Ngomongin soal hukum, kesan yang didapat pasti serius banget. Tapi apa iya, semua yang legal itu selalu benar?
Ini bukan tentang kita nge-skip lampu merah gegara sudah telat ke kantor (eh, jangan ditiru ya), tapi lebih gimana hukum sering banget nggak sinkron sama moralitas yang ada di masyarakat.
Perbedaan PoV Moralitas dan Hukum
Sering banget kita melihat hal-hal yang ‘legal’ tapi bikin hati seperti, “Eh, kok gini sih?” Karena memang hukum sama etika itu kayak dua hal yang sejalan tapi nggak selalu sefrekuensi.
Contohnya, kasus-kasus korupsi. Para pejabat yang ketangkap basah korupsi, bisa saja mendapatkan hukuman ringan. Tapi masyarakat pasti berfikir, “Wah, segini doang hukumannya?
Sebenarnya problem ini sudah disadari dalam ilmu hukum, makanya kadang terasa sangat sulit untuk mempertemukan antara keadilan dan kepastian hukum.
Meskipun secara hukum prosesnya sah, namun di mata publik itu terasa nggak adil. Nah, di sini kelihatan bedanya frekuensi antara hukum dan moralitas. Contohnya, waktu ada Putusan Mahkamah Konstitusi Register No. 90/PUU-XXI/2023 terkait usia minimal calon presiden dan calon wakil presiden pada Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu yang dikabulkan Mahkamah Konstitusi. Banyak pro dan kontra, karena hal itu memang sah. Tapi ya, begitulah.
BACA JUGA: AJARAN MORAL HUKUM SOCRATES
Moralitas lebih reflektif terhadap perasaan kolektif. Sementara hukum? Well, it’s all about rules, guys.
Ketika legalitas tidak sejalan dengan moralitas, maka rasa percaya ke hukum menjadi cepat goyah. Di situlah problem utamanya. Seperti lagi dengerin lagu galau, tapi beat-nya upbeat. Nggak akan keluar air mata, bro.
Hukum Itu Produk Kepentingan atau Kebenaran?
Ngomongin soal siapa yang bikin hukum (undang-undang), kita tentu ingat dengan Pasal 20 Ayat (1) UUD NRI 1945 yang pada intinya bilang, bahwa pemegang kekuasaan pembentukan undang-undang adalah DPR. Tapi pada tahu sendiri kan, DPR itu asalnya dari partai politik. Ya, sudah pasti ada kepentingan partai politik yang berpengaruh dalam pembentukan undang-undang.
Mungkin itu yang menjadi alasan, kenapa banyak masyarakat yang bilang kalau hukum itu nggak selalu mewakili keadilan, tapi seringkali cuma menjadi alat buat mengatur sistem. Bahkan terkadang hanya mengatur orang yang nggak punya power.
Makanya hukum sering dianggap sebelah mata sama masyarakat. Kayak, “Oke, kita ikutin, tapi bukan berarti kita setuju.”
BACA JUGA: MENGKAJI ETIKA SOSIAL DAN KESAMAAN DI DEPAN HUKUM ALA ARISTOTELES
Pertanyaan utamanya, apakah yang legal otomatis benar kalau di baliknya ada agenda tersembunyi?
Menurutku sih, simpel. Kalau hukum sudah dikendalikan oleh kepentingan, di situ etika bisa menjadi senjata utama buat ngingetin, bahwa ada sesuatu yang lebih besar dari aturan di atas kertas. Sebuah kata, kebenaran.
Kehilangan Kepercayaan pada Hukum Akibat Kesenjangan Etika
Pernah nggak ngerasa, bahwa hukum di Indonesia susah banget dipercaya?
Saat hukum tidak lagi bisa mengikuti perkembangan moralitas masyarakat, di situlah muncul masalah besar. Misalnya, orang berduit melakukan kejahatan berat, hukumannya malah seringan kapas. Sedangkan orang biasa bersinggungan dengan kasus sepele, hukumannya berat banget. Sepertinya hukum memang tumpul ke atas, tajam ke bawah.
Ketika hukum dan moralitas sudah nggak align, kepercayaan masyarakat pun menjadi runtuh. Ibarat lagi nonton drama Korea tapi twistnya malah bikin bingung dan gemes.
Padahal hukum seharusnya menjadi fondasi kepercayaan, agar hidup berdampingan dengan orang lain. Tapi jika hukum itu sendiri terasa tidak adil, orang bakal mikir dua kali buat nurut.
BACA JUGA: MAHKAMAH KONSTITUSI: SEJARAH, WEWENANG, DAN TANTANGAN DARI BENTENG TERAKHIR DEMOKRASI
Bahkan ada fenomena menarik, saat ini masyarakat lebih percaya dengan sanksi sosial. Sebut saja cancel culture, di mana pelanggar etika diadili secara massal di media sosial.
Mungkin kelihatannya lebih brutal dan tidak jelas landasannya, tapi faktanya banyak yang merasa ini lebih efektif daripada hukuman formal. Sanksi sosial menjadi bentuk penegakan etika yang lebih relate dengan moralitas masyarakat.
Pada akhirnya ketika hukum tidak benar-benar mengikuti etika, orang bisa merasa bahwa, “Mending kita yang mengadili sendiri aja, deh.”
Bahaya kan? Itu menunjukkan bahwa hukum memang tidak merefleksikan moralitas kultur sosial, yang ada cuma bikin chaos.
So, seharusnya hukum bisa evolve bareng-bareng dengan etika, agar mereka tetap relevan.
Intinya, legalitas tak selalu menjadi tolak ukur benar dan salah. Moralitas yang lebih cair ini sering kali mengubah cara kita melihat dunia.
Jadi, meski suatu hal legal di mata hukum, masyarakat tetap memiliki standar moralnya sendiri. Di sinilah mulai muncul gap antara legalitas dan moralitas.