“Getar jiwa kuungkapkan ke dalam nada Ooh… Tercipta lagu Kutuliskan kata hati ke dalam bait Ooh… Tercipta lirik Berkisah… Nada riang dan nada sendu Curahan desah kalbu di kala itu Pada gitar kupetikkan nada indah Ooh… Damai di hati dan kutuangkan bisik hati dalam kata Ooh… Cerita jiwa Hamparan… Kisah hidup dan perih rasa… Alunan… Getar jiwa ke ujung jari Dalam musik kutuangkan sanubari Ooh… Luapan kalbu Semua kata hati tertuangkan dalam lirik Ooh… Alunan kisah Dengarlah… Ketuk nada dalam birama Inilah… Getar jiwa bagi musisi…” -Musisi/God Bless-
Selow gaes, jangan langsung mendidih darah kalian membaca lirik di atas ya. Tau kan lirik lagu apa dan siapa penyanyinya? Yuk mainkan, Putar dengan volume yang kencang dan bayangkan berada di depan muka ‘anggota dewan yang terhormat’. Teriakan dengan lantang “Inilah… Getar jiwa bagi musisi…”!!!
Jagat musisi telah dihebohkan oleh RUU Permusikan yang masuk dalam Prolegnas DPR RI tahun 2019. Sudah pada tau kan reaksi sebagian besar kalangan musisi. TOLAK! Melalui petisi di Change.org yang beredar, dengan tegas para musisi menolak RUU Permusikan. Gak main-main, kali ini DPR menggelitik para musisi. Hingga para musisi bersatu padu membentuk Koalisi Nasional Tolak (KNTL) RUU Permusikan.
Mengikuti isu ini di berbagai media yang bersliweran, saya mencoba mencari ‘ghiroh’ RUU Permusikan. Tujuan utamanya yaitu untuk menemukan jawaban, mengapa RUU ini ditolak oleh sebagian besar kalangan musisi? Gak main-main, dalam www.change.org/p/saya-tolakruupermusikan-dpr-ri, Danilla Riyadi yang mengatasnamakan perwakilan dari teman-teman Koalisi Nasional Tolak Rancangan Undang-Undang Permusikan, menyampaikan dalam petisinya:
“RUU Permusikan (antara lain diusulkan oleh Anang Hermansyah dan tim Komisi X DPR) setidaknya terdapat 19 pasal bermasalah di dalamnya (4, 5, 7, 10, 11, 12, 13, 15, 18, 19, 20, 21, 31, 32, 33, 42, 49, 50, 51). Bahkan terdapat banyak pasal yang tumpang tindih dengan beberapa Undang-Undang lainnya; seperti Undang-Undang Hak Cipta, Undang-Undang Serah-Simpan Karya Cetak dan Karya Rekam, dan Undang-Undang ITE. Parahnya, RUU ini bertolak belakang dengan Undang-Undang Pemajuan Kebudayaan, serta bertentangan dengan Pasal 28 UUD 1945 yang menjunjung tinggi kebebasan berekspresi dalam negara demokrasi. Sungguh Rancangan Undang-Undang yang sangat bermasalah bagi dunia musik tanah air”
Ada 19 Pasal yang bermasalah dalam RUU Permusikan kata Danilla dalam petisinya. Jika benar demikian, wajar menurut saya jika Danilla dan teman-teman musisi menolak RUU Permusikan. Hhhmmm, membayangkan penampilan Danilla dengan sebatang rokok di atas panggung sungguh ngelangutkan jiwa (good job Danilla…).
Setelah membaca 19 Pasal bermasalah dalam RUU Permusikan, saya tidak menemukan ghiroh dari RUU Permusikan. Benar yang dikatakan Danilla bahwa RUU ini gak ada urgensinya sama sekali. Memberikan perlindungan bagi musisi tapi dengan mematikan kreativitas para musisi, ada logika yang terbalik di sini dalam merancang RUU Permusikan. Ya, mungkin sang perancang RUU Permusikan gak pernah denger lagu “Musisi” milik God Bless atau mungkin pernah dengar tapi nggak paham. Upsss.
Dari 19 Pasal yang bermasalah tersebut, saya tidak akan membahasnya satu persatu secara mendetail ya. Di samping akan terlalu panjang dan membosankan dalam membaca artikel ini, ntar hasilnya lebih mirip karya ilmiah skripsi atau tesis jadinya.
Ok begini gaes. Pada dasarnya, dalam melakukan kajian terhadap suatu undang-undang ataupun yang masih berupa rancangan, diperlukan pisau analisis. Pisau analisis ini bukan semacam alat untuk motong atau nusuk perancang RUU Permusikan ya, melainkan alat uji untuk menilai suatu norma. Apakah norma tersebut telah mencerminkan keadilan dan kepastian hukum, pisau analisis inilah yang digunakan.
Siap-siap pembahasan mulai berat nih gaes. Kalau berat diangkat ramai-ramai ya.
Dalam setiap perumusan RUU, pada dasarnya harus memenuhi unsur Filosofis, Sosiologis, dan Yuridis. Ini bukan tanpa dasar, UU No 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan mengatur bahwa setiap Rancangan Undang-undang yang berasal dari DPR, Presiden, atau DPD harus disertai Naskah Akademik (Pasal 43 Ayat (3)).
Nah, dalam naskah akademik inilah unsur Filosofis, Sosiologis, dan Yuridis harus terpenuhi. Karena itu, si penyusun Rancangan Undang-undang jelas harus paham betul secara akademis terkait ketiga unsur tersebut.
Sebenarnya apa sih unsur Filosofis, Sosiologis, dan Yuridis itu? Sedikit wacana akademis nih gaes, biar keliatan sedikit ilmiah. Hehehe…
Unsur Filosofis merupakan pertimbangan yang menggambarkan pandangan hidup, kesadaran, dan cita hukum yang meliputi suasana kebatinan serta falsafah bangsa Indonesia yang bersumber dari Pancasila dan Pembukaan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Unsur Sosiologi merupakan pertimbangan yang menggambarkan kebutuhan masyarakat dalam berbagai aspek. Selanjutnya unsur Yuridis merupakan pertimbangan untuk mengatasi permasalahan hukum atau mengisi kekosongan hukum dengan mempertimbangkan aturan yang telah ada, yang akan diubah, atau yang akan dicabut guna menjamin kepastian hukum dan rasa keadilan masyarakat.
Bisa dilihat kan gaes, betapa susahnya menyusun suatu rancangan undang-undang. Wajar dong kalau kemudian anggota anggota dewan itu minta naik gaji. Ya karena mereka itu orang-orang pinter yang paham betul tentang ketiga unsur tersebut. Hehehe… jadi ngelantur ya… ok balik ke laptop.
Kalau RUU Permusikan itu ditolak oleh sebagian besar musisi, menurut saya itu adalah hal yang wajar. Mereka yang menyusun RUU Permusikan pasti mempunyai tafsir yang berbeda dengan para musisi terhadap ketiga unsur tersebut. Ya, kalau gak berbeda tafsir tentu tidak ada petisi dari Danilla. Sekali lagi, good job Nadilla eh Danilla.Sekarang kita simak beberapa pasal-pasal dalam RUU Permusikan yang dipersoalkan oleh para musisi.
Pasal 5 RUU pada intinya mengatur “Musisi dilarang melakukan proses kreasi yang mendorong khalayak umum untuk melakukan kekerasan dan perjudian serta penyalahgunaan narkotika, memuat konten pornografi, kekerasan seksual, dan eksploitasi anak, memprovokasi terjadinya pertentangan antara kelompok, suku, ras dan golongan, dan menistakan, melecehkan dan/atau menodai nilai agama, mendorong khalayak umum melakukan tindakan melawan hukum, membawa pengaruh budaya negatif, dan/atau melecehkan harkat dan martabat manusia”.
Membaca Pasal yang bersifat karet ini membuat saya geleng-geleng kepala, terkesan isinya bagus. Saya yakin masyarakat awam pasti setuju dengan bunyi Pasal 5 tersebut. Tapi gini gaes, ini dampaknya jelas seperti yang dikhawatirkan oleh para musisi. Ini namanya membelenggu. Pasal ini menurut saya lebih mencermikan ‘anti kritik’. Para pecinta musik Rock pasti paham betul lirik lagu-lagu Jamrud bisa masuk kategori yang mengandung konten pornografi. Padahal nyatanya lirik-lirik tersebut merupakan kritik terhadap sosial, bukan bermaksud untuk menyuarakan pornografi.
Lebih sadis dan parah lagi ‘musisi dilarang melakukan proses kreasi yang mendorong khalayak umum untuk melakukan kekerasan dan perjudian serta penyalahgunaan narkotika’. Ini saya membayangkan ketika merumuskan Pasal ini, si perancang RUU Permusikan pasti sangat ketakutan dengan para musisi Rock yang kritis-kritis dalam setiap karya-karyanya. Jadi, ketika merumuskan Pasal 5 ini, si perancang memaknai bahwa Rock itu hanya sex, drugs and rock n roll.
Kemudian, yang ini gaes ‘mendorong khalayak umum melakukan tindakan melawan hukum’. Nah kayanya pas menyusun Pasal ini, si perancang RUU Permusikan sedang mendengar lagunya Judas Priest yang berjudul ‘Breaking the Law’. Makin ikut gemblung saya nampaknya. Pasal 5 ini memang sangat menyeramkan dan benar-benar mencerminkan budaya ‘anti kritik’. Bagaimana tidak, dalam Pasal 50 RUU Permusikan diatur tentang ketentuan pidana bagi pelanggaran Pasal 5. Kayaknya bakal banyak musisi rock masuk penjara ini kalau RUU Permusikan disahkan nantinya. Serem gaes…
RUU Permusikan juga menyasar kepada pertunjukan musik. Pasal 18 Ayat (1) dan Pasal 19 RUU Permusikan mengatur:
Pasal 18 Ayat (1)
Pertunjukan musik melibatkan promotor musik dan/atau penyelenggara acara musik yang memiliki lisensi dan izin usaha pertunjukan musik sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 19
- Promotor musik atau penyelenggara acara musik yang menyelenggarakan pertunjukan musik yang menampilkan pelaku musik dari luar negeri wajib mengikutsertakan pelaku musik Indonesia sebagai pendamping.
- Pelaku musik Indonesia sebagai pendamping sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) dipilih sesuai dengan kompetensi yang dimiliki.
Membaca kedua pasal ini saya jujur bingung. Pasal ini bermaksud untuk apa? Apakah melarang agar tidak ada pertunjukan musik yang tanpa lisensi atau izin? Kalau benar demikian, kenapa gak diatur sanksinya? RUU Permusikan belum mengatur terhadap pelanggaran Pasal 18 dan 19. Terlepas dari itu, Pasal tersebut jelas akan mematikan industri kreatif pertunjukan musik. Jangan membayangkan bahwa pertunjukan musik selalu mendapatkan keuntungan besar, sehingga setiap penyelenggaraannya harus memiliki lisensi dan izin. Bagaimana pertunjukan musik di sekolah-sekolah? Pertunjukan musik Indie? Pertunjukan musik acara 17an? Pertunjukan musik sunatan masal? Pertunjukan musik untuk acara keagamaan? Pertunjukan musik kampanye politik? Apa nggak ngeri-ngeri sedap.
Kemudian Pasal 19. Ini sederhana saja bagi saya. Apakah ada pertunjukan musik yang menampilkan musisi dari luar negeri didampingi dengan yang tidak memiliki kompetensi? Ini sebenarnya mau menampilkan pertunjukan musik atau mau ujian kompetensi sih? Hakekat hukum itu bersifat memaksa, sehingga dalam materi-materinya haruslah mencerminkan keadilan dan kepastian hukum. Dua hal dalam hukum yang tidak bisa dipisahkan, seperti halnya dua sisi mata uang. Hukum tanpa keadilan adalah tidak memiliki kepastian, dan sebaliknya, hukum tanpa kepastian tidak memiliki keadilan. Merumuskannya bukanlah hal yang mudah. RUU Permusikan yang jauh dari rasa keadilan dan kepastian hukum sudah jelas tidak mengandung unsur filosofis, sosiologis dan yuridis. Oleh karenanya, wajar keberadaannya mendapat penolakan dari sebagian besar para musisi.
Kayaknya cukup dulu saya membahas RUU Permusikan ya gaes. Gelorakan terus perlawanan, bangun kekuatan melawan kebijakan yang anti kritik.
”Musisi bersatu tak bisa dikalahkan”