Hari ini, 10 November 2020, hari dimana kita kembali mengenang jasa-jasa para pahlawan. Menariknya, ada salah satu Pahlawan Nasional Indonesia yang justru sengaja dilupakan keberadaannya. Siapakah dia?
Beliau merupakan salah satu pahlawan yang memiliki peran intelektual dan sosial politik. Beliau banyak melahirkan pemikiran yang berbobot di tengah perjuangan kemerdekaan Republik Indonesia. Beliau salah satu tokoh pahlawan revolusioner yang dilupakan di negaranya sendiri. Ya, beliau adalah Sutan Ibrahim dengan Gelar Datuk Sutan Malaka, Bapak Republik Indonesia.
Gagasan besar Tan Malaka tentang republik tertulis dalam banyak buku. Melalui buku menuju Republik Indonesia, Madilog, Gerpolek, dan Massa aksi, kita bisa melihat pola pikir Tan Malaka.
Berkat gagasan besarnya, Tan Malaka dijadikan panutan oleh Soekarno, Hatta, Sutan Syahrir, Yamin, dkk. Yang bikin saya heran, sosok sehebat Tan Malaka, justru menjadi satu-satunya Pahlawan Nasional yang namanya nyaris tidak ada di kurikulum mata pelajaran di SD, SMP, dan SMA. Sejak era Presiden Soeharto, nama Tan Malaka sebagai Pahlawan Nasional sengaja dihilangkan. Jejaknya dihapus karena Tan Malaka diduga menganut paham komunis.
Nah, yang menjadi pertanyaan sampai sekarang, kenapa nama Tan Malaka tidak disebutkan di buku sejarah? Kenapa banyak karya-karyanya dibakar?
BACA JUGA: PENGANUGERAHAN PAHLAWAN NASIONAL
Tan Malaka mendapatkan gelar Pahlawan Nasional dari Presiden Soekarno dengan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 53 Tahun 1963 pada tanggal 28 Maret 1963. Keputusan itu dari dulu sampai sekarang tidak ada yang mencabutnya.
Sejujurnya saya memang tidak setuju dengan pendekatan paham komunis, namun dari kacamata saya, pendekatan Tan Malaka berbeda dari yang lain. Perbedaan itu bisa saya lihat dalam buku “Tan Malaka, Gerakan Kiri dan Revolusi Indonesia” Karya Harry A Poeze yang menuliskan, “Walaupun ia dekat dengan Moscow, bukan berarti ia tak mengenal agama seperti paham komunis.” Dibesarkan di lingkungan keluarga yang kental dengan agama Islam dan hafal Alquran sedari kecil, membuat Tan Malaka begitu menjunjung agamanya.
Saat berpidato di Kongres Komunis Internasional (Kominter) pada 1922, dia dengan lantang menyatakan Pan-Islamisme bukanlah musuh komunis. Pan-Islamisme justru sahabat untuk menghancurkan kapitalisme. “Kalau saya berdiri di depan Tuhan, saya adalah seorang muslim. Bila saya berdiri di depan manusia saya bukan seorang muslim,” demikian pidato Tan Malaka di hadapan Lenin saat itu. Pernyataan itu dapat diartikan bahwa Tan Malaka memisahkan urusan agama dengan urusan sosial duniawi. Untuk akhirat dia adalah seorang muslim, tapi untuk urusan dunia dia menggunakan komunisme sebagai jalan untuk membebaskan dunia dari keserakahan kaum kapitalis.
Keresahan akan nasib bangsa membuat Tan Malaka berjuang demi bangsanya walaupun harus terasingkan ke Belanda. Tan Malaka menjadi buronan di bangsanya sendiri, keluar masuk penjara. Di dalam tahanan Tan Malaka tetap produktif, ia menghasilkan buku penjara ke penjara sampai dengan jilid III. Baginya tidak masalah dia mendekam di penjara, yang penting bangsanya terlepas dari tangan-tangan penjajah.
BACA JUGA: ALASAN KENAPA PELAJARAN SEJARAH TIDAK BOLEH DI HAPUSKAN
Tan Malaka adalah penggagas bangsa yang malang. Ia dilupakan dan tidak diterima puluhan tahun, bahkan nyawanya dirampas oleh bangsanya sendiri. Ini merupakan hasil jerih payah orde baru untuk menghapus jejaknya karena menjadi bapak sosialis, komunis bagi Indonesia. Seorang sosial yang menjadi guru oleh pejuang lainnya dalam segi pengetahuan. Tan Malaka sengaja dilupakan, padahal Harry Poeze punya dokumentasi yang menunjukkan bahwa Tan Malaka pada 19 September 1945, menjadi aktor di belakang layar pengerahan massa dan pemuda di rapat IKADA, bahkan Soekarno juga mengakui peran penting Tan Malaka dalam perjungan bangsa Indonesia.
Apakah saat ini Tan Malaka sedang mengusap dada dan jidat melihat nasib jerih payahnya yang seperti ini. Kolonial Belanda dan fasis Jepang sudah disingkirkannya, akan tetapi rakyat yang ia bela kini menjadi haters di negeri sendiri. Ganas kan bung. Mungkinkah saat ini Tan Malaka sedang berteriak melihat perjuangannya yang terkubur dalam bersama jasadnya. Persis seperti yang pernah ia katakan, “Ingatlah bahwa dari alam kubur suara saya akan lebih keras daripada di atas bumi,” begitulah pesan bapak kesepian dalam bukunya, “Dari Penjara ke Penjara Jilid II, 1948.”
Bung Tan, cita-citamu MERDEKA 100% ditunda dulu ya.
Sebenarnya semangat hidup dan perjuangan Tan Malaka patut dijadikan contoh bagi generasi muda. Walaupun selama hidupnya kesepian, berjuang dalam kesendirian, mati sangat menyedihkan. Sepanjang hidupnya Tan Malaka tidak menikah. Kehidupannya hanya dihabiskan untuk berjuang demi negaranya. Ia tetap berjuang walaupun terasingkan. ~~~~