Cuan, cuan, cuann. Cihuyyy, akhirnya ada potensi tanbahan cuan buat para musisi. Baru-baru ini Bapak Presiden kita menandatangani Peraturan Pemerintah Republik Indonesia (PP) Nomor 56 Tahun 2021 tentang Pengelolaan Royalti Hak Cipta Lagu dan/atau Musik. PP tersebut tentu saja membuat para musisi senang dan bahagia. Tapi gimana tanggapan dari para pengusaha café, bioskop, restoran atau klub malam?
Ngapain sih, PP 56 tahun 2021 itu disahkan?
Jadi tujuan dari adanya PP ini adalah untuk memberikan pelindungan dan kepastian hukum terhadap pencipta, pemegang hak cipta dan pemilik hak terkait terhadap hak ekonomi atas lagu dan/atau musik, serta setiap orang yang melakukan penggunaan secara komersial lagu dan/atau musik, dibutuhkan pengaturan mengenai pengelolaan royalti hak cipta lagu dan/atau musik.
Hmmm, penggunaan musik/lagu secara komersiil itu gimana?
Gini-gini, penggunaan secara komersial itu adalah pemanfaatan ciptaan dan/atau produk hak terkait dengan tujuan untuk memperoleh keuntungan ekonomi dari berbagai sumber atau berbayar, atau sederhananya pemakaian musik di tempat umum dengan tujuan buat dapetin untung/uang.
Tentu hal ini bagai angin segar bagi para pencipta lagu di Indonesia, karena dengan keluarnya PP ini, hasil karya dari hasil jerih payah mereka menjadi lebih dihargai dan lebih diperhatikan oleh pemerintah. Setidaknya akan ada perubahan, yang tadinya musik-musik dapat diputar secara bebas dan suka-suka, mulai sekarang jadi ada batasan-batasan bagi yang mau memutar musik.
BACA JUGA: TIPS MENJADI SENIMAN SUKSES DAN MELEK HUKUM
Banyak yang langsung komen negatif dengan disahkannya PP ini. Ada yang komen, “Wah, jangan-jangan kalo aku dengerin musik sendirian di kamar, nanti kita diwajibkan untuk membayar royalti ke pencipta.” Ada juga yang komen, “Bisa-bisa nanti kupingku senang, mataku nangis liat dompet menipis karena bayar royalti.”
Eitss, jangan emosi dulu. Gak semua orang yang dengerin musik harus bayar royalti. Pembayaran royalti hanya berlaku apabila pemutaran musik difungsikan untuk hal yang bersifat komersil.
Sebagaimana tertulis pada Pasal 3 Ayat (1) disebutkan “Setiap orang dapat melakukan penggunaan secara komersial lagu dan/atau musik dalam bentuk layanan publik yang bersifat komersial dengan membayar royalti kepada pencipta, pemegang hak cipta dan/atau pemilik hak terkait melalui LMKN.”
LMKN atau panjangnya disebut Lembaga Manajemen Kolektif Nasional adalah lembaga bantu pemerintah non APBN yang dibentuk oleh menteri berdasarkan Undang-Undang mengenai hak cipta yang memiliki kewenangan untuk menarik, menghimpun dan mendistribusikan royalti serta mengelola kepentingan hak ekonomi pencipta dan pemilik hak terkait di bidang lagu dan/atau musik.
Bentuk layanan publik yang bersifat komersial itu gimana sih? Hal itu bisa kita temukan pada Pasal 3 Ayat (2) yang menjelaskan.
Bahwa bentuk layanan publik yang bersifat komersial sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) meliputi:
- seminar dan konferensi komersial;
- restoran, kafe, pub, bar, bistro, kelab malam dan diskotek;
- konser musik;
- pesawat udara, bus, kereta api dan kapal laut;
- pameran dan bazar;
- bioskop;
- nada tunggu telepon;
- bank dan kantor;
- pertokoan;
- pusat rekreasi;
- lembaga penyiaran televisi;
- lembaga penyiaran radio;
- hotel, kamar hotel dan fasilitas hotel; dan
- usaha karaoke.
Sementara ini bentuk layanan publik yang diatur dalam PP ini adalah seperti yang disebutkan di atas, tapi nantinya apabila terdapat penambahan bentuk layanan publik yang bersifat komersial sebagaimana dimaksud akan diatur dengan peraturan menteri.
BACA JUGA: CURKUM #58 APA ITU ROYALTI ATAS KARYA CIPTA?
Pada Pasal 12 Ayat (1) dijelaskan juga bahwa LMKN (Lembaga Manajemen Kolektif Nasional) melakukan penarikan royalti dari orang yang melakukan penggunaan secara komersial lagu dan/atau musik dalam bentuk layanan publik bersifat komersial untuk pencipta, pemegang hak cipta dan pemilik hak terkait yang telah menjadi anggota dari suatu LMK. Tapi musisi itu gak diwajibkan untuk menjadi anggota LMK kok, karena LMKN juga dapat menarik royalti untuk yang non anggota LMK.
Terus royalti yang udah ditarik oleh LMKN di kemanain dong? Pada pasal 14 Ayat (1) disebutkan bahwa royalti yang telah dihimpun oleh LMKN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 digunakan untuk didistribusikan kepada pencipta, pemegang hak cipta dan pemilik hak terkait yang telah menjadi anggota LMK, dana operasional dan dana cadangan.
Lalu untuk orang yang menggunakan musik di tempat umum dengan peruntukkan komersil yang tidak membayar atau menyetor royalti sebagaimana dalam PP ini bagaimana?
Kalo diliat dalam PP ini sih, tidak disebutkan denda/pidananya ya. Cuma pastinya nanti akan balik ke UU Hak Cipta sebagaimana pada Pasal 113 UU Nomor 28 Tahun 2014 yang mengatur pidana bagi orang yang dengan tanpa hak dan/atau tanpa izin pencipta atau pemegang hak cipta melakukan pelanggaran hak ekonomi pencipta.
Yang pasti sih, kalo memang si pencipta merasa dirinya dirugikan karena karyanya dipakai orang lain tanpa izin bisa bikin laporan polisi atau mengajukan gugatan ganti rugi. Ya paling gak, alus-alus ditegur dululah. So, siap-siap aja nih, kalian dapet surat cinta.
Yaaa, sebenernya PP ini merupakan peraturan yang sudah lama ditunggu-tunggu oleh musisi. PP ini bagus karena bisa buat kita lebih menghargai para pencipta musik di luar sana.