Mengejutkan, di tengah pandemi pemerintah mengeluarkan peraturan pemungutan pajak terhadap pulsa dan listrik melalui Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 6 /PMK.03/2021 tentang Penghitungan dan Pemungutan Pajak Pertambahan Nilai Serta Pajak Penghasilan Atas Penyerahan/Penghasilan Sehubungan Dengan Penjualan Pulsa, Kartu Perdana, Token dan Voucer.
Perbincangan soal pembaruan pungutan pajak pulsa hingga token listrik ini ramai dibahas publik. Banyak masyarakat yang protes dan mengeluh karena di masa pandemi gini kok malah nyusahin sih, pemerintah malah nambah-nambahin beban rakyatnya aja.
Dikit-dikit pajak. Emang pajak itu apa sih?
Pajak adalah iuran rakyat kepada kas negara (peralihan kekayaan dari kas rakyat ke sektor pemerintah) berdasarkan Undang-Undang untuk membiayai pengeluaran rutin dan surplusnya digunakan untuk public saving yang merupakan sumber utama untuk membiayai public investment.
Manfaat pajak tidak bisa langsung dinikmati oleh rakyat pembayar pajak, karena sifat manfaat dari pajak adalah jangka panjang, sehingga tidak langsung dapat dinikmati.
Nah, dalam PMK Nomor 6 /PMK.03/2021, negara memungut pajak pertambahan nilai (PPN) dan pajak penghasilan (PPh) atas pulsa, kartu perdana, token dan voucher.
PPN adalah pajak yang dikenakan atas konsumsi dalam negeri oleh Wajib Pajak Orang Pribadi, Badan dan Pemerintah. Dalam penerapannya, PPN gak langsung disetor ke kas negara, melainkan melalui pihak yang memotong PPN.
Oh iya, gak semua barang dapat dikenakan PPN ya. Misalnya, kebutuhan pokok yang dibutuhkan rakyat banyak, uang, emas batangan dan surat berharga gak kena PPN.
Selain PPN, ada juga PPh. PPh adalah pajak yang dikenakan kepada orang pribadi atau badan atas penghasilan yang diterima atau diperoleh dalam satu tahun pajak. Maka dari itu pajak penghasilan melekat pada subjeknya dan dikenal dengan istilah pajak subjektif.
Katanya undang-undang perpajakan harus menitikberatkan pada peningkatan asas keadilan, asas kepastian hukum, asas legalitas dan asas kesederhanaan. Apakah PMK Nomor 6 /PMK.03/2021 sudah mengakomodir 4 (empat) asas itu?
Pada prakteknya, tidak ada peraturan yang bisa memenuhi keempat asas tersebut secara bersama-sama. Ini persis seperti konsep tiga nilai dasar hukum yaitu, kepastian, keadilan dan kemanfaatan, yang gak mungkin seiring sejalan. Adil buat kamu, belum tentu adil buat saya, begitupun sebaliknya. Yaa, gak bakal semua terpuaskan.
Biar adem dikit, coba deh sekarang kita breakdown sama-sama.
Sebagai konsumen, kalo kita beli sesuatu, kita pasti fokus pada PPN. Nah, kalau diperhatikan sebenarnya dalam UU Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah terdapat istilah, “Negative list.” Istilah ini berarti, suatu daftar barang atau jasa yang tidak dikenakan PPN. Misalnya seperti beras, emas, uang dan kebutuhan pokok lainnya.
Gampangnya semua barang atau jasa yang diperjualbelikan itu kena PPN, kecuali yang ada di dalam negative list itu. Sedangkan pulsa, kartu perdana, token dan voucer tidak ada di dalam negative list. Jadi logikanya semua yang disebutin tadi merupakan barang kena pajak dan kena PPN.
Bisa dibilang, meskipun PMK Nomor 6 /PMK.03/2021 tidak ditetapkan oleh pemerintah, sebenarnya sejak dulu penjualan pulsa, kartu perdana, token dan voucer itu kena PPN. Jadi sebelum ada PMK Nomor 6 /PMK.03/2021 harga yang kita bayarkan itu sudah termasuk PPN, kita saja yang tidak sadar.
Oh ya, ada yang beda dikit terkait pengaturan PPN listrik. Listrik merupakan barang kena pajak tertentu yang bersifat strategis dan dalam batas tertentu tidak dikenakan PPN. Jadi gak semua pengguna listrik kena PPN.
Lalu siapa dong, yang kena PPN listrik? Yang wajib bayar PPN listrik adalah pengguna rumah tangga dengan daya di atas 6600 watt. Jadi kalau rumah kalian di bawah itu, berarti gak kena PPN.
Jadi selama ini, biaya administrasi atau fee atau nilai lebih yang dipungut dari konsumen itulah yang dibayarkan oleh distributor token sebagai PPN kepada negara. Jumlahnya sebesar 10% dari harga jual. Kalau kalian kepo dengan teknisnya, kalian bisa baca secara lengkap di website Direktorat Dirjen Pajak.
Jadi, kalau kita pikirkan dengan tenang dan kepala dingin, sebenernya peraturan mengenai pengenaan pajak pada pulsa dan listrik itu sudah ada, namun peraturannya saja yang belom jelas. Nah, ini ada PMK Nomor 6 Tahun 2021 hadir untuk memperjelas itu.
Kalo distributornya gak nakal sih, pajak ini gak berimbas pada konsumen, karena tidak mengubah harga dari produk itu sendiri. Jadi seharusnya, konsumen ataupun pedagang kecil/ reseller dari pulsa ataupun token listrik tidak terkena beban tambahan.
Yuks, kita lihat gimana prakteknya. Apakah pernyataan Ibu Menteri Keuangan benar, bahwa harga pulsa dan token listrik gak bakalan naik. Biasanya sihh, ‘das sein’ sama ‘das sollen’ itu gak seiring sejalan. Peraturan ngomongnya apa, prakteknya ngomong apa. Mungkin bangetkan konsumen diikutsertakan menanggungnya.
Yang penting nih, yuks kita bayar pajak. Terkhusus untuk orang-orang kaya di luar sana, jangan sukanya mindahin aset keluar negeri atau ngumpetin barang-barang mewahnya biar bebas dari pajak. Masa bisa beli barang mahal tapi gak bisa bayar pajaknya, lucu deh.