Kita sepakat jika curah hujan tinggi dengan intensitas waktu lama, beberapa titik di Pulau Jawa akan terendam banjir. Contohnya Jakarta dan Semarang. Namun selain banjir air, belakangan ini di Pulau Jawa juga sedang dibanjiri kehadiran manusia silver atau perak.
Tingkat kreativitas masyarakat Indonesia dalam hal mencari nafkah sangatlah beragam, salah satunya seperti yang dilakukan oleh kawan-kawan manusia silver. Mereka mengguyur tubuhnya dengan cat silver dan mengibur para pengendara yang sedang menunggu traffic light. Sebagai gantinya para pengendara yang terhibur, diharapkan akan sedikit menyisihkan uang untuk mereka.
Kemunculan manusia silver di perempatan jalan pada awal pandemi untuk sekedar menyambung hidup. Namun mungkin niat itu sudah berubah, karena sekarang di sejumlah perempatan jalan, khususnya di Pulau Jawa, kehadiran mereka mulai banyak loh pren. Bisa dibilang sudah menjadi aktivitas mata pencaharian.
Lalu apakah kehadiran mereka melanggar hukum?
Jika kita ngomongin hukum normatif, mungkin aktivitas yang mereka lakukan memang bersinggungan dengan larangan. Adapun aturan hukum yang umumnya disematkan kepada mereka yaitu Peraturan Daerah tentang larangan mengemis dan gelandangan.
Misalnya seperti dalam Perda DIY No. 1 Tahun 2014 Tentang Penanganan Gelandangan dan Pengemis. Sesuai dengan kaidah hukum, secara langsung kehadiran manusia silver disamakan dengan gelandangan dan pengemis. Sejahat itukah aturan hukum kita?
Jika mengacu pada Perda DIY No.1 Tahun 2014, pengertian mengemis adalah tindakan meminta-minta yang dilakukan oleh individu dan/atau sekelompok orang dengan berbagai alasan, cara dan alat untuk mengharapkan belas kasihan dari orang lain.
BACA JUGA: KTP, KISAH RUMITNYA SEBUAH BIROKRASI
Begitulah hukum pren, jika hanya melihat dari kacamata normatif memang aktivitas manusia silver sering dipandang sebagai problem sosial serta menjadi bulan-bulanan untuk ditertibkan oleh Satpol-PP dan dibawa ke Dinas Sosial.
Perbuatan mulia memberikan uang kepada mereka yang meminta-minta di perempatan jalan, ternyata merupakan perbuatan melanggar hukum loh. Terkhusus di Yogyakarta, perbuatan tersebut melanggar Pasal 24 Ayat (5) Perda DIY No. 1 Tahun 2014 dengan ancaman hukuman pidana kurungan paling lama 10 (sepuluh) hari dan/atau denda paling banyak Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah).
Duh pren, gini banget yah hidup di negara hukum, mau beramal aja susah banget.
Berhubung yang memberikan uang kepada mereka saja didenda, tentunya perbuatan para pengemis dan gelandangan pun sudah pasti diancam oleh hukum. Nah, hukumannya pun minimal diancam dengan hukuman pidana kurungan paling lama 6 (enam) minggu dan/atau denda paling banyak Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah). Hukuman maksimalnya adalah hukuman pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun dan/atau denda paling banyak Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).
Pren, rasanya juga gak adil jika saya hanya membahas tentang larangan-larangan yang disematkan oleh negara untuk kawan-kawan kita di jalanan seperti manusia silver yang dikatakan sebagai pengemis dan gelandangan.
Sebenarnya kenapa sih, akhir-akhir ini kehadiran manusia silver membanjiri perempatan jalan di Pulau Jawa.
Jika berbicara masalah penyebab, tentu saja jawabannya tidak jauh-jauh dari kesulitan mereka bertahan hidup atau mendapatkan pekerjaan yang layak. UUD 1945 sudah jelas dan mengamanatkan melalui Pasal 27 Ayat (2)-nya.
BACA JUGA: BUMI MANUSIA ITU BERAT
“Bahwa setiap Warga Negara Indonesia berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.”
Berawal dari pekerjaan dan penghidupan yang layak sulit dicari, makanya segala cara mereka lakukan demi mendapatkan penghidupan. Namun apakah dengan menjadi manusia silver kehidupan mereka dikatakan layak? Tentu saja jawabannya tidak.
‘Tidak’ di sini dalam pengertian, karena rupiah yang didapatkan tak sebanding dengan teriknya matahari yang mereka rasakan sewaktu berada di perempatan jalan. Selain itu, mereka juga terancam terkena penyakit akibat dari cat silver yang mereka guyurkan ke badan mereka.
Dokter Siloam Hospitals Kebon Jeruk dr. Yeyen Yovita Mulyana, Sp.KK mengungkapkan, cat yang dipakai manusia silver biasanya merupakan campuran dari cat sablon. Mereka kadang menggunakan minyak tanah agar warna lebih terang atau minyak goreng jika ingin warna lebih gelap. “Pada umumnya cat mengandung bahan kimia seperti Vinyl chloride, Plastisol, formaldehida, logam berat seperti timbal, titanium, kromium, hidrokarbon dan pelarut (thinner),” pernyataan ini saya lansir dari jabar.idmtimes.com.
Nah, akibat dari kandungan kimia cat yang diguyurkan ke badan manusia silver, mereka bisa terkena kanker kulit.
Bisa dibayangkan sendirikan pren, gimana perjuangan berat yang mereka lakukan. Pertama mereka mencari uang untuk menghidupi keluarga, ditambah kucing-kucingan dengan Satpol-PP, udah gitu penyakit kanker kulit mengintai kesehatannya.
Pelik juga ya problem negara kita, persoalan banjir belum surut, masalah pemenuhan hak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi warganya pun gak kunjung selesai.