Walaupun masih tergolong tabu, ketika di Indonesia orang sebelum menikah ngomongin atau ngebahas soal perjanjian ini, namun sebagai ilmu pengetahuan, bagi saya penting juga dipelajari tentang sepenting apa sih, buat perjanjian Perkawinan itu.
Afdholnya yang nulis soal perjanjian perkawinan adalah orang yang sudah melangsung perkawinan yah, pren. Bukan jomblo seperti saya.
Tapi nggak papalah ya, selagi bermanfaat ilmu itu bisa datang dari siapa saja. Ngebahas soal perjanjian perkawinan, memang faktanya masih tergolong jarang dipraktekkan bahkan tabu di negara kita ini. Namun berbeda dengan peradaban dunia barat.
Membahas perjanjian perkawinan dan menerapkannya dalam suatu perkawinan sudah seharusnya menjadi tradisi yang dilakukan, guna menjaga hak dan kewajiban pasangan yang akan melangsungkan perkawinan.
Secara maknanya, perjanjian perkawinan adalah suatu perikatan yang dibuat calon suami dan calon istri, pada waktu sebelum kawin dan/atau bisa juga dilakukan setelah melangsungkan perkawinan, bisanya mengatur tentang status harta mereka.
BACA JUGA: CURKUM #171 KALAU UDAH NIKAH, MASIH BISA BIKIN PERJANJIAN NIKAH GAK SIH?
Perjanjian Perkawinan itu sah loh, pren. Kamu bisa temukan pada Pasal 29 Ayat (1) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, yang pada pokoknya menjelaskan tentang sebelum atau saat perkawinan berlangsung, pasangan bisa membuat suatu perjanjian tertulis yang disetujui dan disahkan petugas pencatat perkawinan, dengan akibat hukumnya yang mengikat pada pihak yang bersangkutan termasuk pihak ketiga.
Tujuan Membuat Perjanjian Perkawinan
Selanjutnya mari kita cari tahu, dalam praktek pembuatan perjanjian perkawinan. Sebenarnya apa sih, tujuan yang diharapkan dari pasangan. Dalam penelusuran saya, tujuan yang mereka lakukan seperti berikut.
- Melindungi hak dan kewajiban antara suami dan istri, salah satunya dalam hal parenting atau sistem mengasuh anak ke depan mau dikonsep kekmana oleh mereka.
- Untuk memisahkan harta bawaan yang telah diperoleh suami dan istri sebelum melangsungkan perkawinan dan biasanya mengatur pula tentang konsep pembagian harta ke depan ketika diperoleh dalam masa perkawinan atau yang lazim disebut harta bersama.
- Untuk menghindari adanya utang dan tanggung jawab terhadap utang, baik yang sudah terjadi atau setelah perkawinan.
- Biasanya mengatur para pihak supaya bisa saling menjaga usaha atau pekerjaannya masing-masing, supaya tetap profesional dalam menjalankan tugas mencari nafkah.
Setelah kita mengetahui tentang beberapa tujuan membuat perjanjian perkawinan sebagaimana sudah saya jelaskan di atas, selanjutnya akan dibahas tentang bagaimana cara membuatnya.
Cara Membuat Perjanjian Perkawinan
Fyi ya, pren. Semenjak adanya putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-XIII/2015, untuk praktek perjanjian kawin tetap sah ketika dibuat setelah masa perkawinan berjalan. Jadi putusan MK tersebut memperluas tentang yang tadinya perjanjian perkawinan dianggap sah ketika dibuat pada sebelum perkawinan atau pada saat perkawinan.
Berkat putusan MK tersebut, ketika membuat perjanjian perkawinan setelah masa perkawinan berlangsung tetap dianggap sah sesuai aturan hukum.
Adapun cara membuatnya adalah selayaknya membuat perjanjian pada umumnya. Kalian bisa datang ke notaris, supaya akta perjanjian itu disahkan dan menjadi akta otentik. Selanjutnya supaya kekuatan hukumnya lebih kuat, perjanjian perkawinan tersebut disahkan Kantor Urusan Agama bagi pasangan beragama Islam dan Dinas Pencatatan Sipil bagi Non Islam.
Hal-Hal Yang Dilarang Dalam Perjanjian Perkawinan
Selanjutnya, dalam praktek hukum keperdataan ternyata ada singgungan hukum terhadap hal-hal yang dilarang dalam membuat perjanjian perkawinan. Sebagaimana Pasal 139 sampai dengan Pasal 143 KUHPerdata, mengatur hal yang dilarang dalam perjanjian perkawinan.
- Perjanjian tersebut isinya dilarang bertentangan dengan norma kesusilaan, ketertiban umum dan ketentuan hukum lainnya yang berlaku.
- Isi perjanjian tersebut dilarang mengurangi hak suami dan istri sebagaimana mestinya.
- Isi perjanjian tersebut dilarang mengatur tentang warisan.
- Dalam pengaturan soal utang, isi perjanjian tersebut dilarang memberatkan salah satu pihak.
Konklusinya, penting dan tidaknya suatu perjanjian perkawinan kembali lagi saya serahkan kepada mereka yang akan atau sudah melangsungkan perkawinan. Jika secara historical dalam menjalani hubungan rasanya perlu dibuat, maka menjadi suatu keharusan.
Namun, ada kehendak lain yang tidak perlu adanya perjanjian perkawinan, secara aturan hukum pun tidak jadi masalah.