Jaman Orba dulu istilah pembredelan sangat dikenal dan ditakuti pemimpin redaksi media massa se-Indonesia Pusaka. Pembredelan layaknya jurus pamungkas pembungkaman kritik pihak penguasa terhadap media yang dianggap terlalu ‘galak’ mengkritisi. Banyak kantor-kantor berita yang jadi korban pembredelan rezim, sebut saja Majalah Tempo, Harian Sinar Harapan, Harian Indonesia Raya, Harian Rakyat dan buanyak lagi. Beberapa media massa gak cuma satu kali aja ndes kena pembredelan, contohnya Majalah Tempo yang udah dibredel dua kali. Majalah yang didirikan oleh Goenawan Muhamad ini dibredel di tahun 1982 dan 1994, pembredelan terakhir sampek bikin Majalah Tempo harus hiatus selama empat tahun dan banyak karyawannya yang di-PHK.
Emang pembredelan itu apa sih Trot? Yaelah, yang jelas bukan nama makanan ndes. Kalo miturut arti kata bredel dari pem-bredel-an punya arti pelarangan dari suatu penyiaran kepada publik berbentuk penghentian penerbitan dan peredaran atau penyiaran secara paksa atau melawan hukum. Alasan pembredelan biasanya pemberitaan di media yang bersangkutan, menjurus kepada sesuatu atau banyak hal yang sangat menyinggung penguasa dan atau lapisan masyarakat tertentu (id.wikipedia.org).
Kalo jaman orba, jurus pamungkasnya itu pembredelan. Nah, di jaman yang uwuwuwu sekarang ini, gak perlu pembredelan, ada tips jitu untuk mengatasi kritik, caranya ya UU ITE ndes.
Undang-Undang yang nama panjangnya (dan memang panjang beneerrr) adalah Undang-Undang No. 19 Tahun 2016 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, khususnya soal pencemaran nama baik yang diatur di Pasal 27 Ayat (3) yang bunyinya, “Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik.” Bisa jadi senjata pemusnah massal kebebasan berpendapat bagi para penghobi kritik.
BACA JUGA: MERDEKA BELAJAR UNTUK INDONESIA
UU ITE yang harusnya jadi payung hukum untuk ngatasin kejahatan di dunia maya, malah jadi alat pembungkam kritik milik penguasa. Korban terkini adalah I Gede Ari Astina, drummer band Superman Is Dead yang lebih dikenal sebagai bapak teori konspirasi modern Jerinx. Jerinx saat ini ditangkap terkait kasus dugaan pencemaran nama baik dalam unggahannya di media sosial.
Belum lagi pembungkaman lewat cara ‘halus’ berupa teror melalui agensi penyedia buzzer bayaran, sampek dengan peretasan akun lewat ahli-ahli telekomunikasi seperti akunnya Pandu Riono. Seperti dikutip dari Tempodotco, Pandu Riono adalah seorang epidemiologi yang lantang mengkritik dan memberi saran ihwal penanganan covid-19, yang kemudian akun media sosialnya sempat diretas dan mengalami perundungan di dunia maya.
Bahkan media sekelas Tempo.co pun pernah mengalami hal yang serupa, webnya pernah diretas beberapa kali. Saat diretas, laman web Tempo.co berubah tampilannya dengan keterangan yang bertuliskan, “Stop HOAX, jangan bohongi rakyat Indonesia, kembali ke etika jurnalistik yang benar patuhi dewan pers. Jangan berdasarkan ORANG yang BAYAR saja. Deface by @xdigeeembok.”
Serangan siber yang dialami Tempo.co gak berhenti sampai disitu, beberapa waktu lalu ada hashtag #tempojahat yang rame di media sosial. Sebuah upaya teror modern yang banyak banget terjumpai di kanal-kanal media sosial, entah bermaksud menggiring opini publik atau menyerang kredibilitas lawan lewat dunia maya.
Percaya gak percaya, cara ini ampuh lo ndes. Ampuh banget lah. Joseph Goebbels sebagai bapak propaganda dunia yang terkenal lewat racikannya yang diberi nama argentum ad nausem atau lebih dikenal sebagai teknik Big Lie harusnya bangga karena ternyata warisannya mampu beradaptasi dengan kemajuan jaman. Mungkin doi sekarang di akherat sedang senyum dan manggut-manggut sambil bilang, “Gudjoob kiddo.”
Hal di atas sebenernya mengerikan lo ndes, cerminan bahwa pembungkaman kritik terjadi lewat berbagai macam cara mulai dari teror, peretasan maupun perundungan dan yang terakhir meminjam tangan hukum pidana seperti yang ada di UU ITE. Ketika publik takut untuk bersuara lantang karena diancam dengan pemidanaan, apa jadinya kekuasaan tanpa kontrol dari masyarakat?
BACA JUGA: INDONESIA MERDEKA 75 TAHUN, KAMU UDAH NGAPAIN AJA?
Kekuasaan yang anti-kritik pasti bakalan jadi absolut. Pihak berkuasa dengan memakai jalur yang legitimate berusaha menghilangkan oposisi beserta kritiknya, maka kekuasaan bakalan absolut. Lord Acton (1834-1902) pernah bilang kalo kekuasaan cenderung korup lewat slogannya, ” Power tends to corrupt and absolute power corrupts absolutely.”
Udah banyak korban UU ITE berjatuhan, dikutip dari interaktif.tempo.co merujuk pada situs registrasi Mahkamah Agung, ada 508 perkara di pengadilan yang menggunakan UU ITE sepanjang 2011-2018. Sebanyak 149 adalah kasus yang berkaitan dengan pencemaran nama baik UU ITE. Itu hanya dari 2011 sampek 2018 lo ndes, Lord Jerinx belum masuk itungan. Bayangin sampek tahun 2020 ini aja udah nambah berapa korban UU ITE-nya?
Hingar bingar kemerdekaan Indonesia ke-75 nyaris tak terdengar euforianya teredam badai pandemi global, di kesunyian perayaan kemerdekaan kali ini terselip tanya, apa iya rakyat Indonesia sudah bener-bener merdeka ndes?
Gak cuma merdeka dari kangkangan penjajahan model kolonialisme, tapi juga merdeka dalam kebebasan berpendapat. Bagaimana bisa bebas berpendapat, wong sekedar beropini pun harus dibayangi ketakutan tentang pidana penjara 4 (empat) tahun dan denda seharga motor Triumph Rockect 3 GT baru.
Gustav Radbruch bakalan sedih kalo tau tiga tujuan mulia hukum yang harusnya dijunjung tinggi dan diterapkan secara berkesinambungan, dalam realitanya justru dikesampingkan gegara opini dan urusan remeh temeh yang berujung penjara. Penguasa bertindak membungkam kritik, opini rakyat terpenjara.
Bim salabim jadi apa, prok-prok-prok ….