Nama tenarnya Ki Boko, profesinya adalah driver ojek online. Meskipun usianya sudah senja, Ki Boko masih sanggup ngebid keliling provinsi D.I Yogyakarta. Dulu, bahkan sampe sekarang sih. Ki Boko ini selalu numpang ngebid (istilah kerennya driver ojol kalo mau cari orderan) di rumah saya. Dia baru mau pulang ke candi boko sana kalo pendapatannya dirasa telah mencukupi untuk keluarga di rumah.
Jujur, saya nggak sampe hati ngebayangin hidupnya Ki Boko dan rekan-rekan yang sampe hari ini masih ngegojek, berat gaes. Bayangin, sebelum darurat corona dateng orderan udah seret, saingan juga semakin banyak, promo udah jarang. Mbak-mbak yang dulu sering order sekarang udah pindah haluan duduk di belakang mas-mas ganteng, si ojek pribadi yang bisa diajak makan bareng.
Begitu corona datang, aduh gaes deritanya itu jadi double kuadrat. Apalagi sejak adanya perintah untuk stay at home. Huft. Bisa ngebayangin kan gimana susahnya. Ancaman virus corona yang bisa nempel kapan saja. Tapi bagi mereka itu nggak ada apa-apanya dibanding dengan tanggung jawab mereka memberikan nafkah ke keluarga.
Buat mereka, pulang nggak bawa uang lebih menakutkan ketimbang corona, secara mereka kepala keluarga yang bertanggung jawab atas hajat hidup keluarganya. Anggaplah mereka punya istri yang bijaksana, tapi kalo pulang nggak bawa uang, istri mereka mau masak apa? Oseng-oseng sandal jepit yang ada kulitnya. Apa sop lidah buaya? Ya nggak mungkinlah.
Premisnya, antara corona dan nggak ada uang sama-sama bencana mengerikan. Makanya, nggak salah kalo ada yang bilang, “status WA-nya ODP = Ora Nduwe Penghasilan.”
Belum kelar masalah corona, muncul lagi satu masalah baru. Nggak jauh-jauh dari corona sih. Ya, kira-kira sejempol kaki lah jaraknya. Apa sih masalahnya? Ya apalagi kalo bukan Permenkes No. 9/2020 tentang Pedoman Pembatasan Sosial Berskala Besar Dalam Rangka Percepatan Penanganan Corona Virus Disease 2019 (Covid – 19).
BACA JUGA: TIPS MENDAPATKAN RELAKSASI KREDIT
Emang aturannya bermasalah ya? Ya iyalah, Bambang! Kalo nggak bermasalah, ngapain a’a tulis. Itu redaksi dilampiran yang bilang “Layanan ekspedisi barang, termasuk sarana angkutan roda dua berbasis aplikasi dengan batasan hanya untuk mengangkut barang dan tidak untuk penumpang.” Yang buat siapa? Keras amat kayak nasi aking dijemur. Di sinday ini inti masalahnya.
Itu artinya, mulai sekarang tuan-tuan driver ojek online dilarang mengangkut penumpang. Yang boleh cuma angkut barang. Iya kalo semua orderan yang nangkring ke aplikasi itu semuanya GoSend, GoFood atau GoMart doang. Lah, kalo ada yang order GoRide, buah simalakama namanya.
Kok bisa? Ya bisalah, kalo itu orderan GoRide dicancel, orderan berikutnya datangnya lama. Kalo orderan berikutnya GoRide lagi, terus kita cancel lagi. Sistem ngebacanya si driver ini curang, dikira pilih-pilih orderan. Si Driver bakal kena Punnishment yakni suspend. Dengan catatan mood sistemnya lagi bagus. Kalo sistemnya moody, ya putus mitralah sudah.
Emang sih, itu aturan sifatnya tentatif. Dalam artian, dia baru akan berlaku kalo sudah ada penetapan dari Menteri Kesehatan. Namun sebelumnya, harus ada permohonan dahulu dari kepala daerah dengan menyertai data penunjang seperti: a. peningkatan jumlah kasus menurut waktu; b. penyebaran kasus menurut waktu; dan c. kejadian transmisi lokal (Pasal 3 Ayat (1) dan Pasal 4 Ayat (1)).
Hem, ya ya ya, jadi orang-orang kayak Ki Boko nggak perlu terlalu khawatir. Selama DIY belum ditetapkan sebagai PSBB insya Allah masih bisa ngebid lah. Cuman, kalo sampe ditetapkan yang bingung bukan cuma Ki Boko dan rekan-rekan ojek online. Semuanya juga bingung. Lho kok bisa? Lihat aja tuh model pengaturan aja button-up.
Kemaren saya dikasih tahu sama Mas Boy, atau Kang Hifdzil Alim, S.H., M.H., melalui WA beliau bilang ke saya. “Model aturan kayak permenkes itu polanya button-up. Padahal aturan induknya itu, yakni UU No. 06/2018 tentang kekarantinaan kesehatan mengamanatkan kalo polanya itu bersifat top – down UU ini sifatnya perintah bukan tawar menawar.”
Habis itu saya mikir. Terus sebuah bohlam lampu terang benderang nangkring di atas kepala saya (pas baca ini, kamu mesti ngebayangin si Tom lagi dapet ide, jangan ngebayangin Shizuka mandi dalam ember itu ngeres namanya). Saya buka UU No. 6/2018 tentang kekarantinaan kesehatan.
Saya baca Pasal 10 Ayat (1) yang berbunyi “Pemerintah Pusat menetapkan dan mencabut Kedaruratan Kesehatan Masyarakat.” Kemudian, saya baca juga Pasal 59 Ayat (1) di sana menerangkan bahwa “Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) merupakan bagian dari respon Kedaruratan Kesehatan Masyarakat.” Ini yang dimaksud Kang Hifdzil Alim itu perintah. Okay!
BACA JUGA: MISTERI PINJOL ILEGAL
Hayo lho, gimana nih Pak Ketua? Masak Permenkes yang posisinya sebagai striker mau jadi manager, yang benar saja. Bagaimana nih, pertanggungjawaban kita dengan UU No. 12 tahun 2011 yang bilang kalo setiap aturan itu harus memiliki prinsip kesesuaian antara jenis, hierarki, dan materi muatan juga wajib ain menganut prinsip kejelasan rumusan.
Kalo kayak begini mah, saya lihatnya aturan permenkes ini juga tidak mengakomodir ketentuan Pasal 6 UU No. 12/2011. Buktinya, Ki Boko dan temen-temen driver ojek online diatur secara khusus. Pengaturannya juga nggak nguntungin driver.
Bisa jadi karena darurat corona, yang bikin aturan lupa kalo ada doktrin ilmu hukum yang menegaskan bahwa pada pokoknya hukum harus berpihak kepada masyarakat tak mampu dan harus memberikan kemanfaatan yang sebesar-besarnya kepada masyarakat terbanyak. Itu doktrin yang dikemukakan sama John Rawls, J. Stuart Mill dan Jeremy Bentham. Juga pendapatnya Bapak O. Notohamijojo yang mengatakan bahwa “Aturan itu dibuat untuk melindungi hak dan kewajiban manusia dalam masyarakat, melindungi lembaga-lembaga sosial dalam masyarakat, atas dasar keadilan, untuk mencapai keseimbangan serta damai dan kesejahteraan umum.”
Ya, saya harap pembuat kebijakan fahamlah gimana susahnya jadi driver gojek. Dengan begitu, ketika mereka akan merumuskan aturan sudah lebih dahulu berkomunikasi dengan pihak-pihak terkait. Agar dampak yang ditimbulkan tidak semakin membesar dan menjadi api dalam sekam. Kobongan dab!
Meskipun dalam hati saya yakin Permenkes itu menganut prinsip yang akhir-akhir ini sering banget kita dengar, yakni prinsip yang bunyinya salus populi suprema lex (artinya: silakan googling). Jadi untuk meneguhkan diri sebagai bangsa yang berdaulat, maka ijinkan saya mengutip Alenia keempat UUD 1945 yang mengamanatkan bahwa “ … Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia.”