Kalian ada yang sama keselnya kayak aku, waktu tau eks koruptor nyaleg atau ikut pilkada gak? Walaupun rentetan pemilu tahun ini akhirnya selesai, tapi masalah yang satu ini tu gak serta merta selesai. Gimana jadinya kalau orang-orang seperti ini kembali tampil di panggung kekuasaan?.
Korupsi itu bukan cuma tindakan yang merugikan negara secara finansial, tapi juga menunjukkan adanya masalah moral di dalam diri si pelaku. Ketika seseorang terlibat dalam korupsi, itu artinya dia sudah memilih untuk mengabaikan kepentingan orang banyak demi keuntungan pribadi. Nah, kalau orang seperti ini kembali berkuasa, pasti akan muncul pertanyaan “Emang dia udah berubah?”
Emang sih gak ada aturan yang secara eksplisit melarang melarang eks koruptor buat ikut pemilu. Seperti ketentuan Pasal 7 ayat (2) huruf g UU No. 10 Tahun 2016 memperbolehkan mantan terpidana mengikuti pilkada asal sudah mengakui secara terbuka sebagai mantan narapidana, atau Pasal 240 ayat (1) huruf g UU No.7 Tahun 2017 yang tidak mengatur larangan eks koruptor untuk ikut pemilu.
BACA JUGA: ORIENT: BUPATI WNA CACAT HUKUM
Kita pernah punya aturan yang melarang eks koruptor untuk nyaleg, tepatnya saat pemilu 2019 KPU mengeluarkan Peraturan KPU No. 20 tahun 2018, tapi apa yang terjadi?. Ada 13 uji materiil yang diajukan ke MA untuk membatalkan aturan tersebut, dan akhirnya aturan itu dibatalkan MA. Selain itu MK juga mengeluarkan putusan No.87/PUU-XX/2022 dan 12/PUU-XXI/2023 yang memperbolehkan eks koruptor dengan ancaman pidana kurang dari 5 tahun untuk mencalonkan diri di pemilu, dan untuk eks koruptor yang diancam pidana 5 tahun atau lebih bisa mencalonkan diri di pemilu dengan syarat menunggu dulu selama 5 tahun setelah dinyatakan bebas. Keliatan banget kan kesungguhan para eks koruptor ini untuk berkuasa.
Kita tahu, Indonesia sudah banyak melakukan berbagai upaya untuk memberantas korupsi. Ada banyak lembaga dan program yang dibentuk untuk menanggulangi praktik kotor ini, seperti KPK yang berusaha mengusut tuntas kasus-kasus besar. Tetapi, kalau kita melihat eks koruptor yang kembali berkuasa, seakan-akan perjuangan untuk membangun pemerintahan yang bersih itu jadi sia-sia.
Aku setuju banget dengan salah satu statement Indonesia Corruption Watch (ICW) yang bilang kalau partai politik cenderung pragmatis dalam memilih figur calon anggota legislatif, sehingga memilih eks koruptor. Ya masa dari banyaknya kader partai yang ada, ko malah milih kader yang jelas-jelas korupsi. Inikan jadi tanda tanya apakah emang kaderisasi partai yang jelek atau emang partainya sarang koruptor? Ups. Bahkan eks koruptor ini kadang diberikan nomor urut prioritas seperti nomor 1 atau 2, membagongkan gak tuh.
BACA JUGA: REVISI UU PILKADA: OBRAK-ABRIK TATANAN NEGARA, UNTUNG NGGAK JADI
Sebenarnya, solusi untuk masalah ini nggak semudah yang dibayangkan, kita gak bisa serta merta menghilangkan para eks koruptor ini di kontestasi politik Indonesia. Jadi penting untuk kita menyadarkan satu sama lain untuk memilih pemimpin bukan hanya soal siapa yang punya popularitas atau siapa yang menawarkan janji paling manis. Tetapi, kita juga harus memilih pemimpin yang benar-benar menunjukkan integritas, rekam jejak yang baik, dan komitmen untuk memberantas korupsi.
Terlepas dari eks koruptor itu terpilih atau tidak di pemilu, sudah saatnya cancel culture kita terapkan ke ranah politik Indonesia, dengan tidak memberikan kesempatan kedua kepada eks koruptor. Karena eks koruptor ini pasti akan mencalonkan diri di pemilu mendatang.
In my opinion, Korupsi ini gak beda jauh sama tabiat orang selingkuh yang katanya susah buat disembuhin. Tabiat orang seperti ini kalo dimaafin biasanya bakal ngelakuin hal yang sama lagi.