Hello, precious people!
Wa, gila sih, 10 bulan lagi sudah tahun 2024. Terus kita bakal mengadakan pesta demokrasi atau pemilihan umum as known as Pemilu. Kalo lu mau tahu, Pemilu 2024 adalah kali pertama anak kelahiran 2000-an memakai hak pilihnya, bro!
Nah, gua sebagai bagian dari kaum 2000-an, ingin menyampaikan harapan terhadap pelaksanaan Pemilu 2024. Karena itu bakal jadi first experience gua, bro. Kuy, sokin bahas!
Harapan gua yang utama dan satu-satunya buat pemilu 2024 adalah Pemilu dilaksanakan dengan sistem proporsional terbuka. Karena sistem proporsional terbuka adalah sistem dalam Pemilu dimana kita sebagai pemilih dapat langsung memilih wakil kita yang diusung oleh partai politik sebagai pengusung.
Ya, simpelnya sih, ketika nyoblos lu bakal liat foto orang yang bakal jadi pilihan lu.
Hal tersebut telah diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum alias UU Pemilu, tepatnya di Pasal 168 Ayat (2) yang berbunyi:
“(2) Pemilu untuk memilih anggota DPR, DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota dilaksanakan dengan sistem proporsional terbuka.”
Hal ini selaras dengan cita-cita idiil Pemilu, seperti yang diamanatkan Pasal 22E Ayat (1) UUD 1945. Dimana pemilu dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil. Sehingga penyelenggaraan Pemilu itu berkualitas.
Berkualitas di sini maksudnya menjadikan rakyat sebagai subjek, bukan objek dalam menentukan kemenangan partai politik. Subjek sifatnya aktif, punya hak kodrati yang sifatnya tidak dibatasi, apalagi dikurangi.
Kalau sudah menempatkan rakyat sebagai subjek, meskipun belum bisa dijamin 100%, tapi seenggaknya mereka (rakyat) itu tahu siapa yang mereka pilih. Ya, harapannya dapat menjadi kontrol sosial terhadap kelakuan orang yang duduk di Senayan itu.
Honestly, waktu kemarin muncul wacana kalau pemilu 2024 bakal dilaksanakan dengan sistem proporsional tertutup, gua agak terkedjoet terheran-heran. Gua sih, berharap agar sistem proporsional terbuka tetap dipertahankan. Menurut pandangan gua yang sok tahu ini, sistem proporsional tertutup kurang cocok diterapkan di Indonesia. Kalo kata anak game moba, sistem proporsional tertutup membuat ‘buta map.’
Simpelnya, sistem ini hanya menyediakan logo/gambar banteng partai politik, bukan gambar foto orang yang dicalonkan. Terus nanti tinggal urusan parpol tuh, yang nentuin siapa yang bakal naik.
Masa iya, gua hanya nyoblos gambar banteng partai politiknya doang, tanpa tahu siapa yang gua pilih? Kek, serius nih, hak pilih pertama dalam hidup gua cuma nyoblos gambar partai? Hadew! Cukup masalah jodoh, rezeki dan maut aja yang dirahasiakan. Pilihan masa depan bangsa jangan ikut dirahasiakan dong.*ups
Well, jika beberapa pihak mengatakan bahwa sistem proporsional tertutup itu menghemat ongkos dan itu memang benar. Pertanyaan lanjutannya adalah apakah sistem tersebut efisien? Apa benar biaya yang dikeluarkan akan sebanding dengan manfaat yang diterima?
Gini ya, bro. Di satu sisi kita menekan biaya, tapi di sisi lain ratusan, ribuan bahkan jutaan suara dipertaruhkan tanpa tahu yang bakal mewakili dan memimpin mereka untuk lima sampai sepuluh tahun ke depan.
BACA JUGA: PRO KONTRA SISTEM PEMILU PROPORSIONAL TERBUKA VS TERTUTUP
Idealnya gini, dalam kajian filsafat moral, mau segede apapun biaya ya, tetap dijalankan. Itulah resikonya jika masih mau sehat sistemnya.
Kalo mau realistis? Sebenarnya agak ironi sih, mau menekan ongkos, tapi di sisi lain masih banyak ‘oknum’ kader partai yang masih main politik uang. Mana nggak balik modal lagi. Wkwkwk. *eh
Terus jika sistem tertutup masih mau dipakai, apa bedanya dengan zaman itu? Katanya reformasi. Gimana sih.
Cuma mau mengingatkan, jika sampai ada pihak yang menguji materiil UU Pemilu ini sehingga melegalkan sistem proporsional tertutup. Wah, kecewa gua.
Kalo mau dianalogikan, coba deh, jika dikaji secara hukum. Dimana letak salah Pak Harto yang menjabat selama 32 tahun berturut-turut? Nggak ada bro, karena memang begitulah aturannya. Memang waktu itu presiden bisa dipilih kembali setelah selesai masa jabatannya sampai berkali-kali periode. Dan memang nggak ada batasnya.
Memang agak pedas ya, tapi itulah faktanya. Intinya, gua berharap banget untuk tetap ada sistem proporsional terbuka. Gua percaya kok, masih ada orang jujur yang duduk di Senayan, Mahkamah Konstitusi dan instansi lain. “Tolong ya, Pak, Buk, jaga benar negara ini.”
Apalah daya kami rakyat jelata yang hanya bisa menyalurkan uneg-uneg melalui media sosial yang kadang nggak didengar dan selalu dianggap remeh pandangannya.
Well, that’s all from me. See you in the next article!
Nb: Doakan gua nggak didatangi kang bakso gais.