Kemarin, saya sempat berdebat dengan salah seorang kawan saya. Pangkal masalahnya adalah gara-gara dia membuat story di WhatsApp dia dengan kalimat yang pada intinya menyalahkan pemerintah (termasuk pemerintah Arab Saudi) karena gara-gara COVID-19, mereka mempersulit ibadah haji, membuat masjid-masjid menjadi tertutup, dan sholat berjamaah terasa wagu karena saf menjadi berjarak. Sudah gitu, dia bawa-bawa Dajjal pula.
Sumpah, meski dulu waktu mahasiswa, nilai mata kuliah Agama Islam, Hukum Islam, dan Hukum Perdata dan Kewarisan Islam saya mengharukan, tapi saya paling gemes kalau menemui orang-orang yang seperti itu di media sosial. Biasanya saya langsung menanggapinya dan kami pun berdebat nirfaedah.
Hingga akhirnya dia melontarkan sebuah pernyataan bahwa COVID-19 tidaklah semenakutkan yang diberitakan media, dan pemberian denda terhadap orang-orang yang tidak menggunakan masker di tempat umum hanya mengakibatkan orang-orang menggunakan masker bukan karena kesadaran pribadi, tetapi lebih karena perasaan takut akan didenda oleh pemerintah.
Beruntung dia menyatakan hal itu pada orang yang tepat. Saya sih, tidak bisa menyatakan bahwa COVID-19 tidak semenakutkan yang diberitakan media, itu bukan ranah saya. Akan tetapi, setidaknya saya bisa menjelaskan sedikit alasan mengenai penerapan denda kepada masyarakat yang tidak mengenakan masker di tempat umum, seperti yang dilakukan oleh beberapa pemerintah daerah seperti yang dilakukan oleh Pemerintah DKI Jakarta.
Jadi begini, ehem, mengapa pada akhirnya beberapa pemerintah daerah menerapkan denda kepada masyarakat yang tidak mengenakan masker di tempat umum? Maka jawabannya adalah untuk memaksa masyarakat agar menggunakan masker. Dan perkara pemaksaan oleh pemerintah ini bisa dijelaskan melalui teori tujuan pidana.
BACA JUGA: TAHAPAN SIDANG PERKARA PIDANA
Secara teori, setidaknya terdapat 3 (tiga) teori pidana, yaitu teori absolut, teori relatif dan teori gabungan. Mari kita bedah satu per satu.
Teori Absolut
Teori absolut merupakan teori yang lahir dari aliran klasik hukum pidana. Aliran klasik sendiri merupakan aliran hukum pidana yang lahir pada abad pertengahan, di mana saat itu di Eropa sana, raja-raja berkuasa sangat absolut dan tidak ada batasan yang jelas mengenai perbuatan yang dapat dipidana maupun tidak.
Karena hal itulah, asas legalitas lahir pada abad pertengahan, karena bertujuan untuk melindungi kepentingan individu dari kesewenang-wenangan penguasa. Ya bayangin aja kalau misal kamu lagi tiduran di rumah, terus kamu diseret ke pengadilan gara-gara penguasa gak suka sama kamu, dan kamu dihukum mati hanya perkara suka dan tidak sukanya penguasa terhadap seseorang. Ha ya prei wae.
Teori absolut sendiri lebih bertujuan untuk membalas perbuatan pelaku pidana, sehingga saat itu, hukum yang diterapkan tidaklah bertujuan untuk memperbaiki pelaku, tetapi semata-mata membalas perbuatan pelaku. Sehingga, apabila ada orang yang membunuh orang lain, maka sebagai balasan atas perbuatannya, pelaku tersebut akan dihukum mati juga. Yah, kira-kira begitulah. Cuma ya itu teorinya, wong waktu itu kekuasaan raja sangat absolut kok, hahahaha.
Teori Relatif
Oke, lanjut ke teori kedua, yakni teori relatif. Teori yang lahir dari aliran modern hukum pidana. Berbeda dengan aliran klasik yang melahirkan asas legalitas dan bertujuan melindungi kepentingan individu dari kesewenang-wenangan penguasa, aliran modern bertujuan untuk melindungi masyarakat dari kejahatan. Le salut du people est la supreme loi. Hukum tertinggi adalah perlindungan masyarakat.
Karena itulah, teori relatif tidak lagi bertujuan untuk membalas pelaku tindak pidana, tetapi bertujuan untuk memperbaiki pelaku, serta mencegah terjadinya tindak pidana dengan peraturan-peraturan yang dibuat untuk mencegah kejahatan. Kalau kata Mbah von Feuerbach, pencegahan tersebut dinamakan psychologischezwang atau paksaan psikologis, di mana dengan disahkannya peraturan-peraturan dengan sanksi yang diancamkan terhadap pelaku yang melanggar peraturan tersebut, maka niat jahat pelaku bisa berkurang sebelum pelaku benar-benar melakukan tindakan tersebut.
Selain itu, teori relatif juga mulai memperhitungkan perkembangan ilmu pengetahuan lain, seperti ilmu psikologi, ilmu sosiologi, ilmu ekonomi dan lain-lain, sehingga apabila terdapat orang yang melakukan tindak pidana, maka dapat dicarikan sanksi yang tepat guna memperbaiki si pelaku. Ingat, teori relatif menganggap bahwa hukum tertinggi merupakan perlindungan terhadap masyarakat. Bukankah pelaku tindak pidana juga bagian dari masyarakat?
BACA JUGA: MENGENAL HUKUM PIDANA DAN PERDATA
Teori Gabungan
Terakhir, teori gabungan, yakni teori yang menggabungkan teori absolut dan teori relatif. Teori gabungan ini berangkat dari pemikiran bahwa, baik teori absolut maupun teori relatif sama-sama memiliki kelemahan, sehingga kedua teori ini digabungkan untuk menutupi kekurangan dari masing-masing teori tersebut. Dalam teori gabungan, pidana digunakan selain untuk membalas perbuatan pelaku, juga untuk memperbaiki pelaku agar pelaku tidak mengulangi tindak pidana lagi di masa mendatang.
Nah, kembali ke masalah denda terhadap orang yang tidak mengenakan masker di tempat umum yang diterapkan oleh beberapa pemerintah daerah, pada dasarnya dapat dikatakan bahwa pemerintah daerah tersebut menggunakan pendekatan pidana dengan teori relatif, karena ancaman denda tersebut lebih dimaksudkan untuk membuat seseorang berpikir dua kali apabila tidak menggunakan masker di tempat umum.
Pada akhirnya, ancaman denda tersebut diharapkan dapat membangkitkan kesadaran dalam diri masyarakat bahwa dalam situasi pandemi seperti sekarang ini, penggunaan masker di tempat umum merupakan suatu kebutuhan untuk mencegah tertularnya diri mereka dari penyakit yang belum diketahui obatnya.
“Lho, tapi kan tetap aja itu pakai paksaan? Bukan kesadaran dari diri masyarakaat itu sendiri?”
Memang benar, tetapi sesuai dengan kata Roscoe Pound yang menyatakan bahwa law is a tool of social engineering, alias hukum merupakan alat rekayasa sosial, maka jelaslah bahwa hukum pada dasarnya memang digunakan sebagai alat pemaksa.
sangat membantu., terimakasih kawan