Ada apa dengan skena musik kita, sampe-sampe Mbaku Fanny Soegi ngetweet “Band-band an kok, serakah. Nggak keren blas.” Hal ini membuat naluri punk lawyerku muncul untuk mencari tahu, ada apa sih, sebenarnya? Ternyata jawabannya tentang masalah royalti terulang lagi. Kayaknya bener deh, problem royalti perlu dikalibrasi.
Kalibrasi dalam KBBI maknanya tanda-tanda yang menyatakan pembagian skala atau diartikan sebagai proses yang bertujuan untuk menentukan nilai terkait dengan suatu peralatan atau sistem.
Sedangkan royalti menurut UU Hak cipta yakni, imbalan atas pemanfaatan hak ekonomi suatu ciptaan atau produk hak terkait yang diterima pencipta atau pemilik hak terkait.
Jadi ketika di cocoklogi, seakan-akan lagu Asmalibrasi telah membawa pesan melalui liriknya terkalibrasi, suatu saat bakal muncul adanya proses penentuan nilai (royalti) kembali dari lagu itu. Gongnya melalui cuitan Mbaku Fanny Soegi di akun X pada 8 September 2024.
Keresahan Mbak Fanny Soegi
Cuitan ini merupakan respon, karena dugaan mantan bandnya telah melalaikan hak pencipta lagu Asmalibrasi terkait pembagian royalti yang tak transparan, kemudian dituangkanlah pada cuitan sebagai berikut.
“Bayangin saja, lagu Asma yang kalian dengar di mana-mama, penciptanya sampai minjem uang buat bayar sekolah anaknya. Nominal royalti lagu ini nggak main-main, setengah milyar lebih ada kali. Tapi justru orang-orang yang nggak punya hak mendapat paling banyak dan nggak transparan.”
Sebagai punk lawyer yang mendalami hak cipta, problem ini menurut aku pribadi merupakan hal lumrah yang seharusnya ke depan wajib dikalibrasi oleh dunia musik Indonesia.
Pasalnya memang pencipta lagu sering dilupakan. Jangankan mendapatkan royalti, namanya saja kadang tidak dikenal, tersilaukan ketenaran nama penyanyi atau band yang membawakan lagu itu. Kenapa hal ini bisa terjadi?
Secara kaidah hukum UU Hak Cipta No. 28 Tahun 2014, pencipta lagu belum tentu pemegang hak cipta. Jika terdapat perbedaan antara pencipta lagu dan pemegang hak cipta atas suatu lagu itu, maka perlu ditelusuri dari awal perjanjian tertulis yang dibuatnya.
BACA JUGA: ATURAN ROYALTI MUSIK DI TEMPAT UMUM
Contoh, kasus paling nyata yaitu lagu Asmalibrasi. Setelah aku telusuri ternyata lagu ini liriknya ditulis oleh Dimec Tirta, hal ini juga dapat dibuktikan ketika membaca deskripsi dalam akun youtubenya Soegi Bornean.
Selanjutnya tinggal kita melakukan penelusuran hukum, bagaimana pihak band Soegi Bornean selaku pemegang hak cipta melakukan proses kreatif dengan Mas Dimec Tirta, apakah ada perjanjian tertulis khusus yang mengatur royalti atau karyanya dibeli secara jual-putus.
Jika yang diberlakukan kontrak royalti, maka sudah sewajibnya Mas Dimec Tirta mendapatkan hak ekonomi yang dihasilkan dalam setiap karya tersebut. Dasar hukumnya sangat kuat, yakni Pasal 4 UU Hak Cipta, yang mensyaratkan Pencipta atau Pemegang Hak Cipta mendapatkan hak eksklusif yang terdiri atas hak moral dan hak ekonomi.
Turunan ruang lingkup hak atas ekonomi sangat banyak. Hal itu diatur dalam Pasal 8 sampai dengan Pasal 11 UU Hak Cipta. Intinya ketika karya tersebut mendapatkan nilai ekonomi, maka pencipta wajib mendapatkan bagian. Besarannya tergantung kesepakatan yang telah disepakati.
BACA JUGA: ROYALTI MUSISI DAN KURANG EKSISNYA LEMBAGA YANG MENGELOLA
Kesalahan yang Sering Dilakukan Pencipta Lagu
Kejadian tentang pencipta lagu tidak selamanya sukses, tenar dan bergelimpangan harta, cukup banyak. Contohnya yang disajikan @malakaproject.id dalam feed instagramnya memberitakan seperti berikut.
Naniel salah satu pencipta lagu Bento, hidup akrab dengan kemiskinan sampai akhir hayat. Lalu ada Syam Permana, pencipta lagu-lagu dangdut yang karyanya dipopulerkan Inul, Ine Sintia dan Imam S. Arifin, hidup sebagai pemulung.
Dalam kasus tersebut, perlu dicermati dari awal kontrak prestasi yang dibangun antara pencipta lagu dan pemegang hak cipta.
Jika yang diterapkan adalah kontrak jual-putus, hak yang timbul pencipta tidak berhak mendapatkan hak royalti atas suatu karya yang timbul di kemudian hari.
Dalam praktek industri musik kontrak jual-beli putus karya sering ditemukan, pasalnya pencipta kadang nggak mau repot soal pembagian royalti dan ingin mendapatkan nilai yang besar di awal.
Berbeda jika kontrak yang dilakukan menggunakan sistem royalti, maka pencipta tetap diwajibkan mendapatkan royalti sebagaimana diatur dalam UU Hak Cipta Pasal 58 selama pencipta itu hidup dan bahkan dapat diwariskan dalam jangka waktu 70 tahun setelah pencipta meninggal.
Kembali kepada problem yang dicuitkan Mbak Fanny Soegi, saran aku mbak, coba dibuka kembali dokumen perjanjian yang tertulis di awal dan bagaimana konsep pembagian yang telah disepakati. Jika memang belum ada, maka segeralah dibuatkan demi kepastian hukum bersama.