Akhir-akhir ini banyak banget yang request ke saya buat nge-resensi film seputar wabah penyakit kaya The Flu ataupun Contagion. Cuma karena saya lagi pengen menanaman pikiran positif dalam menghadapi virus Corona, maka saya tolak dulu. Infonya, kecemasan dan ketakutan justru bikin imun tubuh kita jadi menurun. Jadi lebih baek kita kurangi nonton film dan berita-berita seputar Corona dan wabah penyakit, biar pikiran lebih positif, hati tenang dan juga penyakitnya hilang.
Ada yang bilang ke saya, nonton film ya nonton aja, nggak usah pake dipikirin. Cuma sayangnya itu sulit untuk dilakukan. Kebiasaan jelek saya adalah, kalo abis nonton film yang jalan ceritanya nggak sinkron, nggak cocok, apalagi enggak pas dengan kenyataannya, saya suka sebel dan kepikiran terus. Aneh kan? Iya saya juga sebel dengan perasaan itu.
Salah satu film lawas yang masih terngiang-ngiang di pikiran saya adalah film yang berjudul “Jamila dan Sang Presiden.” Film ini bikin saya banyak bertanya, kenapa begini, kenapa begitu. Saya sengaja nge-resensi film ini, karena film ini spesial, bikin saya gemes dan gregetan, hahahaha.
Film “Jamila dan Sang Presiden diadaptasi dari sebuah drama karya Ratna Sarumpeat yang berjudul Pelacur dan Sang Presiden. Film ini mendapat dukungan dari UNICEF untuk menelaah perdagangan anak di Indonesia dan meningkatkan kesadaran masyarakat akan masalah perdagangan anak. Film ini ditampilkan di beberapa festival internasional dan mendapat penghargaan di Perancis, Italia, dan Taiwan.
Film ini mengangkat kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) yang menimpa Jamila (Atiqah Hasiholan). Jamila kecil dijual ayahnya kepada sindikat perdagangan anak. Setelah berhasil kabur dari jerat sindikat perdagangan anak, kemudian ibu Jamila menitipkan Jamila ke keluarga Ibu Wardiman, salah satu keluarga kenalan ibunya yang terhormat di Jakarta. Di sana Jamila mulai dapat menikmati sekolah, belajar mengaji dan tekun sholat. Di rumah Bu Wardiman, Jamila sering dilecehkan, bahkan Jamila juga diperkosa oleh suami dan anak Bu Wardiman. Jamila yang nggak tahan dengan perlakuan tersebut, akhirnya membunuh anak Bu Wardiman. Lalu suami Bu Wardiman juga mati (entah dibunuh oleh Jamila atau dibunuh oleh Bu Wardiman). Jamila kemudian melarikan diri dan malah terdampar di daerah prostitusi.
Jamila tumbuh dewasa sebagai seorang PSK, lalu bertemu seorang menteri yang bernama Nurdin (Adjie Pangestu). Awalnya Nurdin mau menyewa jasa Jamila, tapi nggak jadi karena Nurdin jatuh cinta pada Jamila. Jamila dan Nurdin menjalin hubungan selama beberapa waktu, hingga tiba-tiba Nurdin mengkhianati Jamila dan mau menikah dengan wanita lain. Jamila yang saat itu lagi hamil anak Nurdin, memutuskan buat menggugurkan kandungannya.
Jamila membalas dendam dengan cara mempermalukan Nurdin di acara lelang lukisan. Jamila dan Nurdin terlibat pertengkaran, lalu Jamila nggak sengaja menembakkan peluru ke dada Nurdin. Setelah beberapa waktu akhirnya Jamila menyerahkan diri ke polisi. Jamila disidangkan dan di vonis dengan hukuman mati. Jamila yang punya hak untuk mengajukan grasi pada presiden berkeras nggak mau menggunakan haknya tersebut. Sebagai gantinya Jamila meminta bertemu dengan presiden, namun permintaannya ditolak. Hingga akhirnya Jamila dieksekusi mati.
Nah, film ini kental banget dengan nuansa hukumnya. Sebagai seorang praktisi hukum, saya banyak menemukan kejanggalan di film ini. Janggalnya sih, karena beberapa adegan yang digambarkan nggak pas dengan realita praktek hukum di Indonesia. Kalo mau dikomen banyak bah.
Saya justru mau ngomentarin part yang paling nggak pas dalam film ini. Jadi gini, dalam film ini, Jamila didakwa melakukan pembunuhan dengan ancaman hukuman mati. Artinya Jamila dalam persidangan didakwa dengan Pasal 340 KUHP. Pasal 340 KUHP mengatur bahwa “Barang siapa dengan sengaja dan direncanakan lebih dahulu menghilangkan nyawa orang lain, karena bersalah melakukan pembunuhan berencana, dipidana dengan pidana mati atau penjara seumur hidup atau penjara selama-lamanya dua puluh tahun.”
Jadi inti dari Pasal 340 KUHP ini adalah pembunuhan dilakukan dengan direncanakan terlebih dahulu. Maksudnya kata ‘direncanakan’ adalah, ada jarak waktu antara timbulnya niat dan pelaksanaan untuk membunuh, lalu ada rangkaian rencana bagaimana cara melakukan pembunuhan.
Lah, pasal ini tentu aja nggak pas kalo disesuaikan dengan adegan pembunuhan si Menteri Nurdin. Jelas-jelas dalam adegan pembunuhan tersebut, si Menteri Nurdin duluan yang menodongkan pistol ke kepala Jamila, hingga akhirnya Jamila melakukan perlawanan dan tanpa sengaja pistol meletus menembus dada Menteri Nurdin. Jadi, harusnya Jamila justru bisa bebas karena melakukan pembelaan terpaksa. Ya, sejelek-jeleknya kalo pun Jamila mau dipaksakan mendapatkan hukuman, maka pasal yang paling relevan untuk menjerat Jamila ya Pasal 338 KUHP.
Pasal 338 KUHP itu mengatur bahwa “Barang siapa dengan sengaja menghilangkan nyawa orang, karena pembunuhan biasa, dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima belas tahun.”
Jadi gaes, Pasal 338 KUHP ini lebih cocok buat Jamila, karena film ini sama sekali nggak pernah menggambarkan bahwa Jamila punya rencana untuk melakukan pembunuhan kepada Menteri Nurdin. Harusnya nih, si Jamila mentok-mentok kena hukuman 15 tahun penjara.
Kalo ada yang bilang, lah ini kan cuma film, bisa aja dong digambarkan sedikit beda, biar dramatis gitu. Ya bisa aja sih, cuma buat kita-kita yang paham hukum, ini film jadi keliatan aneh banget. Nggak masuk akal. Lagian dalam perkara pidana, hakim itu sifatnya aktif, hakim wajib mencari kebenaran materiil. Jadi pasti hakim akan menggali fakta sesuai kejadiannya. Hakim akan mencari tau, itu senjata punya siapa, siapa yang bawa, gimana kronologi kejadiannya. Lah kan jadi nggak sinkron kalo mau diputus dengan pidana mati.
Oh ya satu lagi, dari jaman dulu sampe sekarang nih, kenapa sih adegan sidang dalam film ato sinetron Indonesia nggak pernah pake ruangan yang disetting kek ruang sidang di pengadilan beneran? Nggak cuma seadaanya. Emang sih itu cuma bagian kecil, tapi beneran deh, itu ngganggu banget. Hehehehehe. Ini sih, sekedar masukan buat dunia per-filman Indonesia ya, biar film-film Indonesia tambah keren dan detail kek drama-drama Korea itu tu.
Keren sekali delik peristiwa story’ nya .
Ini bagian dari evaluasi dari yg berprofesi di bidang hukum di Bangsa ini .
Saran saya ditambah kan lagi story’ hukum seperti diatas kalau boleh jangan hanya KUHP kalau boleh KUHPerd.HUkum adat ,dll.
SMG sukses kedepan .