Semenjak UU Cipta Kerja atau populer disebut Omnibus Law disahkan dalam Rapat Paripurna DPR pada tanggal 5 Oktober 2020 kemarin, perhatian semua orang tertuju kepada UU Cipta Kerja. UU yang dimusuhi oleh kaum pekerja dan buruh tetapi dicintai oleh pengusaha dan juga penyusun undang-undang, dalam hal ini pemerintah dan DPR.
Sejak awal beredarnya draf Omnibus Law pada awal tahun ini, banyak orang yang ngerti hukum mengkritisinya karena substansi Omnibus Law yang dipandang sangat menguntungkan pengusaha, tetapi mematikan para buruh tersebut. Almamater saya yakni Fakultas Hukum UGM, bahkan sampai repot-repot menjadikan Omnibus Law sebagai bahasan pokok dalam acara seminar Dies Natalis Fakultas Hukum UGM.
Apabila ingatan saya tidak berkhianat, saya masih ingat pendapat salah satu pembicara mengenai Omnibus Law tersebut. Salah satunya adalah pada dasarnya apabila mengacu pada Lampiran II UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, maka konsep Omnibus Law ini tidaklah dikenal dalam metode legal drafting berdasar Lampiran II UU Nomor 12 Tahun 2011.
Mengapa Omnibus Law tidak dikenal dalam metode legal drafting berdasar Lampiran II UU Nomor 12 Tahun 2011? Sederhananya, hal itu dikarenakan Omnibus Law melakukan perubahan terhadap 79 undang-undang sekaligus dalam satu undang-undang, sedangkan praktek yang berlaku apabila mengacu pada Lampiran II UU Nomor 12 Tahun 2011 adalah satu undang-undang hanya dapat mengubah satu undang-undang lainnya. Contohnya adalah UU Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua Atas UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK).
Baiklah, UU Nomor 19 Tahun 2019 dianggap membuat KPK mati suri karena substansi UU tersebut banyak memangkas kewenangan KPK. Akan tetapi secara formil, UU Nomor 19 Tahun 2019 sudah sesuai dengan Lampiran II UU Nomor 12 Tahun 2011 dalam hal mengubah ketentuan dalam UU Nomor 30 Tahun 2002.
BACA JUGA: EMPAT ALASAN KONSENTRASI HUKUM PERDATA DIMINATI MAHASISWA
Berbeda dengan UU Nomor 19 Tahun 2019, konsep pembentukan UU Cipta Kerja yang merevisi 79 undang-undang itu tidak dikenal dalam Lampiran II UU Nomor 12 Tahun 2011. Pertanyaannya adalah, apakah pemerintah dan DPR dapat dianggap melanggar ketentuan dalam menyusun UU Cipta Kerja karena tidak sesuai dengan Lampiran II UU Nomor 12 Tahun 2011?
Kalau pertanyaannya seperti itu, maka kita harus mengetahui bahwa terdapat 2 (dua) pendapat mengenai kekuatan mengikat Lampiran dalam suatu undang-undang. Pendapat pertama menyatakan bahwa Lampiran memiliki kekuatan hukum yang mengikat, karena dalam UU, keberadaan Lampiran biasanya dinyatakan, “Sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari undang-undang ini.”
Lampiran memiliki kekuatan hukum yang mengikat dapat terlihat dalam penegakan hukum terhadap pelaku tindak pidana yang melanggar ketentuan dalam UU Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, dimana penegak hukum akan memperhatikan Lampiran UU Narkotika untuk menentukan seseorang melanggar ketentuan UU Narkotika atau tidak.
Tidak percaya? Saya ceritakan, deh. Pada tahun 2013 silam, presenter Raffi Ahmad pernah ditangkap Badan Narkotika Nasional (BNN) dengan tuduhan penyalahgunaan zat metilon yang terkandung dalam obat-obatan yang dikonsumsi Raffi Ahmad. Gara-gara hal tersebut, Raffi Ahmad terpaksa menjadi pesakitan dan sempat ditahan di Pusat Rehabilitasi Lido, Sukabumi.
Akan tetapi, tim kuasa hukum Raffi Ahmad tidak tinggal diam. Mereka menghadirkan Prof. Eddy OS Hiariej (ehem, dosen saya ini) selaku ahli, dan dalam keterangannya di hadapan penyidik BNN, Prof. Eddy menyatakan bahwa barang bukti yang saat itu tergolong narkotika jenis baru tersebut tidak terdapat dalam Lampiran UU Narkotika, sehingga Raffi Ahmad tidak bisa dipidana dengan tuduhan penyalahgunaan narkotika.
Yang terjadi kemudian adalah Raffi Ahmad tidak pernah diadili di pengadilan dan selentingan kabar yang saya dengar dari senior dan teman-teman di kampus dulu, Prof. Eddy mendapat hadiah berupa mobil Mini Cooper warna merah sebagai bayaran atas keterangan ahli dari beliau. Eh, atau mobil Jeep Cherokee ya? Ntah ding dapet hadiah apa.
BACA JUGA: MEMBAHAS UPAH KERJA
Kasus Raffi Ahmad menunjukkan betapa mengikatnya Lampiran UU Narkotika terhadap penegakan hukum dalam kasus tindak pidana narkotika. Sebaliknya, terdapat pendapat kedua yang menyatakan bahwa Lampiran tidak memiliki kekuatan mengikat karena UU Nomor 12 Tahun 2011 tidak secara tegas menyatakan bahwa Lampiran memiliki kekuatan hukum yang mengikat.
Dalam hal pembentukan RUU Cipta Kerja sampai jadi UU Cipta Kerja, saya rasa Pemerintah dan DPR lebih mengamini pendapat yang kedua, karena apabila kita menyebut bahwa Lampiran II UU Nomor 12 Tahun 2011 memiliki kekuatan hukum yang mengikat, maka UU Cipta Kerja jelas melanggar ketentuan Lampiran II UU Nomor 12 Tahun 2011. Tapi toh, pemerintah dan DPR lempeng-lempeng aja tuh menyusun RUU Cipta Kerja. Kayak gak ada beban, gitu.
Karena itulah, bagi saya pengesahan UU Cipta Kerja kembali membuka diskursus mengenai kekuatan mengikat pada Lampiran dalam UU. Toh, sampai hari ini masih terdapat dua kubu yang berbeda pendapat. Mungkin akan menarik apabila Mahkamah Konstitusi mau memberikan pendapatnya mengenai kekuatan mengikat Lampiran II dalam UU Nomor 12 Tahun 2011 dengan membandingkan konsep legal drafting dalam UU Cipta Kerja.
Pertanyaannya adalah siapa sih, yang mau repot-repot mempertanyakan kekuatan mengikat Lampiran tersebut ke Mahkamah Konstitusi? Kayak gak ada kerjaan aja.