Kamis (28/1) sore, terjadi kecelakaan lalu lintas di kawasan Simpang Empat Blok O atau depan RSPAU Hardjolukito, Jalan Majapahit, Bantul. Kecelakaan tersebut terjadi karena sebuah mobil yang dikendarai seorang anak berusia 13 tahun menabrak enam pengendara sepeda motor yang sedang berhenti menunggu lampu APILL berwarna hijau. Akibatnya, seorang pengendara sepeda motor tewas di lokasi kejadian.
Setelah ditelusuri lebih lanjut, polisi menyatakan bahwa orang tua anak tersebut juga ada di dalam mobil naas tersebut. Kepada polisi, orang tua si anak mengaku sedang tidak enak badan sehingga meminta anaknya untuk menggantikan dirinya mengendarai mobil.
Gara-gara peristiwa itu, riuh-riuh keramaian pun bermunculan di dunia maya. Sebagian besar netizen menyalahkan orang tua si anak tersebut.
“Orang tua harus bertanggung jawab!”
“Penjarakan orang tuanya!”
“Nyawa dibayar nyawa!”
Masih banyak lagi komentar yang bernada sejenis. Yang jelas, mayoritas netizen menyalahkan orang tua si pengendara mobil tersebut. Lantas, apakah orang tua dapat dipidana karena menyuruh anaknya mengendarai mobil yang berujung terjadinya kecelakaan?
Kalo dalam hukum pidana, terdapat asas geen straf zonder schuld atau tiada pidana tanpa kesalahan. Secara teori, kesalahan sendiri terbagi menjadi dua, yaitu kesengajaan dan kealpaan. Kesengajaan mensyaratkan adanya kehendak dalam melakukan perbuatan untuk menciptakan kondisi tertentu, sedangkan kealpaan mensyaratkan kelalaian atau kurang hati-hati sehingga mengakibatkan perbuatan yang dalam kondisi tertentu dapat merugikan orang lain.
Contoh kesengajaan adalah ketika A menghabisi nyawa B dengan sebilah pedang. Perbuatan A tersebut dilandasi kehendak A untuk menciptakan kondisi dimana B kehilangan nyawanya. Sedangkan contoh kelalaian yaitu, C yang merupakan seorang dokter melakukan operasi bedah perut terhadap D yang menderita usus buntu.
Ketika selesai melakukan operasi, C kemudian menutup bagian tubuh D yang dibedah, tetapi C lupa kalau di dalam tubuh D masih terdapat pisau bedah yang digunakannya. Akibat kejadian tersebut, C mengalami komplikasi penyakit beberapa bulan setelah operasi dilakukan. Dalam hal ini, C sebagai dokter telah melakukan kelalaian.
Kembali ke kasus si bocah pecicilan tadi. Pada dasarnya, kesalahan terletak pada anak tersebut, karena dialah yang mengendarai mobil dan karena kelalaiannya mengakibatkan kecelakaan yang mengakibatkan orang lain mengalami luka-luka bahkan meninggal dunia.
“Lho, kan si anak bisa mengendarai mobil itu juga karena disuruh orang tuanya. Jadi, paling benar orang tuanya juga harus dihukum, dong!”
Untuk kali ini, saya setuju dengan suara mayoritas netizen yang menginginkan orang tua dihukum akibat ulah anaknya yang mengendarai mobil, karena perbuatan orang tua tersebut sebenarnya masuk ke dalam penyertaan. Pengaturan mengenai penyertaan terdapat di Pasal 55 Ayat (1) angka 1 dan 2 KUHP.
Sebenarnya, apa sih penyertaan itu? Kalau definisi pastinya sih tidak ada. Hanya saja, sebagian besar ahli hukum pidana menyatakan bahwa penyertaan merupakan perluasan terhadap pelaku yang dapat dimintai pertanggungjawaban pidana berdasar peran dari masing-masing pelaku tindak pidana tersebut.
Pelaku tindak pidana pada dasarnya terbagi menjadi 4 (empat), yaitu: pelaku tindak pidana (pleger); orang yang menyuruh melakukan tindak pidana (doenpleger); orang yang ikut serta melakukan tindak pidana (medepleger); dan orang yang menyarankan melakukan tindak pidana (uitlokker).
Kembali ke kasus kecelakaan di Blok O kemarin. Anak yang mengendarai mobil tersebut dapat dijerat dengan UU No. 22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (UU LLAJ). Ketentuan Pasal 310 Ayat (4) UU LLAJ menyatakan bahwa kecelakaan yang mengakibatkan orang lain meninggal dunia, dapat dipidana dengan penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp12.000.000,00 (dua belas juta rupiah).”
BACA JUGA: NOKTAH MERAH PERLINDUNGAN ANAK DI INDONESIA, SEBUAH RANGKUMAN BILIK HUKUM
Nah, karena yang mengendarai mobil adalah anak yang masih berusia 13 tahun, maka anak tersebut tidak dapat dipidana karena berdasar Pasal 69 UU Nomor 11 Tahun 2020, anak yang berusia di bawah 14 (empat belas) tahun hanya dapat dikenai tindakan.
Tindakan itu sendiri dapat berupa: pengembalian kepada orang tua/wali; penyerahan kepada seseorang oleh hakim, dalam hal ini seseorang tersebut merupakan orang dewasa yang cakap, berkelakuan baik dan bertanggung jawab serta dipercaya oleh anak yang bersangkutan; perawatan di rumah sakit jiwa; perawatan di Lembaga Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial atawa LPKS; kewajiban mengikuti pendidikan formal dan/atau pelatihan yang diselenggarakan pemerintah atau badan swasta; pencabutan SIM; dan/atau perbaikan akibat tindak pidana.
Selain alasan anak masih berusia 13 tahun, terjadi relasi kuasa dimana orang tua memerintahkan si anak untuk mengendarai mobil tersebut, sehingga dalam hal ini orang tua berkedudukan sebagai medepleger atau orang yang menyuruh melakukan dan si anak menjadi alat bagi orang tua untuk melakukan hal yang diinginkan orang tuanya, yaitu mengendarai mobil. Dalam relasi kuasa tersebut, sangat mungkin anak tersebut tidak berani membantah keinginan orang tuanya.
Karena itulah, dalam kasus kecelakaan di kawasan Blok O kemarin, sangat mungkin orang tua dari anak yang mengendarai mobil tersebut dipidana, karena kecelakaan tersebut mengakibatkan kematian seseorang.
Kita simak saja, apakah nantinya orang tua si anak akan ditetapkan menjadi tersangka atau tidak. Kita tunggu update hasil penyidikannya. Yang pasti, daripada nyinyir, mending kita doakan yang terbaik untuk keluarga korban dan pelaku.