Bayangkan sebuah desa kecil di pelosok Nusantara, di mana tanah leluhur menjadi saksi bisu drama keluarga yang lebih rumit daripada sinetron prime time. Di satu sisi, ada hukum adat yang dipegang teguh oleh para tetua desa, yang mengangguk bijak sambil memegang tongkat kayu warisan.
Di sisi lain, ada hukum nasional, yang datang dengan setumpuk dokumen resmi dan stempel yang seolah berkata, “Kami serius!” Pertanyaannya, kalau tanah leluhur jadi rebutan, siapa yang sebenarnya berhak?
Hukum Adat
Hukum adat, ibarat resep turun-temurun untuk membuat rendang, punya cita rasa lokal yang kuat. Di banyak komunitas adat di Indonesia, hak waris tanah diatur berdasarkan tradisi yang sudah ada sejak zaman nenek moyang.
Misalnya, di masyarakat Minangkabau, tanah warisan biasanya diteruskan melalui garis ibu (matrilineal), sehingga para tante dan ibu di keluarga jadi penutup keputusan.
Sementara itu, di masyarakat Batak, sistem patrilineal menempatkan anak laki-laki sebagai pewaris utama, dengan harapan mereka akan menjaga nama keluarga. Hukum adat ini fleksibel, tapi juga punya kelemahan: sering kali tidak tertulis, sehingga bergantung pada ingatan tetua desa yang kadang lupa di mana letak batas tanah karena sudah terlalu asyik ngobrol di warung kopi.
Hukum Nasional
Di sisi lain, hukum nasional hadir bak pahlawan dengan jubah peraturan perundang-undangan, seperti Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) Nomor 5 Tahun 1960. Hukum ini dengan tegas menyatakan bahwa tanah harus terdaftar secara resmi, lengkap dengan sertifikat yang mengkilap lengkap dengan nomor registrasinya. Menurut hukum nasional, hak waris diatur berdasarkan sistem individual, di mana tanah bisa dibagi rata kepada ahli waris tanpa memandang jenis kelamin atau tradisi lokal.
Ini terdengar adil, tapi coba bayangkan Tante Minang yang mendengar tanah pusako dibagi rata ke anak laki-laki—mungkin ia akan pingsan sambil memeluk pusaka keluarga!
Konflik Hukum Nasional dan Hukum Adat
Konflik antara hukum adat dan hukum nasional sering muncul ketika keduanya bertabrakan seperti dua kereta api di jalur yang sama. Misalnya, sebuah keluarga di Bali mungkin bersikeras bahwa tanah leluhur hanya boleh diwariskan kepada anak laki-laki sesuai hukum adat, tapi adik perempuan yang berjiwa modern menggugat ke pengadilan dengan UU waris nasional di tangan.
Dalilnya sih, Pasal 18B UUD 1945 negara mengakui dan menghormati kesatuan masyarakat hukum adat serta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang undang. Selain itu sebagian besar hukum adat kita tidak memiliki hukum tertulis sehingga terbentur dengan asas legalitas.
Tameng inilah yang menjadi momok besar bagi masyarakat adat yang masih memegang teguh hukum adat, di mana apabila terjadi konflik antara hukum adat dan hukum nasional, maka yang diutamakan adalah hukum nasional.
BACA JUGA: TANAH INI MILIK DESA
Lalu, Apa Solusinya?
Pertama, kita perlu dialog yang elegan antara pihak adat dan pemerintah. Hukum adat bisa diakomodasi dalam sistem pendaftaran tanah nasional. Misalnya, dengan memberikan status khusus untuk tanah ulayat. Dampaknya, komunitas adat merasa dihargai dan hukum nasional tetap punya kendali untuk mencegah sengketa.
Kedua, edukasi hukum untuk masyarakat adat sangat penting. Hasilnya, tanah leluhur terlindungi, sengketa berkurang dan semua pihak bisa tidur nyenyak tanpa mimpi buruk tentang batas tanah yang kabur.
Pada akhirnya, hak waris atas tanah leluhur bukan sekadar soal siapa yang dapat apa, tapi bagaimana kita menghormati warisan budaya sambil merangkul kemajuan hukum modern. Hukum adat dan hukum nasional tidak harus saling sikut seperti penumpang di kereta pagi.
Dengan komunikasi yang baik, sedikit humor dan banyak akal sehat, kita bisa menemukan harmoni di antara keduanya. Jadi, lain kali jika melewati tanah leluhur, ingatlah: itu bukan cuma sepetak tanah, tapi cerita panjang tentang tradisi, hukum dan mungkin juga drama keluarga yang layak dijadikan novel!