Sebelum membaca keseluruhan artikel ini, saya mau sedikit meceritakan tentang sejarah hukum sistem peradilan pidana anak. Jadi begini, pada tahun 1989, Indonesia telah meratifikasi konvensi ha-hak anak (Convention on the Rights of the Child). Konvensi tersebut mengatur prinsip perlindungan hukum terhadap anak, termasuk perlindungan khusus terhadap anak yang berhadapan dengan hukum.
Sebenarnya prinsip perlindungan hukum terhadap anak berhadapan dengan hukum dengan konsep ultimu remidium juga terdapat pada peraturan-peraturan minimum standar perserikatan bangsa-bangsa mengenai administrasi peradilan bagi anak (Beijing Rules). Nah, Convention on the Rights of the Child dan Beijing Rules inilah yang mendasari Indonesia untuk membuat aturan tentang perlindungan dan sistem peradilan pidana anak.
Aturan tentang sistem peradilan pidana anak dituangkan dalam UU No 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (UU SPPA). UU SPPA dibuat pada era Bapak Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
UU SPPA berisi 108 (seratus delapan) pasal, disahkan pada tanggal 30 Juli 2012 dan berlaku setelah 2 (dua) tahun diundangkan. UU SPPA terlahir karena Undang-Undang No 3 Tahun 1997 tentang ‘pengadilan anak’ dianggap sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan di masyarakat, karena dianggap belum memberikan perlindungan hukum terhadap anak yang berhadapan dengan hukum.
BACA JUGA: 3 KENAKALAN ANAK 90’AN YANG MELANGGAR HUKUM
Jadi kalo dulu, di UU Pengadilan Anak, anak yang berhadapan dengan hukum disebut dengan ‘anak nakal.’Lalu sejak berlakunya UU SPPA, istilah ‘anak nakal’ diubah menjadi anak yang berkonflik dengan hukum, alasannya biar gak merusak psikologi anak.
Ngomongi tentang anak berhadapan dengan hukum, ada 3 (tiga) kategori anak yang berhadapan dengan hukum yaitu:
- anak yang berkonflik dengan hukum yaitu anak yang menjadi pelaku tindak pidana;
- anak yang menjadi korban tindak pidana; dan
- anak yang menjadi saksi tindak pidana.
Dalam UU SPPA juga terdapat hak-hak anak untuk mendapatkan pendampingan wali dan advokat selama mereka berhadapan dengan hukum. Dulunya hak-hak tersebut gak diatur dalam UU Pengadilan Anak.
Berdasarkan ketentuan Pasal 23 Ayat (2) UU SPPA disebutkan bahwa dalam setiap tingkat pemeriksaan, anak korban atau anak saksi wajib didampingi oleh orang tua dan/ atau anak saksi atau pekerja sosial. Ketentuan kewajiban orang tua untuk mendampingi anak yang berhadapan dengan hukum menjadi tidak berlaku lagi apabila orang tua anak tersebut menjadi tersangka atau terdakwa terhadap perkara yang diperiksa sebagaimana ketentuan Pasal 23 Ayat (3) UU SPPA.
Ilustrasinya untuk lebih memudahkan penjelasan Pasal 23 Ayat (2) UU SPPA kaya gini, misalnya orang tua si anak C mengajak anak C melakukan kejahatan dan kemudian orang tua anak C ditetapkan sebagai tersangka atau terdakwa, maka orang tua anak C tersebut tidak boleh mendampingi anak C yang diperiksa oleh penyidik, jaksa, maupun hakim.
Selain itu, ketentuan Pasal 23 UU Ayat (1) UU SPPA juga bilang dalam setiap tingkat pemeriksaan, anak wajib diberikan bantuan hukum dan didampingi oleh Pembimbing Kemasyarakatan atau pendamping lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Nah, yang punya kewajiban untuk memberikan bantuan hukum kepada anak adalah petugas yang melakukan pemeriksaan terhadap anak tersebut. Jadi misalnya di dalam proses penyidikan, maka yang bertanggung jawab mencari bantuan hukum untuk anak tersebut adalah penyidik.
BACA JUGA: NOKTAH MERAH PERLINDUNGAN ANAK DI INDONESIA, SEBUAH RANGKUMAN BILIKHUKUM
Kalo sekarang ini apabila ada anak yang berhadapan dengan hukum, penyidik udah gak akan kesulitan lagi untuk mendapatkan advokat yang memiliki spesifikasi untuk mendampingi anak yang berhadapan dengan hukum, karena POLRI, KUMHAM, Mahkamah Agung, Kejaksaan dan PERADI telah melakukan kerjasama pendidikan SPPA.
Penyidik tinggal mengecek saja apakah di daerah wilayah hukumnya ada advokat yang memiliki sertifikasi advokat pendamping anak atau tidak. Pentingnya pendidikan SPPA adalah untuk menyamakan persepsi penanganan anak yang berhadapan dengan hukum. Alhamdulillah pada saat itu saya diberi kesempatan untuk menempuh pendidikan SPPA di Lembang Bandung Jawa Barat.
Intermezo aja sih, saking pentingnya peran advokat dalam pendampingan anak berhadapan dengan hukum, seperti yang saya baca di portal berita detik.com, pada tahun 2016 Pengadilan Negeri Jakarta Utara memberikan putusan dakwaan batal demi hukum. Waktu itu kasus yang disidangkan adalah kasus pidana anak yang dijerat dengan UU Darurat.
Hakim Sutejo Humantoro memutus perkara tersebut tidak dilanjutkan karena batal demi hukum. Dalam pertimbangan putusannya, Hakim Sutejo Humantoro berpendapat selama proses pemeriksaan yang dilakukan pihak kepolisian tidak sesuai dengan UU SPPA, karena selama proses pemeriksaan perkara, anak tidak didampingi oleh orang tua dan advokat sebagai penasehat hukumnya.
Nah, kira-kira itulah sekilas pembahasan seputar sistem peradilan pidana anak. Memang masih banyak PR agar UU SPPA ini dapat berjalan dengan maksimal dan dapat memberikan perlindungan bagi anak yang berhadapan dengan hukum.