahnya memang seperti itu.
Dampak yang ditimbulkan nggak main-main kawan. Sudah pasti sangat meresahkan dan merugikan. Karena jelas akan menyerang psikologis dan emosional korban. Banyak loh, korban-korbannya yang “KENA MENTAL.”
BACA JUGA: 5 NEGATIVE IMPACTS MEDIA SOSIAL PADA TINDAKAN KRIMINAL
Makanya cyberbullying perlu diatur secepat kilat dan setajam silet. Penanganannya juga perlu melibatkan banyak pihak. Mulai dari masyarakat, penegak hukum, pendidik, pemerintah dan penyedia media.
Memang nggak mudah sih, mengatasinya. Masih banyak PR yang harus dilakukan, apalagi masalah hukumnya. Jujurly, sampai sekarang masih banyak tantangan hukum menanti untuk mengatasi masalah tersebut.
- Anonimitas dan identifikasi pelaku cyberbullying.
Seperti kita tahu, bahwa pelaku biasanya bersembunyi di balik fake account. Dimana akun tersebut sama sekali tidak mencantumkan identitas apapun. Kalaupun ada identitasnya, itu termasuk palsu. Inilah yang membuat penegakan hukum menjadi lebih sulit, karena membutuhkan skill extra untuk mencari siapa di balik akun tersebut.
- Sulitnya pembuktian.
Mungkin inilah salah satu jawaban dari sebuah pertanyaan, “Gimana proses pengumpulan bukti-buktinya ya?” Pastinya dibutuhkan keahlian khusus untuk mengumpulkannya. Karena cyberbullying dilakukan di dunia maya. Sayangnya, seringkali keahlian aparat hukum tertinggal dengan keahlian pelaku. Bahasa kerennya, pelaku cyberbullying memiliki keahlian Dewa untuk menyembunyikan rekam jejaknya.
- Keterlibatan pihak ketiga.
Maksudnya platform online atau penyedia layanan. Memang sih, pihak ketiga memiliki kepentingan sendiri. Terkadang kepentingan pihak ketiga berbeda dengan kepentingan penegakkan hukum, nggak kooperatif gitulah. Jadi kalau ada perbedaan kepentingan, pihak ketiga nggak mau bekerja sama dong. Trus, gimana proses hukumnya?
- Yurisdiksi dan Perbedaan Hukum.
Tahu sendirilah bahwa dunia maya itu tanpa batas alias borderless. Dalam dunia maya tidak ada yang namanya batas negara dan batas yurisdiksi, sedangkan dalam penegakan hukum mengenal batas-batas tersebut. Jadi bagaimana rumusnya, sesuatu yang mengenal batas menjangkau tanpa batas.
BACA JUGA: DORAEMON, FILM ANAK-ANAK LEGENDARIS PENUH BULLYING
Contoh, pada kasus Bjorka, yang mencuri data pribadi orang Indonesia. Bjorka mengaku sebagai warga Polandia. Untuk penegakan hukumnya, kira-kira menggunakan yurisdiksi hukum yang mana. Yurisdiksi hukum Indonesia atau Hukum Polandia?
- Minimnya sanksi yang diberikan.
Sanksi yang diberikan kepada pelaku cyberbullying seringkali sangat minim. Kayak nggak sebanding dengan penderitaan korban, baik psikologis maupun emosional korban. Ketika kondisi korban belum juga pulih, pelaku malah bersantai ria dan bersenang-senang menikmati hidup. Adil nggak kalau begitu?
Ternyata tantangan hukumnya masih banyak ya, kawan. Wah, beneran urgent kalau begini jadinya.
Makanya penting banget buat kita untuk mengatasi masalah ini bersama-sama. Ayo, tingkatkan lagi kerjasama internasional serta mengembangkan suatu strategi penegakkan hukum yang Jos Gandos. Tak lupa tingkatkan juga pendidikan dalam menggunakan internet serta menumbuhkan kesadaran pengguna internet untuk mencegah terjadinya cyberbullying. Yuk, bersama-sama menggalakkan agar bijak bersosial media.