Ada yang menarik dari pencabutan Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) dari Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Tahun 2020. Supratman Andi Agtas menyebut alasan RUU PKS dicabut dari Prolegnas 2020 adalah karena menunggu penyelesaian Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP).
Sebenarnya, saya gak begitu mengikuti perkembangan RUU yang pencabutannya ini bikin mencak-mencak banyak pihak, terutama mereka yang merasa RUU PKS itu harus segera disahkan. Saya lebih tertarik membahas mengenai alasan Supratman Andi Agtas bisa berpendapat demikian. Mengapa RKUHP dianggap penting untuk disahkan terlebih dahulu?
Setelah saya mencoba membaca dan memahami isi dari RKUHP, terdapat beberapa hal baru dalam RKUHP yang menurut saya cukup penting sekaligus membuat argumen salah seorang presiden mahasiswa ketika diundang sama Pak Karni Ilyas dalam acaranya pada bulan September 2019 kemarin terasa menyedihkan karena ngotot RKUHP harus dibatalkan dan ditolak, bukan ditunda pembahasannya.
Oke, mari kita mulai. Salah satu hal baru dalam RKUHP yang saya maksud adalah terkait tujuan pemidanaan yang sangat memanusiakan terpidana sebagai manusia, karena pemidanaan bertujuan untuk memperbaiki pelaku tindak pidana dan tidak merendahkan martabat pelaku tindak pidana sebagai manusia.
BACA JUGA: REALITA CINTA & SANTET
Kalau dalam KUHP peninggalan Belanda yang masih berlaku saat ini, jangan harap ada pasal yang mengatur mengenai tujuan pemidanaan, bos. Ingat, KUHP yang masih berlaku saat ini usianya lebih tua sekitar 100 tahun dari pada usianya negara kita, dan orang-orang pada masa itu menganggap hukum pidana sebagai alat balas dendam terhadap pelaku tindak pidana. Jelas penyusun KUHP waktu itu gak mikirin tujuan pemidanaan, wong bagi mereka si terpidana ini tinggal dipidana mati atau dipidana penjara, habis perkara.
Hal baru lainnya adalah mengenai adanya pedoman pemidanaan yang diatur dalam Pasal 53 Ayat (2) RKUHP. Di situ dijelaskan bahwa apabila dalam menegakkan hukum dan keadilan terdapat pertentangan antara kepastian hukum dan keadilan, hakim wajib mengutamakan keadilan.
Ini cukup menarik, mengingat Mbah Gustav Radbruch, ahli hukum dari Jerman tersebut pernah berpendapat bahwa terdapat 3 (tiga) nilai dasar hukum, yaitu kepastian, keadilan dan kemanfaatan hukum, yang sampai saat ini sangat sulit untuk ditegakkan oleh para penegak hukum karena ketiga nilai tersebut sangat sulit ditegakkan secara bersama-sama.
Mengapa sulit? Salah satunya adalah karena dalam KUHP yang berlaku sekarang gak ada tuh yang namanya pedoman pemidanaan. Makanya, jangan heran kasus-kasus macam kasusnya Nenek Asyani yang dihukum 1 (satu) tahun penjara karena mencuri dua batang pohon jati itu masih marak terjadi di Indonesia.
Kenapa masih marak terjadi? Ini terkait erat dengan hal baru lainnya dalam RKUHP, yang dikenal dengan istilah permaafan hakim atau rechtelijk pardon. Hal ini diatur dalam Pasal 71 Ayat (1) RKUHP yang bunyinya sebagai berikut:
Jika seseorang melakukan Tindak Pidana yang hanya diancam dengan pidana penjara di bawah 5 (lima) tahun, sedangkan hakim berpendapat tidak perlu menjatuhkan pidana penjara setelah mempertimbangkan tujuan pemidanaan dan pedoman pemidanaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 dan Pasal 54, orang tersebut dapat dijatuhi pidana denda.
BACA JUGA: DELETE RUU KKS
Pasal tersebut mengindikasikan kalau tindak pidana yang ‘receh,’ dalam hal ini yang ancaman pidana penjaranya di bawah 5 (lima) tahun tidak harus berakhir dengan pidana penjara. Dengan adanya pasal tersebut, tujuan akhirnya ya orang gak perlu masuk penjara cuma karena kasus-kasus ‘receh’ kayak Nenek Asyani itu.
Kalau dengan KUHP yang sekarang, di mana tidak ada pasal yang mengatur tujuan pemidanaan, pedoman pemidanaan, dan permaafan hakim seperti di RKUHP, maka jangan heran kalau pada akhirnya banyak hakim yang hanya jadi corong undang-undang alias la bouche de la loi.
Cuma memang, sih, jadi hakim itu berat bebannya. Kalau memidana seseorang berdasar pasal yang ada dalam peraturan perundang-undangan, nanti dituduh cuma jadi corong undang-undang dan tidak mengutamakan keadilan. Eh, tapi kalau gak memutus berdasar ketentuan peraturan perundang-undangan, nanti jatuhnya bisa melanggar kepastian hukum plus dinyinyirin netizen. Udah gitu nanti bisa terancam dimutasi ke daerah terpencil pula. Alamak~
Nah, jadi begitulah kira-kira alasan mengapa RKUHP dianggap penting untuk segera disahkan. Bukan masalah RKUHP dianggap terlalu mementingkan terdakwa, tapi lebih karena saya melihat RKUHP dapat membuat hakim memberi putusan yang lebih adil bagi semua pihak, tidak hanya dari sisi korban atau dari sisi pelaku tindak pidana. Yang terpenting lagi adalah RKUHP dapat lebih memanusiakan terpidana.
Oh ya, tulisan ini dibuat bukan berarti karena saya menganggap RUU PKS tidak lebih penting ketimbang RKUHP, karena bagi saya RUU PKS pun sama pentingnya untuk segera disahkan karena keberpihakan RUU tersebut terhadap korban kekerasan seksual. Saya cuma ingin berbagi opini saya mengenai pentingnya RKUHP, kok (buat mbak-mbak Feminazi yang udah mau ngelempar saya pakai sepatu karena menganggap saya patriarkis, silakan duduk kembali).
Cuma begini, saya pun mengakui kalau memang ada beberapa pasal yang bermasalah dalam RKUHP. Nah, kalau soal itu, saya setuju kalau RKUHP dibahas kembali sebelum disahkan, terutama pada pasal-pasal yang bermasalah. Monggo, bola panas saya serahkan kembali kepada anggota dewan yang terhormat.