Masih ingat dengan kalimat “Dipaksa sehat di negeri yang sakit?” Ah, itu lho, tulisan mural yang viral.
Viralnya sih, bukan karena itu karya seni ya. Tapi karena dianggap kriminal. Hhmm, katanya ini negeri yang menjunjung tinggi demokrasi. Harusnya ya, bebas berekspresi. Bukan malah bebas korupsi.
Semoga aja tulisan ini nggak dihapus paksa ya. Hahaha.
Kali ini aku bukan mau ngebahas muralnya ya, tapi kalimat “Dipaksa sehat di negeri yang sakit.” Itu memorable banget lho. Karena menurutku memang relate banget dengan kondisi sekarang.
Ya gimana enggak, wong sekarang kalau mau dapet pelayanan publik harus jadi peserta BPJS aktif. Inget yaaa … A K T I F! Artinya kalian harus bayar iuran tiap bulan.
Loh, trus apa hubungannya?
Gini, gini, aku mau cerita pengalamanku sebagai masyarakat beban pengguna BPJS.
Jadi aku pernah periksa gigi di dokter hewan gigi yang terdaftar sebagai fasilitas kesehatan layanan BPJS.
Tapi waktu registrasi aku ditolak karena aku pakai bpjs, alasannya karena aku nggak terdaftar di faskes tersebut. Jadi dari BPJS belum masukin dokter gigi di data faskes layanan BPJS-ku.
Kata petugas administrasinya, aku harus ngurus ke kantor BPJS biar terdaftar di faskes itu.
Oh, maigaaatt! Kok, bisa kayak gitu ya? Padahal aku tiap bulan iuran lho! Dan itu bukan salahku dong, kalau aku nggak terdaftar.
Nggak cuma itu aja sih, aku juga pernah periksa di satu RS. Dan lagi-lagi obat yang diresepin dokter (yang jelas obatnya yang ditanggung bpjs) itu nggak ada persediaannya.
Nah, gimana tuh, kalau kayak gitu. Jadi, kalau mau dapet layanan kesehatan pake BPJS, ya harus siap lahir batin sama pelayanannya.
Ah, sudahlah. Nanti dikira aku ngejelekin BPJS. Hahaha. Tapi pengalaman bagus dan menguntungkan juga ada sih.
Lagian nggak rugi juga kok, kalau jadi peserta BPJS. Karena sekarang ini banyak banget kegunaannya.
Apalagi semenjak presiden mengintruksikan kepada 30 stakeholder melalui Instruksi Presiden nomor 1 tahun 2022 tentang Otimalisasi Pelaksanaan Jaminan Kesehatan Nasional.
Instruksi itu dibuat katanya sih, dalam rangka optimalisasi pelaksanaan program Jaminan Kesehatan Nasional, peningkatan akses pelayanan kesehatan yang berkualitas dan untuk menjamin keberlangsungan program Jaminan Kesehatan Nasional.
Eh, tapi kok kayaknya pemerintah terkesan ngawur banget ya.
Ya memang sih, dengan adanya kebijakan ini, pemerintah membuktikan kewajibannya untuk memenuhi hak warga negara yaitu Pasal 28 H melalui BPJS.
Cuma, caranya kok gitu.
Warga negara dipaksa untuk memenuhi kewajiban negara dalam memenuhi hak warga negaranya. Aneh ga sih?
Mana peserta BPJS harus iuran. Iurannya pake duit lagi, coba aja pake sabar. Hahaha.
Eh, tapikan namanya juga kewajiban pemerintah ya, seharusnya nggak perlu ada iuran dong. Selain aneh, juga membingungkan nggak sih? Hahaha.
Ditambah pengalaman masyarakat tentang pelayanan BPJS yang terkesan amburadul.
Mbok ya, pelayanan BPJS dibenerin dulu to yaa. Yakin lah pakde, nanti kalau pelayanannya udah jooss, dengan rasa ikhlas lillahi ta’ala masyarakat bakal mau jadi peserta BPJS kok.
Lah, kalau sekarang? Udah harus bayar iuran BPJS, kalau sakit masih harus sabar sama pelayanannya.
Kalau nggak punya BPJS, nanti nggak bisa sekolah, umroh atau haji, sama bikin SIM dan lain-lain. Wes pokoke, nggak bisa menikmati pelayanan pemerintah.
Healaaaahhh, padahal kalau kata UUD NRI Pasal 28 D Ayat (3) Setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan.
Kalau dibahas akibat dari Inpres No. 1 Tahun 2022 dikaitkan dengan hak-hak warga negara, pasti banyak banget hak yang diabaikan.
BACA JUGA: UNBOXING PERPRES JAMINAN KESEHATAN “BARU”
Tapi itu biar akademisi aja yang ngebahas. Yaaa, biar ilmiah gitulah.
Kalau ini kan sambatan rakyat biasa yang menyuarakan keluh kesahnya pake tulisan, bukan pake toa biar nggak dikira anjing. *Eeh.
Di sini udah setuju kan? Kalau “Dipaksa sehat di negara yang sakit” itu nyata banget?
Wes, nggak usah heran. Kita di Indonesia, apapun bisa terjadi. Kebijakan bisa batal karena viral.
Eh, tapi kebijakan tentang Optimalisasi Pelaksanaan Jaminan Kesehatan Nasional ini nantinya gimana ya?
Soalnya kan, kalau ngomongin pelayanan di Indonesia juga punya aturannya, yaitu UU 25 Tahun 2009 tentang pelayanan publik.
Nah, panjang kan nanti pembahasannya. Kebanyakan aturan sih!
Oalah, pakde, pakde … selain di UUD NRI, pakde juga bilang kan? Waktu awal muncul gagasan bikin omnibus law kalau negara Indonesia adalah negara hukum, bukan negara peraturan. Kita masih inget lho, pakdeee. Kalau lupa, nanti cari di tiktok. Banyak kok, videonya. Hahaha.
Kita malah lupa kalau rakyat yang seharusnya dilibatin dan diperhatikan kondisinya waktu bikin kebijakan.
Bukan rakyat yang dijadiin penonton. Iyaa, penonton akrobat. Akrobat politik yang diperankan pemerintah.
Yaudahlah, yok direstock lagi sabarnya. Haha.