Hari Anak Nasional diperingati setiap tanggal 23 Juli. Tanggal tersebut ditetapkan berdasarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 44 Tahun 1984 yang dikeluarkan oleh Presiden Soeharto. Penetapan tersebut merupakan bentuk Perhatian negara terhadap pentingnya anak sebagai generasi penerus bangsa Indonesia.
Dalam Anime Naruto Shipuden ketika Nara Shikamaru bermain Shogi (permainan catur Jepang) dengan Asuma Sarutobi, Asuma Sarutobi bertanya kepada Nara Shikamaru, ketika terjadi perang di Konoha, raja manakah yang harus dilindungi? Nara Shikamaru menjawab, raja yang harus dilindungi ketika terjadi perang di Konoha adalah Hokage yang merupakan posisi tertinggi di Konoha.
Asuma Sarutobi pun menyampaikan bahwa jawaban Nara Shikamaru salah, yang dimaksud raja bukanlah Hokage. Nara Shikamaru pun diminta untuk mencari jawabannya, siapakah yang dimaksud Raja, akan tetapi jawaban tersebut baru didapat setelah kematian Asuma Sarutobi melawan anggota Akatsuki bernama Hidan.
Dari kematian Asuma Sarutobi, akhirnya Nara Shikamaru mendapat jawaban bahwa raja yang harus dilindungi adalah generasi-generasi penerus di Konoha yaitu anak-anak, karena anak-anaklah yang kelak akan membangun Konoha.
BACA JUGA: EKSPLOITASI ANAK JAMAN NOW
Anak merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dalam keberlangsungan sebuah bangsa dan negara, oleh karena itu Indonesia sebagai negara sangat menghargai hak-hak anak. Prinsip perlindungan hukum terhadap hak anak haruslah sesuai dengan Konvensi Hak-Hak Anak (Convention on the Rights of the Child), oleh karena itu Pemerintah Republik Indonesia telah meratifikasi konvensi tersebut melalui Keputusan Presiden No. 36 Tahun 1990 tentang pengesahan Convention on the Rights of the Child.
Pemerintah juga membuat berbagai regulasi tentang anak, di antaranya adalah UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, yang kemudian diubah dengan UU No. 35 Tahun 2014 dan UU No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. Penyusunan UU Sistem Peradilan Pidana Anak bertujuan untuk menggantikan UU No. 3 Tahun 1997 tentang pengadilan anak.
UU Sistem Peradilan Pidana Anak ditetapkan dengan tujuan untuk menjamin perlindungan kepentingan terbaik untuk anak yang berhadapan dengan hukum. Usia anak yang dimaksud, terdapat dalam UU Sistem Peradilan Pidana Anak adalah “anak di bawah umur” yaitu anak yang telah berumur 12 tahun tetapi belum berumur 18 tahun.
Pada Pasal 1 Ayat 2 UU Sistem Peradilan Pidana Anak, menjelaskan bahwa anak yang berhadapan dengan hukum (ABH) adalah anak yang berkonflik dengan hukum, anak yang menjadi korban tindak pidana, dan anak yang menjadi saksi tindak pidana.
UU Sistem Peradilan Pidana Anak membedakan anak yang terlibat dalam suatu tindak pidana dalam tiga kategori:
a. anak yang menjadi pelaku tindak pidana (Pasal 1 angka 3 UU Sistem Peradilan Pidana Anak);
b. anak yang menjadi korban tindak pidana (anak korban) (Pasal 1 angka 4 UU Sistem Peradilan Pidana Anak); dan
c. anak yang menjadi saksi tindak pidana (anak saksi) (Pasal 1 angka 5 UU Sistem Peradilan Pidana Anak).
BACA JUGA: ANAK INDONESIA DILARANG BERMIMPI
Setiap anak yang berkonflik dengan hukum, ntah posisinya sebagai pelaku, korban atau saksi harus mendapatkan perlindungan hukum. Salah satu wujud perlindungan hukum yang wajib dilakukan adalah merahasiakan identitas anak yang berhadapan dengan hukum.
Yapz, untuk kali ini pemerintah cukup visioner. Karena tau aja, di era 4.0 itu apa-apa gampang viral. Kalo uda viral, bermacam komen berseliweran. Komentar nyinyir para netizen benar-benar bisa menghancurkan masa depan anak yang berhadapan dengan hukum.
Setiap anak yang berhadapan dengan hukum memiliki identitas yang harus dilindungi oleh negara. Identitasnya wajib dirahasiakan dalam pemberitaan di media cetak maupun di media elektronik. Coba aja baca ketentuan Pasal 19 Ayat 1 UU Sistem Peradilan Pidana Anak.
Identitas anak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 Ayat 2 UU Sistem Peradilan Pidana Anak meliputi, nama anak, nama anak korban, nama anak saksi, nama orang tua, alamat, wajah, dan hal lain yang dapat mengungkapkan jati diri anak, anak korban, dan/atau anak saksi.
Berdasarkan pada Pasal 19 Ayat 1 UU Sistem Peradilan Pidana Anak, ada sanksi pidana bagi orang yang mempublikasikan identitas anak yang berhadapan dengan hukum. Sanksi pidananya diatur dalam Pasal 97 UU Sistem Peradilan Pidana Anak. Gak main-main, sanksinya adalah pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dengan denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
BACA JUGA: CURKUM #69 USIA ANAK DALAM HUKUM PIDANA
Sanksi pidana diberikan kepada setiap orang yang membocorkan identitas anak, baik anak pelaku, anak korban maupun anak saksi. Merahasiakan identitas anak memang perlu diatur karena ternyata banyak banget orang, media cetak, media elektroknik, suka menyebarkan identitas anak yang sedang terlibat masalah hukum.
Saya sendiri pernah beberapa kali menegur teman aparat penegak hukum ngeshare dan mempublikasikan identitas anak yang sedang berhadapan dengan hukum. Ntah, sekedar iseng atau memang udah gemes akut, banyak orang yang dikit-dikit share info terkait identitas anak yang berhadapan dengan hukum. Huhuhu, mereka gak tau kalau sanksi pidana sedang mengintai.
Jadi intinya kita harus lebih bijak dalam menyikapi informasi, apalagi berkaitan dengan kasus anak, akibatnya gak main-main. Rugi banget kalau masuk penjara cuma gara-gara ngeshare berita, apalagi kalau harus bayar denda sampai lima ratus juta. Ahh, mending uangnya untuk bangun rumah atau untuk beli hewan kurban.