Hello, precious people!
Awal tahun yang membagongkan di negeri kita tercinta. Ya, mungkin ini kado tahun baru buat Indonesia. Yaps, tepat tanggal 31 Desember 2022, presiden menetapkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja (Perppu Ciptaker).
Publik dibuat ‘syok’ dengan ditetapkannya Perppu Ciptaker, karena UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja dinyatakan inkonstitusional bersyarat oleh MK melalui putusan No.9/PUU-XVIII/2020, dan memerintahkan kepada pembentuk undang-undang untuk melakukan perbaikan UU Cipta Kerja dalam jangka waktu paling lama dua tahun sejak putusan diucapkan.
Berarti kan dalam waktu dua tahun itu, si pembentuk UU melakukan perbaikan UU agar dalam proses pembentukan UU sesuai dengan cara dan asas-asas yang sesuai dengan ketentuan tentang pembentukan peraturan perundang-undangan.
Eh, Perppu itu apa sih?
FYI, dalam Pasal 1 angka 4 UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang pembentukan peraturan perundang-undangan menyebutkan Perppu adalah peraturan perundang-undangan yang menggantikan dan ditetapkan oleh presiden apabila negara dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa.
Nah, dasar hukum penerbitan Perppu ada di Pasal 22 Ayat (1) UUD 1945 yang menyebutkan “Dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, presiden berhak menetapkan peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-undang.”
BACA JUGA: UNBOXING UU NO. 11 TAHUN 2020 TENTANG CIPTA KERJA
Ya, memang presiden punya dasarnya sih, untuk menentukan Perppu. Tapi jangan sampai situ bacanya, lanjut Ayat (2) dan (3) ygy. Dimana di Ayat (2) menyebutkan “Peraturan pemerintah itu harus mendapatkan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat dalam persidangan yang berikut.” Dan di Ayat (3) menyebutkan “Jika tidak mendapat persetujuan, maka peraturan pemerintah itu harus dicabut.”
Noh, intinya sih, Perppu ditetapkan jika ada kegentingan yang memaksa, bukan memaksa ada kegentingan. *ups
Terus kenapa Perppu Ciptaker ini terkesan ‘maksa’ gitu ya? Yuk, simak penjelasannya!
Yang tenang, yang tenang … jangan esmosi dulu ya, mazeh. Pertama kita lihat konsideran Perppu Ciptaker itu sendiri, pada poin g disebutkan bahwa dinamika global yang disebabkan terjadinya kenaikan harga energi dan harga pangan, perubahan iklim (climate change) dan terganggunya rantai pasokan (supply chain) telah menyebabkan terjadinya pertumbuhan ekonomi dunia dan terjadinya kenaikan inflasi yang akan berdampak secara signifikan kepada perekonomian nasional yang harus direspons dengan standar bauran kebijakan untuk peningkatan daya saing dan daya tarik nasional bagi investasi melalui transformasi ekonomi yang dimuat dalam Undang-undang Cipta Kerja.
Kita dapat kata kunci yakni, kenaikan harga akibat perubahan ekonomi dunia dan kekosongan hukum sehingga tidak ada kepastian bagi investor di Indonesia.
Wah, nggak kaget. Produk cipatker emang ekonomi-sentris banget. Bisa dilihat, kekhawatiran pemerintah ada pada perubahan ekonomi global. Padahal Indonesia aman-aman kok, sampai saat ini. Bahkan kuat banget. Kalau masalah itu gua juga sudah pernah bahas di artikel manfaatkan APBN 2022 dengan bijak. Di sana kalian bisa membaca data bahwa (semoga beneran) Indonesia sedang membaik.
Balik lagi ke topik.
Nih, coba dengar dulu penjelasan Pak Mahfud MD. Dilansir dari Kompas.com, beliau intinya menyatakan bahwa “Perppu Cipatker nggak nabrak Putusan MK yang membuat dia inkonstitusional bersyarat, kok.”
“Materinya kan tidak pernah dibatalkan oleh MK. Coba saya mau tanya, apa pernah materi UU cipatker dibatalkan? Enggak. Itu prosedurnya, prosedurnya harus diulang bahwa harus ada ketentuan bahwa omnibus law itu bagian dari proses registrasi. Sudah kita perbaiki.” –
Pak Mahfud MD juga bilang tidak ada unsur koruptif dalam percepatan UU Cipatker, semuanya demi pelayanan kecepatan investasi untuk mempermudah pekerja. Wuidih, mulia banget!
Pertanyaannya, apakah benar-benar ada keadaan yang memaksa sehingga diterbitkan Perppu Ciptaker?
BACA JUGA: YAKIN BERHARAP PRESIDEN MENERBITKAN PERPPU PEMBATALAN UU CIPTA KERJA?
Kata Ibu Maria Farida mengenai ‘keadaan memaksa’ yang dimaksud dalam Pasal 22 UUD 1945 merupakan hak presiden untuk mengatur kegentingan yang memaksa (noodverordening screcht). Sifatnya subjektif apabila presiden meyakini bahwa ada hal yang segera diatur, ya bakal diterbitkan Perppu, gitu.
Coba cek deh, dalam jangka pendek dan jangka panjang, emang ada kepentingan mendesak apa di Indonesia? Alasannya sih, ekonomi negara terancam. Tapi kejar-kejaran membangun ibukota negara baru. Ah, ya sudahlah!
Oh iya, Bapak Yusuf Rendy Manilet selaku ekonom pun mengatakan bahwa kondisi ekonomi internal maupun global tidak tepat dijadikan alasan penerbitan perppu ciptakerja. Bukankah salah satu yang melemahkan ekonomi global adalah pandemi Covid-19? Barusan mereda, kok. Toh, PPKM dicabut, kan?
Tapi tenang guys, masih ada harapan kok, untuk tahu bagaimana Perppu ini ke depannya. Sudah gua spill tadi di awal. Yaps, di Ayat (2) dan (3) Pasal 22 UUD 1945, dimana Perppu ini harus mendapat persetujuan dari DPR. Kalau DPR tidak setuju ya, berarti dicabut tuh, Perppunya. Sekarang harapannya sih, semoga DPR bisa melihatnya secara objektif. Biar tahu apakah perppu ini memenuhi syarat dari kegentingan yang memaksa. Bisa objektif kan pak buk DPR? Bisalah ya. Bisa dong. Masak enggak.
Well, silakan kalian nilai sendiri dengan bijak. Apakah benar Perppu Ciptaker memiliki urgensi untuk ditetapkan?
That’s all from me, see you in the next article!