MEMAHAMI PERCOBAAN PERKOSAAN DAN PERKOSAAN

Malam itu, kami berempat makan di sebuah lesehan kaki lima yang menjajakan gudeg di bilangan Gejayan. Selayaknya teman yang lama tidak berkumpul, kami membicarakan banyak hal, mulai dari kabar masing-masing hingga perkara pekerjaan.

“Aku pernah dengar pernyataan ahli yang menurutku agak aneh tapi logis,” ucap Sigit, salah satu kawan saya yang saat ini sedang magang di salah satu kantor pengacara.

“Lha, emang gimana, tuh?” tanya si Caca penasaran. Saya dan Indah menyimak obrolan tersebut.

“Jadi, di sidang kasus perkosaan yang pernah aku hadapi, hakim waktu itu tanya sama ahli begini, ‘saudara ahli, apabila perempuan mengalami penetrasi paksa dan si laki-laki mengeluarkan sperma di dalam vagina perempuan tersebut, tapi laki-laki itu pakai kondom, apakah itu termasuk perkosaan?’” ujar Sigit.

“Terus apa jawaban ahlinya?” kejar Caca yang penasaran dengan cerita tersebut. Saya yang menyimak percakapan tersebut langsung menyahut.

“Pasti si ahli bilang itu percobaan perkosaan, kan?” tebak saya. Sigit pun langsung mengiyakan jawaban saya. Entah apa yang dipikirkan oleh Caca dan Indah waktu itu setelah mendengar jawaban saya, tetapi saya memahami alasannya.

Definisi Perkosaan

Sebenarnya, jawaban ahli tersebut bukanlah hal yang mengejutkan, mengingat Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) kita merupakan hukum pidana peninggalan Belanda dan sudah berusia sangat tua, yakni dua abad lebih. Bahkan, negara asalnya sendiri sudah meninggalkan KUHP yang masih kita gunakan hingga saat ini.

Wajar aja kalo ada adagium lex dura sed tamen scripta, hukum memang kejam, tapi ya begitulah bunyinya. Untuk memahami jawaban ahli tersebut, akan lebih mudah apabila kita terlebih dahulu memahami unsur-unsur delik pada Pasal 285 KUHP, pasal yang mengatur perkosaan itu sendiri.

Agar tidak bias, saya akan mengutip Pasal 285 KUHP ya.

Barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seorang wanita bersetubuh dengan dia di luar perkawinan, diancam karena melakukan perkosaan dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun.

Dari ketentuan pasal tersebut, maka pada dasarnya menurut hukum pidana kita, delik perkosaan hanya mungkin dilakukan terhadap perempuan. Artinya, hukum pidana kita memandang bahwa tidak mungkin laki-laki mengalami pemaksaan persetubuhan, suatu anggapan yang berusaha dibenahi oleh para pembuat undang-undang melalui Rancangan KUHP, tetapi keburu ditolak oleh sebagian elemen masyarakat.

Putusan Tanggal 5 Februari 1912

Lalu, dari mana ahli tadi dapat mengeluarkan pendapat demikian, mengingat dalam rumusan delik Pasal 285 KUHP hanya seperti itu?

Jawaban ahli tadi bukan bersumber pada interpretasi rumusan delik Pasal 285 KUHP, tetapi bersumber dari Putusan Hoge Raad (Mahkamah Agung) Belanda pada 5 Februari 1912. Putusan tersebut menjadi yurisprudensi karena hakim-hakim pada masa itu menyidangkan kasus perkosaan yang memaksa mereka harus berdebat untuk menentukan kapan suatu perkosaan dianggap selesai.

Cerita kasus yang disidangkan di Hoge Raad tersebut seperti ini: terdapat seorang perempuan yang dipaksa bersetubuh oleh seorang laki-laki. Ketika laki-laki tersebut akan mengalami ejakulasi, laki-laki tersebut mengeluarkan alat kelaminnya dari alat kelamin si korban, setelah itu laki-laki tersebut ejakulasi di luar alat kelamin korban. Korban pun melaporkan kasus perkosaan tersebut kepada kepolisian.

Kembali ke putusan tanggal 5 Februari 1912 tadi. Setelah mengalami perdebatan sedemikian rupa, pada akhirnya hakim memutuskan bahwa suatu perkosaan dianggap selesai apabila pelaku mengeluarkan sperma di dalam alat kelamin perempuan. Dengan kata lain, hakim-hakim saat itu berpendapat bahwa bisa saja si laki-laki tersebut belum sampai melakukan penetrasi kelamin tetapi sudah ejakulasi terlebih dahulu, sehingga apabila mengeluarkan sperma di luar kelamin perempuan, maka hal itu dianggap sebagai percobaan perkosaan.

Putusan Hoge Raad inilah yang dijadikan dasar bagi ahli tadi untuk menyatakan bahwa apabila pelaku perkosaan mengeluarkan sperma di dalam alat kelamin perempuan, tetapi laki-laki tersebut mengenakan kondom, maka laki-laki tadi dianggap melainkan percobaan perkosaan, karena meskipun dikeluarkan di dalam kelamin perempuan, tetapi sperma tersebut tertampung di kondom sehingga tidak ada sperma di dalam alat kelamin perempuan tersebut.

Harus Diubah

Yang jadi masalah adalah Putusan Hoge Raad tanggal 5 Februari 1912 tadi hingga saat ini masih sering dijadikan yurisprudensi oleh para penegak hukum kala mengadili kasus-kasus perkosaan. Saya tidak mengerti apakah tidak ada keberanian dari para penegak hukum untuk melawan yurisprudensi yang dapat dikatakan usang tersebut, mengingat putusan itu sudah berusia seabad lebih.

(Kepada mbak-mbak Feminazi yang cenderung misandri, dipersilakan duduk kembali)

Akan tetapi, jelas penentuan kapan perkosaan selesai tersebut harus diubah. Apabila memang penegak hukum tidak dapat mengubahnya melalui putusan yang lebih baru, maka hal tersebut dapat diubah melalui ketentuan undang-undang. Ini perkara kemauan politik dari para pembuat undang-undang saja, kok.

Hanya saja, kalau melihat dari gelagatnya, saya kok ragu ada kemauan politik dari para pembuat undang-undang, ya? Ah, semoga itu perasaan saya saja.

Mahendra Wirasakti
Mahendra Wirasakti
Pendiri Marhenisme

MEDSOS

ARTIKEL TERKAIT

Leave a reply

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

DARI KATEGORI

Klikhukum.id