Punya teman tukang utang, apalagi yang tak kunjung membayar, bisa bikin darah naik. Bayangkan: saat kita sudah capek-capek menagih utangnya, ia malah dengan enteng bilang, “Yaelah, bro! Duit satu juta aja ditagih,” atau “Itung-itungan amat, sih, sama temen sendiri!” Membayangkan hal ini saja rasanya muak—hingga ingin berteriak di dalam rimba, jiahh!
Waktu pinjem duit mohon-mohon banget, memelas, mata berkaca-kaca, kek stray cat di warung pecel lele pas minta dikasi makan, eh giliran di tagih bilang gini “ya elah bro, itungan amat si lu, cuma sejuta juga!” Salah satu bentuk manusia redflag garis keras ya kayak gini! rasanya tu gemes banget dan pengen lari kehutan dan ngajak berantem gorilla.
Dalam konteks ini, utang adalah kewajiban yang wajib dibayar, bukan permintaan sumbangan, jadi pantas saja jika kita menagihnya! Lagipula, hitung-hitungan dalam relasi utang-piutang memang diperlukan, terlepas teman atau bukan, supaya kebaikan kita tidak dieksploitasi.
Namanya juga utang kan wajib banget ya di bayar, lu pikir sumbangan huh? wajarkan kalau nagih, lagi pula dalam hubungan hutang piutang emang di perlukan terlepas temen apa bukan, jangan sampai kebaikan kita tu di eksploitasi
Utang yang tidak dibayar merugikan kreditur, yaitu si pemberi pinjaman. Ia bukan hanya kehilangan uang, tetapi juga terhambat dalam memenuhi kebutuhannya sendiri. Orang bisa gagal membeli lauk pauk, membayar tagihan listrik, air, dan kebutuhan lainnya karena uang yang seharusnya sudah kembali malah terjebak di tangan orang lain. Sering kali, kreditur ini bukan jauh lebih kaya daripada teman yang ia pinjami, bahkan bisa sama-sama pas-pasan. Apalagi angka kelas menengah di Indonesia menurun. Berdasarkan data BPS, dari tahun 2019 hingga 2024 terjadi penurunan kelas menengah hingga 9,48 juta orang. Faktornya beragam: mulai dari dampak Covid-19 hingga kenaikan harga kebutuhan primer yang tidak diimbangi dengan kebijakan penyesuaian upah yang memadai.
BACA JUGA: BAGAIMANA UPAYA HUKUMNYA JIKA TEMAN GA MAU BAYAR HUTANG?
Bahaya Budaya Menyepelekan Utang
Tidak membayar utang dengan alasan “Cuma segitu aja” atau “Masa itung-itungan sama temen” memberi pembenaran bagi debitur (si peminjam) atas sikap abainya. Siklusnya terus berulang: kreditur memberikan utang kepada debitur, debitur mempergunakan uangnya lalu menyangkal kewajibannya untuk membayar, kreditur merugi dan menderita. Ini memberikan contoh yang buruk—perjanjian dianggap tidak sakral dan jumlah uang yang dipinjam disepelekan, padahal itu tetap bernilai (bisa digunakan untuk modal usaha misalnya, asalkan bukan usaha ngibulin aja pake atribut kampanye, hehe).
Orang tidak boleh bertindak semaunya sendiri. UUD 1945, sebagai landasan hukum tertulis tertinggi, mengatur di Pasal 1 ayat (3) bahwa negara Indonesia adalah negara hukum. Ini berarti semua kegiatan, termasuk utang-piutang, diatur oleh hukum. Utang-piutang masuk dalam hukum perdata atau privat yang mengatur masalah antarindividu.
Dalam hukum perdata, terdapat prinsip pacta sunt servanda, yang artinya “perjanjian mengikat pihak-pihak yang ada di dalamnya.” Dalam kasus ini, seorang pemberi utang wajib menyerahkan uangnya dengan hak untuk menerimanya kembali sesuai kesepakatan.
Sebaliknya, peminjam memiliki hak untuk menerima uang dan kewajiban untuk mengembalikannya dalam jumlah dan waktu yang disepakati. Tentu ada konsekuensi apabila seseorang yang gemar berutang tidak membayar kewajibannya.
BACA JUGA: BISA GA SIH, BAYAR UTANG PAKE KRIPTO?
Efek Gagal Membayar Utang Menurut Hukum Perdata
Konsekuensi dari mengelak ketika ditagih adalah wanprestasi. Menurut Pasal 1238 KUHPerdata, wanprestasi adalah keadaan di mana debitur telah lalai membayar utangnya, yang bisa dibuktikan dengan surat perintah, akta sejenis, atau kesepakatan waktu dalam perjanjian. Jika pengutang tidak membayar setelah diberi peringatan melalui somasi, ia wajib membayar biaya, rugi, dan bunga, sebagaimana diatur dalam Pasal 1243 KUHPerdata.
Pertama, biaya adalah seluruh ongkos yang dikeluarkan kreditur untuk menagih utang. Misalnya, kamu butuh biaya transportasi pulang-pergi sebesar Rp50.000 untuk menagih temanmu dan biaya jasa pengacara senilai Rp 5.000.000 untuk mengurusi kasus ini utamanya membuat somasi dan mendapatkan pendampingan hukum.
Kedua, rugi adalah peluang keuntungan yang hilang akibat tertundanya pembayaran. Misalnya, jika kamu menerima pembayaran utang Rp 1 juta pada tanggal 8 Agustus 2024, uang itu bisa dijadikan modal bisnis yang memberi keuntungan Rp250.000. Karena utang tidak dilunasi, kamu bisa mengajukan kerugian tambahan sebesar Rp250.000.
Ketiga, bunga adalah kompensasi tambahan. Misalnya, sesuai isi perjanjian, bunga-nya sebesar 3% apabila debitur gagal membayar hutang, berarti temanmu harus membayar tambahan Rp30.000 (3% x 1.000.000).
Jadi Total: Rp 6.330.000 (sudah termasuk hutang pokok).
Cara Terakhir Menghadapi Si Tukang Ngutang
Sebagaimana dijelaskan di atas, kamu perlu mengirim somasi kepada debitur agar ia membayar utangnya dengan jumlah dan waktu yang ditentukan. Ada prosesnya, nggak instan kecuali nepotisme anak Mulyono, eh becanda. Jika somasi diabaikan, kamu bisa mengajukan gugatan perdata ke pengadilan. Pastinya sebelum sidang, kamu akan terlebih dahulu diajak mediasi—karena tahapan litigasi itu berat secara waktu, biaya, dan tenaga. Cara non-litigasi diprioritaskan.