Mas Dedi yang baik, piye kabarmu? Kuharap mas Dedi sehat selalu, mengingat sekarang wabah virus corona alias Covid-19 udah sampai di Jogja. Terlebih lagi di daerah Ngaglik. Sampai tulisan ini dibuat, data terakhir menunjukkan kalo ada 24 Orang Dalam Pemantauan (ODP) dan 5 orang Pasien Dalam Pengawasan (PDP), dan 2 orang yang positif corona di kecamatanmu. Sebagai juniormu, aku sangat mengkhawatirkan kesehatan mas Dedi. Ya piye? Dokter yang selalu jaga kesehatan aja berguguran gegara virus corona, apa kabar mas Dedi yang olahraga aja jarang?
Kemarin aku gak sengaja lihat iklan rokok di internet. Gara-gara itu, aku jadi ingat kebiasaan mas Dedi di kantor. Itu tu, kebiasaan mas Dedi yang suka ngembat rokok siapa pun yang ada di kantor. Aku paham betul kalo udah ada hubungannya sama rokok, mas Dedi menerapkan prinsip ‘selama bisa minta, ngapain beli?’
Pokoknya asal ada bungkus rokok tergeletak di meja, jangan harap jumlah rokok di dalamnya utuh. Pasti mas Dedi siap mengganyangnya. Beruntungnya, yang lain uda paham sama kebiasaan mas Dedi. Ya meski mungkin mereka rada dongkol juga, sih. Mungkin, lho.
Nah, melalui tulisan ini, sebagai juniormu yang berasal dari almamater yang sama, aku merasa perlu memberi nasihat agar mas Dedi bisa menghentikan kebiasaan itu. Ya minimal mengurangi, deh. Mumpung sekarang Rumah Hukum lagi menerapkan kerja dari rumah alias working from home atawa WFH, ini jadi peluang emas buat mas Dedi agar bisa mengubah kebiasaan ngembat rokok temen.
BACA JUGA: HERBAL ATAU ELEKTRIK, TETAPLAH BIJAK JADI PEROKOK
Aku yakin betul istri mas Dedi gak ngerokok, jadi gak ada lagi rokok orang yang bisa mas Dedi sikat selama di rumah, kecuali mas Dedi beli sendiri.
Begini, mas. Aku yakin mas Dedi pasti tau kalau menurut UU Nomor 11 Tahun 1995 tentang Cukai dan udah diubah dengan UU Nomor 39 Tahun 2007, rokok itu termasuk yang dikenai cukai. Lebih tepatnya cukai hasil tembakau. Salah satu karakteristik barang yang dikenai cukai itu konsumsinya perlu diawasi.
Makanya, salah satu upaya pemerintah dalam mengendalikan produk hasil tembakau ya dengan menaikkan tarif cukai hasil tembakau di awal tahun ini. Strategi itu berhasil, karena negara dikabarkan menerima Rp1,2 triliun di bulan Januari 2020 cuma dari cukai rokok doang. Bayangin, mas. Uang segitu bisa buat mandi.
Kenapa aku kudu jelasin panjang lebar soal cukai rokok yang berpengaruh sama pendapatan negara? Jawabannya jelas, pendapatan negara melalui cukai rokok itu terancam berkurang kalo ada banyak orang yang punya prinsip gemblung kayak mas Dedi. Apalagi negara lagi butuh banyak uang untuk menghadapi pageblug corona dan dampak-dampak setelahnya. Untung pemerintah belum menerapkan lockdown, mas. Kalo diterapkan, ya keuangan negara makin tekor karena harus mikirin kebutuhan makan rakyatnya juga.
BACA JUGA: PEROKOK BIJAK, PASTI TAU TEMPAT
Coba deh mas Dedi ambil kalkulator, lalu bayangin kalo misal pemerintah memutuskan lockdown di Jakarta aja, misalnya. Taruhlah penduduk Jakarta ada 10 juta jiwa, untuk sekali makan pemerintah menganggarkan Rp20 ribu untuk satu orang, dan pemerintah ngasih jatah makan dua kali sehari. Uda berapa duit masss?
Dengan skema begitu, dalam sehari pemerintah bisa ngabisin uang sebesar Rp400 miliar untuk ngasih makan 10 juta rakyatnya. Itu baru sehari, lho. Coba deh kalau sebulan berapa? Kalo setahun? Aku yakin kalkulator mas Dedi bisa rusak buat ngehitung itu semua. Oh ya, mas Dedi punya kalkulator, kan?
Itu alasan pertama. Alasan keduanya? Mas Dedi ini kan selain sebagai lawyer handal di Jogja, juga merupakan salah satu penulis di website kesayangan kita ini, bahkan mas Dedi udah diangkat murid oleh penulis keren kayak mas Puthut EA. Karena itu, pemikiran, tulisan dan lambe mas Dedi yang crigis itu diperlukan untuk kepentingan penegakan hukum di Indonesia, khususnya di Jogja. Aku jadi saksi hidup betapa mas Dedi dengan taktisnya memberi penjelasan hukum ke tiap klien yang datang ke Rumah Hukum. Itu keren mas.
Makanya itu, dengan status mas Dedi sebagai lawyer harapan bangsa itulah, aku merasa mas Dedi perlu menghentikan kebiasaan buruk mas Dedi itu. Kan gak lucu juga kalo mas Dedi lagi konseling klien, eh mas Dedi dengan tenangnya ngembat rokok si klien tanpa izin. Nanti kliennya bisa mikir yang bukan-bukan soal mas Dedi lho.
BACA JUGA: EKSEPSI ATAS SURAT DIK MAHENDRA WIRASAKTI
Untuk alasan terakhir, aku jadi ingat kalo mas Muhsin, pemimpin redaksi kita yang sampai detik ini jodohnya belum kelihatan hilalnya itu, pernah nulis soal barang-barang yang rawan penggelapan. Sebetulnya rokok bisa termasuk barang yang rawan dicuri dan digelapkan. Cuma mas Dedi pasti ingat kan, dulu di semester 2, di mata kuliah hukum pidana, kita diajarin kalo ada jenis orang yang suka gak tahan buat mencuri sesuatu yang sebetulnya gak terlalu berharga.
Nah, masalahnya adalah jenis orang yang seperti itu masuk dalam kategori orang yang mengalami gangguan jiwa yang disebut kleptomania. Bener sih secara hukum, Pasal 44 KUHP itu merupakan alasan penghapus pidana bagi orang yang dianggap kejiwaannya gak sehat. Tapi ya masak mas Dedi mau dianggap kleptomania? Kalo aku jadi mas Dedi, aku sih ogah, mas. Ya meski aku gak tau sih, di Rumah Hukum itu rokok dianggap sebagai barang berharga atau gak. Kalo pada nganggep bukan barang berharga, dan mas Dedi suka ngeganyang rokok, lalu mas Dedi dianggap kleptomania, itu artinya. Ya, silakan simpulkan sendiri, mas. Aku gak berani, takut kualat.
Percayalah, mas. Dengan mas Dedi beli rokok sendiri, mas Dedi gak perlu jauh-jauh ke luar negeri untuk jadi TKI dan menyumbang keuangan negara. Toh dengan beli sendiri, mas Dedi jadi punya stok rokok buat dinikmati selama WFH ini. Menyitir quotes temenku yang ngerokok: ora ngudut, paru-paru ora smile.