APA SIH PENTINGNYA RUU PERLINDUNGAN TOKOH AGAMA DAN SIMBOL KEAGAMAAN?

Kamis malam, 14 Januari 2021, Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menyepakati 33 Rancangan Undang-Undang (RUU) masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Tahun 2021. Dari daftar RUU yang terdapat dalam Prolegnas Tahun 2021 tersebut, ada satu RUU yang menarik bagi saya, yaitu RUU tentang Perlindungan Tokoh Agama dan Simbol Keagamaan.

Sekedar kilas balik, RUU ini merupakan salah satu janji politik dari Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dalam Pemilihan Umum 2019 kemarin. Sebelumnya, RUU tersebut diberi judul RUU tentang Perlindungan Ulama, Tokoh Agama dan Simbol Agama-Agama, sebelum akhirnya diubah secara redaksional.

Saya sih, tidak tahu tujuan pengubahan redaksional itu apaan. Cuma kalau boleh saya menebak-nebak, tujuannya ya biar RUU tersebut tidak dianggap ‘hanya’ diajukan oleh mereka yang beragama Islam. Ya meski kalau dilihat dari pengusulnya, jelas kalau yang mengusulkan itu partai yang katanya mewakili kepentingan umat beragama Islam.

Oke, lanjut. Sejujurnya saya heran, apa yang mendasari Pemerintah bersama DPR memasukkan RUU tentang Perlindungan Tokoh Agama dan Simbol Keagamaan tersebut ke dalam Prolegnas? Keheranan saya bukan karena sinisme terhadap PKS selaku pihak pengusul RUU tersebut, tapi lebih ke urgensi pengusulan RUU, yang menurut saya saat ini belum penting-penting amat.

BACA JUGA: KEMERDEKAAN UNTUK UMAT BERAGAMA

Tapi baiklah, namanya juga RUU, baru rancangan. Masih ada peluang untuk disahkan menjadi Undang-Undang atau justru sebaliknya, ditolak pengesahannya oleh berbagai fraksi yang ada di DPR sana. Biarlah itu menjadi proses politik mereka semua bersama dengan pemerintah. Saya hanya ingin mengomentari beberapa hal terkait RUU tersebut.

Jadi, alasan pihak PKS mengajukan RUU tersebut adalah karena ulama dan tokoh agama dianggap rentan ancaman, baik fisik maupun non fisik, serta rentan kriminalisasi akibat dakwah yang mereka sampaikan. Salah satu contoh yang disebutkan pihak PKS dalam rilis resminya adalah kriminalisasi terhadap Imam Besar FPI Habib Rizieq Shihab (HRS). Menurut PKS, penegak hukum menindak HRS, meski sebenarnya HRS tidak patut untuk ditindak.

Pertama, tanpa mengurangi rasa hormat saya terhadap PKS, saya cuma ingin bilang kalau kriminalisasi itu artinya bukan begitu juga kali. Kriminalisasi itu artinya proses penggolongan suatu perbuatan menjadi tindak pidana berdasar peraturan perundang-undangan. Salah satu contohnya adalah perbuatan korupsi yang dikriminalisasi dengan UU Nomor 31 Tahun 1999 juncto UU Nomor 20 Tahun 2001. Kapan-kapan deh, saya jelasin sekalian bedanya kriminalisasi, dekriminalisasi dan overkriminalisasi.

Kedua, terkait kerentanan ulama dan tokoh agama terhadap ancaman baik fisik maupun non fisik. Saya merasa alasan ini tidak tepat karena RUU ini justru berpeluang menyebabkan over kriminalisasi alias kriminalisasi yang berlebihan terhadap suatu perbuatan, karena kriminalisasi dilakukan dalam beberapa peraturan perundang-undangan.

Begini, untuk ancaman fisik, pada dasarnya sudah diatur di Pasal 335 Ayat (1) angka 1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Malah Pasal 29 UU Nomor 11 Tahun 2008 juncto Pasal 45B UU Nomor 19 Tahun 2016 tentang UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) menyediakan ancaman pidana bagi orang-orang yang menakut-nakuti atau melakukan ancaman kekerasan melalui media elektronik.

Itu dari segi ancaman fisik. Kalau dari segi ancaman non fisik, sejujurnya saya kurang memahami maksud dari PKS terkait ancaman non fisik terhadap ulama dan tokoh agama tersebut. Cuma begini, bukankah tiap hari kita sudah terbiasa diancam? Entah itu diancam dengan ketentuan pidana dalam peraturan perundang-undangan, atau bahkan diancam dengan hukum Tuhan sesuai kepercayaan kita masing-masing. Ya, kan? Akui saja, deh.

Saya justru ingin mempertanyakan satu hal kepada PKS, apakah menjadi tokoh agama itu merupakan suatu profesi? Kalau memang tokoh agama merupakan suatu profesi, maka wajar kalau diperlukan RUU yang mengatur keberadaan tokoh agama tersebut, bukan hanya memberikan perlindungan terhadap tokoh agama.

BACA JUGA: HARUN YAHYA PASTI SENANG JIKA DIADILI DI INDONESIA

Eits, jangan salah. Ada beberapa profesi yang diatur dalam undang-undang, misalnya tentara  yang diatur dengan UU TNI, polisi yang diatur dengan UU POLRI, advokat yang diatur dengan UU Advokat atau bahkan perawat yang diatur dengan UU Keperawatan. Lha, kalau tokoh agama?

Saya pun tidak tahu, karena kalau disebut profesi, para tokoh agama kok enggan menyebut kegiatan mereka sebagai profesi. Itu baru sebatas mempertanyakan apakah tokoh agama itu profesi atau bukan. Lha, kalau ternyata disepakati tokoh agama itu profesi, pertanyaan lanjutannya adalah bagaimana mengukur standar profesi tersebut?

Sebagaimana kita ketahui bersama, pernah terdapat ribut-ribut mengenai sertifikasi ulama ketika Kementerian Agama mewacanakan hal tersebut. Bahkan Jusuf Kalla, mantan Wakil Presiden yang sempat dikaitkan dengan Charlie Chaplin itu, menyatakan bahwa ulama merupakan gelar yang diberikan oleh masyarakat kepada orang yang dianggap memahami agama Islam. Apa artinya? Jusuf Kalla menganggap ulama itu bukanlah sebuah profesi, melainkan hanya julukan saja.

Jadi begitulah kira-kira. Ketimbang selalu ngomongin kriminalisasi ulama, seharusnya pihak PKS menjelaskan terlebih dahulu, sebenarnya tokoh agama itu suatu profesi atau bukan, sih?

Mahendra Wirasakti
Mahendra Wirasakti
Pendiri Marhenisme

MEDSOS

ARTIKEL TERKAIT

Leave a reply

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

DARI KATEGORI

Klikhukum.id