Masyarakat kita memang sangat menyukai sesuatu hal yang berbau kasta alias status sosial. Kalo udah liat orang yang tajir melintir-lintir atau orang yang punya pekerjaan bagus, auto takjub deh. Apalagi kalo orangnya terkesan ramah, baik hati, dan tidak sombong. Tapi kekaguman dan niat SKSD sama orang berkasta tinggi akan lenyap, kalo orang tersebut terjangkit penyakit ‘menular’ (selain panu, kadas, kurap, dan sodara-sodaranya).
Peristiwa ini saya alami sendiri dalam ruang kolektif klikhukum.id, ketika salah satu crewnya terkena asam urat. Doi menjadi bahan pembicaraan kebudayaan (red:digarapi) gak ada habisnya. Soalnya masa iya, doi yang seorang programmer, yadalah! Penyakit yang diderita malah asam urat, kan gak mbois banget.
Perlu diamini hendaknya tulisan Mas Agus Mulyadi “Pada Titik Yang Sangat Kecil, Saya Pernah Merasakan Apa Yang Dirasakan Pasien Positif Corona” dalam rubrik mojok.co, kiranya Mas Agus Mulyadi mengalami senasib sepenanggungan dengan programmer klikhukum.id.
Bedanya di jenis penyakitnya saja, yaitu antara penyakit gondongan dan penyakit asam urat. Buktinya setelah doi dengan jujurnya mengatakan positif asam urat, puluhan pertanyaan menghujaninya. Maklum, lawan dia bicara adalah lawyer semua gaes. Yang jelas, pertanyaannya hampir mirip-mirip dengan yang dilontarkan para wartawan kepada seseorang yang diduga positif virus corona.
Masih untung yang kepo seputar penyakit gondongannya Mas Agus Mulyadi, cuma guru dan temen sekelasnya. Lah ini hanya karena positif asam urat, para lawyer turun gunung menginterograsi programmer kami, mas.
BACA JUGA: TANGGAP BENCANA MILIK SEMUA ORANG
Sejak mengidap asam urat, programmer kami mendapatkan perhatian lebih, dengan dilarang makan ini itu dan yang enak-enak, dengan dalih ‘peduli dan sayang’. Kami melakukan ini semua, karena kami menjunjung tinggi ketentuan Pasal 28 D Ayat (1) UUD RI Tahun 1945 yang berbunyi sebagai berikut:
“Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta sama di hadapan hukum.”
Buat kami persamaan di depan hukum, juga berlaku layaknya persamaan orang ketika terserang penyakit. Harus dapet perhatian gaess. Mereka harus mendapatkan jaminan dan juga perlindungan.
Kita semua harusnya peduli dengan sodara, teman, tetangga, dan orang-orang di sekitar kita yang lagi sakit. Walaupun sakitnya gondongan, asam urat, panu, kadas, kurap, ataupun penyakit-penyakit lainnya. Kita jangan cuma peduli dengan corona, lalu penyakit lain dilupakan.
Apa gak kasian tuh! Sama orang yang kena gondongan, asam urat, bahkan bintitan. Apalagi kalo positif bintitan, saya yakin penderitanya akan merasa bahwa dia makhluk paling mesum di antara teman-temannya. Bagaimana tidak?! Lah wong stigmanya kan, bintitan adalah azab bagi orang yang suka mengintip.
Lantas bagi orang yang suka nonton bokep, azab yang pas dikasih penyakit apa ya ? Hmmmm.
Terlepas dari itu semua, saya sepakat bahwa penyakit corona harus mendapat perhatian lebih dan penanganan serius. Bukan apa-apa, mengingat penyebaran virusnya cukup mudah, dan telah menelan banyak korban jiwa. Maka sudah seharusnya ada mitigasi bencana terhadap virus corona.
Mitigasi bukan hanya soal kebencanaan. Bencana sendiri bukan sebatas tentang kejadian banjir, gunung meletus, tanah longsor, dan lain sebagainya. Ketika corona sepakat dianggap sebagai sesuatu yang menyeramkan bagi masyarakat, gak salah kan? Kalo Corona juga dianggap bencana, khususnya dalam bidang kesehatan.
Ketika dunia mengumumkan bahaya corona bagi manusia, harusnya dengan sigap pemerintah sudah memulai mitigasinya. Arti mitigasi sebagaimana dalam Pasal 1 angka 9 UU No. 24 Tahun 2007 Tentang Penanggulangan Kebencanaan yaitu,
“Mitigasi adalah serangkaian upaya untuk mengurangi risiko bencana, baik melalui pembangunan fisik maupun penyadaran dan peningkatan kemampuan menghadapi ancaman bencana.”
Konsep perencanaan meminimalisir resiko untuk mengurangi ancaman kesehatan juga terkandung dalam Pasal 152 Ayat (1) UU No. 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan yaitu,
“Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan Masyarakat, bertanggung jawab melakukan upaya pencegahan, pengendalian, dan pemberantasan penyakit menular, serta akibat yang ditimbulkannya.”
BACA JUGA: ONE HEALTH FOR ONE WORLD
Aturan hukumnya sudah jelas, tinggal bagaimana tataran prakteknya. UU Kesehatan juga mengamanatkan masyarakat terlibat dalam upaya pencegahan. Tapi apa iya, pemerintah sudah seaktif itu dalam hal menghadapi corona? Logikanya, dalam permainan sepak bola, jika gawang kebobolan berarti pertahanan pemain kurang kuat.
Apalagi didukung budaya kagetan masyarakat yang sedang ramai-ramainya memborong masker dan makanan instan, duh di anak emaskan banget ya si corona itu gaes, kasian gak tuh sama gondongan, asam urat, dan bintitan.
Saya yakin, ketika upaya mitigasi sangat maksimal dan pertahanan di berbagai lini diperkuat, nampaknya corona akan ogah datang ke Indonesia. Katanya sih, corona enggan masuk ke Indonesia, tapi kayanya karena orang Indonesia kuat-kuat, tapi mungkin karena …
Selain dari penyakit gondongan, asam urat, dan bintitan, penyakit lupa bayar utang, penyakit me-mark up anggaran negara aja masih banyak. Satu lagi penyakit yang menghantui kaum ambyar yang katanya berbahaya dan mematikan, yaitu penyakit ditinggal pas sayang-sayangnya.
Mumpung corona belum beranak pinak di Indonesia, ayo dong?! Pemerintah lebih giat lagi mitigasinya, dan masyarakat juga harus jaga pola hidup sehat. Itu masker gak usah banyak-banyak ditimbun, nanti bisa kena pidana loh.