Di masa pandemi gini, masih aja ada berita selebriti yang pake narkotika. Jenis narkotika yang dipake pun sangat beragam, mulai dari sabu, ganja, ada juga tembakau gorilla. Padahal ada sanksi berat yang bisa menjerat pelakunya. Untuk sekedar menguasai, memiliki dan menyimpan narkotika golongan jenis 1 (satu), ancaman hukum minimalnya adalah 4 (empat) tahun. Minimal loh, alias paling cepat hukumannya 4 (empat)tahun.
Empat tahun itu bukan waktu yang sedikit, jangan liat jumlah empat tahunnya, tapi lihat jumlah harinya. Untuk waktu empat tahun, berarti pelakunya menghabiskan waktu minimal 365 hari x 4 = 1460 hari. Yaaa, sebanyak itulah hari-hari yang harus dijalani.
Ada beberapa tingkatan sanksi bagi pelaku tindak pidana narkotika. Ada produsen, ada bandar, ada pengedar, kurir, ada juga pengguna narkotika. Itu semua hukumannya beda-beda. Sebenarnya istilah pengguna narkotika lebih tepat disebut dengan istilah penyalahguna narkotika.
Pengguna narkotika yang udah sangat ketergantungan dengan narkotika disebut dengan pecandu narkotika. Katanya sih, pecandu narkotika itu adalah korban, karena susah buat lepas dari jeratan narkotika. Makanya mereka jadi sasaran empuk para bandar dan pengedar, karena pecandu narkotika adalah konsumen aktif.
Pertanyaannya, bagaimana dengan mereka yang menjadi pecandu narkotika, apakah ada aturannya untuk rehab? Kali ini saya mau sedikit share pengalaman saya sejak tahun 2010 mendampingi klien yang terlibat kasus narkotika.
Jadi, dalam pidana ada asas yang dikenal dengan, “Ulitimum remedium” yang artinya, pidana merupakan alternatif terakhir dalam hukum. Untuk mewujudkan tujuan ulitimum remedium, maka UU No.35 Tahun 2009 tentang Narkotika juga mengatur tentang aturan rehabilitasi untuk pecandu narkotika dan pengguna narkotika.
Ketentuan tersebut bisa dibaca dalam Pasal 127 Ayat (3) UU Narkotika, yang menyatakan bahwa dalam hal penyalahguna dapat dibuktikan atau terbukti sebagai korban penyalahgunaan narkotika, penyalahguna tersebut wajib menjalani rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial.
Lebih detailnya lagi, aturannya diperjelas dalam SEMA No. 4 Tahun 2010 Jo SEMA No. 3 Tahun 2011 tentang Penempatan Penyalahguna, Korban Penyalahgunaan dan Pecandu Narkotika dalam Lembaga Rehabilitasi Medis dan Rehabilitasi Sosial.
Intinya, aturan terebut menjelaskan bahwa seorang penyalahguna ataupun pecandu narkotika dapat direhab apabila pada saat tertangkap tangan oleh petugas, ditemukan barang bukti dalam pemakaian satu hari dengan rincian kelompok metamphetamine (Shabu) sebanyak 1 g, kelompok MDMA (Ekstasi) 2,4 g, kelompok heroin 1,8 g, kelompok kokain sebanyak 1,8 g, kelompok ganja 5 g, daun koka 5 g, meskalin 5 g, kelompok psilosybin 3 g, kelompok LSD 2 g, kelompok PCP 1 g, kelompok fentanil 1 g, kelompok metadon 0,5 g, kelompok morfin 1,8 g, kelompok petidin 0,96 g, kelompok kodein 72 g, kelompok bufrenorfin 32 mg.
Poinnya gini, pada saat ditangkap, penyalahguna atau pecandu narkotika gak sedang menyimpan narkotika lebih dari satu hari. Jadi misal beli hari itu, ya dipake hari itu. Selain itu bukti pemakaian narkotika gak boleh lebih dari jumlah yang udah ditentukan untuk masing-masing kelompok narkotika.
Selain itu, harus ada bukti dari hasil laboratorium atas permintaan dari penyidik bahwa pecandu narkotika positif menggunakan narkoba. Adanya surat keterangan dari psikiater pemerintah yang ditunjuk hakim, plus satu lagi pecandu harus bisa membuktikan bahwa ia tidak terbukti terlibat dalam peredaran gelap narkotika.
Sedikit beda jika tersangka/terdakwa adalah anak, maka syarat untuk dapat direhabilitasi medis atau sosial dalam perspektif jaksa penuntut umum yakni positif menggunakan narkotika (BAP hasil laboratorium) dan ada rekomendasi Tim Asesmen Terpadu. Untuk Rekomendasi Tim Asesmen Terpadu, biasanya kuasa hukumnya tersangka/terdakwa/anak melakukan permohonan kepada penyidik untuk dilakukan assessment.
Seperti yang diulas di atas ada aturan yang mengatur jumlah minimal barang bukti yang disita, aturan tersebut untuk menunjukkan tersangka/terdakwa/anak tidak berperan sebagai bandar, pengedar, kurir atau produsen, bukan merupakan residivis kasus narkotika.
Oh iya, dalam UU Narkotika ada dua macam rehabilitasi narkotika, yaitu rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial. Rehabilitasi medis adalah suatu proses kegiatan pengobatan secara terpadu untuk membebaskan pecandu dari ketergantungan narkotika. Sedangkan rehabilitasi sosial adalah suatu proses kegiatan pemulihan secara terpadu, baik fisik, mental maupun sosial, agar bekas pecandu narkotika dapat kembali melaksanakan fungsi sosial dalam kehidupan masyarakat.
Sebagaimana disebutkan dalam Pasal 3 Ayat (1) Peraturan Kepala Badan Narkotika Nasional Nomor 11 Tahun 2014 tentang Tata Cara Penanganan Tersangka dan/atau Terdakwa Pecandu Narkotika dan Korban Penyalahgunaan Narkotika ke dalam lembaga rehabilitasi diatur bahwa pecandu narkotika dan korban penyalahgunaan narkotika, yang sedang menjalani proses penyidikan, penuntutan dan persidangan di pengadilan diberikan pengobatan, perawatan dan pemulihan dalam lembaga rehabilitasi. Jadi jangan heran ya, kalo ada orang ketangkep narkotika dan belum diputus oleh hakim, tapi orang tersebut mendapatkan rehabilitasi. Itu legal kok, karena ada dasar hukumnya.
Meskipun sudah direhabilitasi sejak masa penyidikan, tapi semua perkara narkotika tetap akan diperiksa seperti perkara pidana pada umumnya. Pelaku tetap di BAP penyidik, kemudian berkas dilimpahkan pada kejaksaan guna dilanjutkan ke pengadilan.
Setelah masuk ke pengadilan, maka berdasarkan Pasal 103 UU Narkotika, hakimlah yang memberi putusan terdakwa apakah akan direhab atau tidak. Jadi tetap ada proses-proses yang harus dilalui ya.
Pesan saya untuk teman-teman yang terlanjur menjadi pecandu narkotika, mending segera melaporkan diri kepada pihak yang berwajib agar tidak ditangkap. Dengan laporan kalian juga bisa memohon untuk mendapatkan rehabilitasi. Biar kalian gak was-was, minta saja didampingi advokat dalam proses laporan pada pihak yang berwajib. Oke.