Selama persidangan masih bergulir, di situlah drama belum usai. Putri Candrawati telah didakwa atas pembunuhan berencana terhadap Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat alias Brigadir J. Dalam kasus ini Putri Candrawati keukeuh dengan pernyataannya bahwa telah terjadi pelecehan seksual terhadap dirinya yang dilakukan oleh mendiang Brigadir J.
Pernyataan tersebut tetap dipertahankan hingga saat ini. Memang pelecehan seksual bukanlah hal yang sepele, pasti ada luka batin yang korban dan orang terdekat emban. Memang nggak main-main akibatnya, pelecehan seksual yang ‘dialami’ Putri Candrawati berujung pembunuhan yang ‘didalangi’ Ferdi Sambo sang suami.
Hal itulah yang dinyatakan oleh Ferdi Sambo dalam persidangan beberapa hari lalu, pelecehan seksual memicu kemarahan Ferdi Sambo, hingga akhirnya terjadi peristiwa pembunuhan.
Namun seiring berjalannya persidangan, kasus pembunuhan Brigadir J mengalami perkembangan dan mulai terkuak fakta-fakta baru. Banyak hal mengarahkan kalau tidak terjadi atau tidak ada pelecehan seksual oleh Brigadir J terhadap Putri Candrawati. Meskipun demikian, Putri Candrawati dan Ferdi Sambo tetap pada alasan adanya pelecehan seksual.
BACA JUGA: ATURAN PENAHANAN TERHADAP PEREMPUAN YANG MEMILIKI ANAK KECIL
Kira-kira kenapa ya? Kok, terkesan ‘ngotot’ ada peristiwa pelecehan seksual. Yang jelas bukan untuk menuntut Brigadir J ya, karena di dalam Pasal 77 KUHP telah ditegaskan “Kewenangan menuntut pidana hapus, jika terdakwa meninggal dunia.” Brigadir J jauh sebelum dinyatakan sebagai terdakwa atas tuduhan pelecehan seksual telah terlebih dahulu direnggut nyawanya.
Terus kenapa Putri Candrawathi masih bertahan dengan alibi pelecehan seksual?
Pada dasarnya penerapan sanksi pidana hanya dapat dilaksanakan bila memenuhi dua unsur, yaitu adanya unsur perbuatan (actus reus) dan unsur sikap batin pelaku (mens rea). Sederhananya, suatu perbuatan dapat dikatakan sebagai tindak pidana apabila perbuatan tersebut melanggar hukum. Selanjutnya melihat dari sikap batin pelaku, maka dapat ditentukan apakah pertanggungjawaban pidana dapat dikenakan atau tidak.
Nah, dalam kasus ini, jauh sebelum dibuktikannya dua unsur tersebut, seseorang yang ‘dituduh’ sebagai pelaku kejahatan sudah meninggal dunia. Artinya baik unsur perbuatan maupun sikap batin pelaku tidak dapat dibuktikan. Sehingga dengan sendirinya penerapan sanksi pidana tidak dapat dilakukan alias telah hapus pidananya.
Jadi jelas kan, kalau keukeuhnya Putri Candrawati dengan alibi pelecehan seksual adalah bukan untuk menuntut keadilan atau penghukuman terhadap pelaku. Lah, terus apa dong?
Bisa jadi hanya untuk alasan pembenar. Jadi alasan pembenar dalam hal ini adalah pembelaan terpaksa (noodweer), diatur dalam Pasal 49 Ayat (1) KUHP yang berbunyi “Tidak dipidana, barangsiapa melakukan tindakan pembelaan terpaksa untuk diri sendiri maupun untuk orang lain, kehormatan kesusilaan atau harta benda sendiri maupun orang lain, karena ada serangan atau ancaman serangan yang sangat dekat dan yang melawan hukum pada saat itu.”
BACA JUGA: APAKAH MOTIF DARI PEMBUNUHAN BERENCANA HARUS DIBUKTIKAN?
Frasa ‘kehormatan kesusilaan’ erat kaitannya dengan tindak pelecehan seksual. Tapi perlu dicermati, bahwa pembelaan terpaksa hanya dapat dilakukan terhadap serangan yang tiba-tiba, menimbulkan ancaman secara langsung dan serangan tersebut ditujukan untuk kehormatan kesusilaan atau harta benda.
Jika melihat kronologi kasus yang beredar, bahwa pelecehan seksual telah terjadi di Magelang, lalu Ferdy Sambo selaku suami Putri melakukan penembakan di Jakarta Selatan. Yang artinya bahwa penembakan terjadi beberapa saat setelah ‘dugaan’ pelecehan itu dilakukan. Jadi apakah penembakan terhadap Brigadir J dapat dikatakan sebagai pembelaan terpaksa? Padahal pembelaan terpaksa dilakukan pada serangan tiba-tiba. Artinya hanya dapat dilakukan ketika serangan tersebut sedang terjadi atau pada saat itu.
Dengan adanya kemungkinan ini, maka aksi pembunuhan yang dilakukan Sambo dan kawan-kawan seolah memiliki alasan yang kuat. Yaitu, untuk melakukan pembelaan terhadap martabat keluarganya. Ya, adapun kebenaran dari kasus ini tetap harus dibuktikan melalui proses persidangan.
Penulis tidak bermaksud condong atau menyudutkan salah satu pihak, karena berpegang pada presumption of innocence atau praduga tak bersalah dimana setiap orang harus dianggap tidak bersalah sampai adanya putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap.